Wednesday, May 2, 2007

“Trafficking in Women” dan Diskursus Bisnis Hasrat

Kali ini, diturunkan edisi Feminisme. Prostitusi dan seksualitas manusia tidak pernah lekang oleh waktu. Ia hadir seiring hadirnya manusia di bumi. Sepanjang sejarah tema ini selalu dibicarakan dan didiskusikan. Naskah ini merupakan salah satu bentuk dari aktivitas diskusi tersebut. Untuk itu, silakan membaca dan memforward naskah ini ke rekan-rekan Anda.

“Trafficking in Women” dan Diskursus Bisnis Hasrat
• Atau tentang Reduksi Hakikat Manusia?

Alangkah baiknya bila kita mengingat kembali pengalaman duka yang dialami oleh Ni, perempuan berusia 23 tahun, warga kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Ni hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SMP. Ia lalu direkrut oleh Hari Ray dan Dewi Mayangsari untuk dipekerjakan sebagai waitress di Rumah Makan Sangrilla , Malaysia . Selain Ni, An juga direkrut untuk bekerja pada bidang yang sama. Tak disangka, dua perempuan ini malah dijebloskan ke rumah bordil dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di rumah-rumah bordil di Malaysia (Kompas, 26/6/2004).
Duka yang dialami oleh Ni dan An adalah salah satu narasi dari sekian banyak narasi tentang pengalaman pahit yang dialami oleh perempuan yang diperdagangkan untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja seks komersial. Menurut Pusat Informasi dan Dokumentasi Sekretaris Nasional Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (SEKNAS KOPBUMI) pada tahun 2002-2003 terjadi 2568 kasus trafficking in women (pedagangan perempuan).

***

Salah satu aspek dalam diri manusia adalah hasrat. Hasrat adalah desakan, dorongan terhadap sesuatu dalam diri manusia yang disebabkan oleh gerakan metabol-metabol tubuh dan otak manusia. Trafficking in women adalah praktik perdagangan perempuan yang dilakukan orang-orang tertentu yang salah satu tujuannya untuk dipekerjakan secara paksa di rumah-rumah bordil. Praktik perdagangan itu menunjukkan secara jelas kepada kita tentang dua hasrat dalam diri manusia yakni hasrat seks dan hasrat ekonomi.
Duka yang dialami oleh Ni dan An merupakan fakta tentang trafficking in women sekaligus menunjukkan bahwa hasrat seks dan hasrat ekonomi dapat “dikawinkan”. “Perkawinan” kedua hasrat tersebut sering disebut sebagai “bisnis seks”. Dalam bisnis ini ada dua hal yang menonjol: pertama, hasrat ekonomidalam diri manusia selalu mendesak untuk dipenuhi. Salah satu cara memenuhinya adalah dengan memperjualbelikan hasrat seks. Dalam praktiknya, modus pertama yang digunakan adalah penjual melakukan pengkondisian cara berpikir konsumen tentang seks sekaligus merangsangnya. Berbagai sarana material, seperti gambar, majalah, film, website porno dsb., dipakai untuk melancarkan modus itu. Fenomena maraknya penjualan sarana material tersebut menunjukkan bahwa hasrat seks (bahkan seks) bukan hal tabu yang tidak bisa diperbincangkan secara terbuka. Seks adalah hal lumrah dan biasa.
Modus berikutnya adalah konsumen (pembeli) digiring ke realisasi cara berpikir dan pelampiasan hasrat seks yang telah dirangsang, dengan cara menyediakan perempuan-perempuan . Mereka dapat ditampung baik di tempat-tempat tertentu (rumah-rumah bordil) maupun tetap tinggal di rumahnya dan bisa dipanggil kapan saja, untuk memenuhi realisasi hasrat seks konsumen. Penjual – para agen, germo, mucikari – akan mendapat pemasukan uang dari usahanya menyediakan (menjual) para perempuan. Sedangkan para perempuan yang bertugas memenuhi realisasi hasrat seks tersebut juga mendapat uang yang akan dipakai untuk memenuhi hasrat ekonominya.
Kedua, jual-beli (bisnis) hasrat seks dapat berlangsung karena ada orang-orang yang hendak memenuhi hasrat seksnya. Dengan kata lain, ada permintaan konsumen dan kemudian ditanggapi oleh penjual atau penyedia jasa dengan cara menyediakan perempuan. Yang mempunyai motif ekonomi di sini adalah para penjual – para agen, germo, mucikari – dan para pemuas hasrat seks (perempuan). Sarana material yang telah disinggung di atas juga dapat menjadi sarana realisasi hasrat seks para konsumen dengan cara permainan imajinasi tindakan seks. Bagi para penjualnya, menjual sarana itu adalah untuk realisasi hasrat ekonomi.

