Tuesday, October 11, 2011

Agama dalam Negara Hukum Demokratis; Dari Agama Mitis ke Agama Rasional

Pendahuluan

Meskipun mengakui dirinya sebagai orang yang tidak musikal (religiös unmusikalisch)[1] atau tidak berbakat dalam hal agama, bukan berarti Jürgen Habermas tidak berpikir tentang agama. Sebaliknya, ia secara serius memikirkan peran agama dalam negara hukum demokratis. Keseriusannya itu bukan tanpa alasan. Setelah sekian lama agama didomestifikasi menjadi urusan privat dan dilenyapkan dari ruang publik oleh Pencerahan (Aufklärung) yang mengusung rasio sekular, ternyata agama tidak hilang. Alih-alih mematikan agama dengan mendomestifikasikannya, yang terjadi malah sebaliknya: agama seolah-olah mendapat energi baru selama didomestifikasi dan sekarang merangsek ke ruang publik.

Bagaimana sesungguhnya Habermas berpikir tentang agama, terutama posisi agama di dalam negara hukum demokratis? Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan itu. Dalam pemikirannya tentang posisi agama dalam negara hukum demokratis, Habermas secara menempatkannya dalam bingkai teorinya tentang tindakan komunikatif (communicative action), etika diskursus (discourse ethics), dan demokrasi deliberatif. Oleh karena itu, dalam tulisan tentang pemikiran Habermas mengenai agama ini saya tempatkan dalam bingkai teori Habermas tentang tindakan komunikatif, etika diskursus, dan demokrasi deliberatif. Ada dua alasan perihal penempatan itu: pertama, supaya kita dapat memahami pemikiran Habermas tentang agama secara tepat, utuh, dan tidak keluar dari arena pemikirannya. Kedua, supaya kita bisa menimba inspirasi dari Habermas mengenai demokrasi dan menempatkannya dalam konteks proses demokratisasi Indonesia.

Tulisan ini saya bagi dalam beberapa bagian. Pertama akan diuraikan upaya Habermas