***
Diskursus tentang bisnis hasrat menyinggung pula aspek lain dalam diri manusia yakni “memperoleh kepenuhan” dari tindakan pemenuhan hasrat-hasrat. Makna dalam frase “memperoleh kepenuhan” adalah bahwa setiap tindakan yang dilakukan untuk memenuhi hasrat-hasrat merupakan tindakan yang berbasis pada kehendak (will) atau pilihan yang diputuskan/diambil berdasarkan pertimbangan rasional dan hati nurani. Bila demikian, maka pertanyaannya adalah: apakah para perempuan tidak memperoleh kepenuhan dari hasrat seks dalam dirinya? Apakah semata-mata hasrat ekonomi yang dipenuhi dengan mengabaikan pemenuhan hasrat seks meskipun pada kesempatan yang sama mereka bisa memenuhi kedua hasrat itu? Pada titik inilah, problem yang muncul adalah “kehendak” (will), “desakan”, “dorongan” dan “keterpaksaan” . Bagi pembeli (pencari kepuasan hasrat seks) “kehendak” (will) tidak berlaku. Yang ada adalah mencari dan memenuhi desakan dan dorongan hasrat seksnya. Langkah yang diambil adalah melampiaskan hasrat seks dengan perempuan di rumah bordil atau perempuan yang bias dipanggil untuk itu dan membayarnya dengan uang. Sedangkan bagi perempuan karena “terdesak” oleh hasrat ekonomi yang harus dipenuhi maka “terpaksa” melakukan tindakan dengan langkah memuaskan hasrat seks para pembeli dan mendapat uang sebagai pemenuhan hasrat ekonomi.
Lalu di mana “kehendak” (will) menempati tempatnya? “Kehendak” diabaikan karena ia mengandaikan adanya rasionalitas dan hati nurani. “Kehendak” (will) merupakan problem moral yang pada praksisnya menempatkan manusia sebagai tujuan bukan sarana. Dalam bingkai trafficking in women dan bisnis hasrat di atas problem moral yang terjadi adalah manusia dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yakni pemuasan hasrat ekonomi dan hasrat seks. Padahal, secara moral manusia (setiap orang) adalah tujuan, seperti yang diujarkan oleh filsuf besar dalam bidang moral Immanuel Kant (1724-1804), “Bertindaklah sedemikian sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan entah dalam dirimu sendiri atau orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana” (Foundations of the Metaphysics of Morals, 1785, 53). Jelaslah bahwa manusia tidak pernah boleh “digunakan” sebagai sarana untuk mencapai tujuan (James Rachels, Filsafat Moral, 2004, 235).
Tindakan realisasi hasrat seks oleh pencari kepuasan seks dengan cara meniduri perempuan di rumah-rumah bordil atau yang bisa dipanggil untuk hal itu merupakan tindakan mereduksi dimensi seksual manusia menjadi semata-mata seks. Dimensi seksual (seksualitas) bertautan erat dengan keseluruhan diri manusia. Hasrat seks merupakan bagian kecil dan inheren dari seksualitas manusia. Oleh karena itu, realisasi hasrat seks menjadi lebih beradab bila bergerak pada aras motif memperdalam relasi interpersonal suami-istri, motif prokreasi dan motif memperdalam relasi intersubjek. Para aras ini “kehendak” (will) menempati peran dan tempat sentral.
Reduksi juga terjadi aras pemenuhan hasrat ekonomi. Hasrat itu menjadi banal manakala hasrat itu direalisasikan dengan tujuan pada dirinya sendiri, menumpuk kekayaan, dan mengikuti trend zaman yang menempatkan manusia berdasarkan barang material yang dimilikinya dan yang melekat pada tubuhnya. Memprostitusikan diri, memperdagangkan perempuan dengan motif realisasi hasrat ekonomi pada dirinya sendiri merupakan pengkhianatan terhadap dimensi ekonomi yang sebetulnya dalam pemenuhannya dimotifasi oleh upaya-upaya ekonomi untuk “mengevolusikan diri manusia” sebagai makhluk multidimensional (Teilhard de Chardin, Semesta Manusia, 2004).
Hasrat ekonomi merupakan bagian kecil dan inheren dari dimensi ekonomi manusia. Oleh sebab itu, realisasinya akan menjadi lebih beradab bila bergerak pada aras dimensi ekonomi manusia yang dalam pemenuhannya menempatkan martabat manusia sebagai tujuan utama. Dalam tujuan itu, manusia mengevolusikan dirinya, artinya manusia melakukan humanisasi diri manusia.

***

Pekerjaan besar bagi kita semua untuk menyelamatkan manusia dari kepungan “kultur kematian” (meminjam istilah Yohanes Paulus II) seperti trafficking in women dan bisnis hasrat. Kita juga mempunyai pekerjaan besar untuk mengembalikan manusia pada hakikat dirinya sebagai makhluk multidimensional. Langkah elegan untuk pekerjaan itu adalah pembentukan cara berpikir dan perilaku hidup sehar-hari.
Untuk mewujudkan hal itu, pendidikan humaniora menjadi penting dan mendesak yang pelaksanaannya dimulai dari diri sendiri, keluarga, pendidikan formal, pendidikan alternatif, pendidikan cultural di ruang publik (media massa, komunitas kebudayaan, komunitas musik, komunitas olah raga, dsb.). Pendidikan humaniora di berbagai lini tersebut akan membuat masyarakat menjadi educated (terdidik), civilized (beradab) dan kritis terhadap semua bentuk dehumanisasi.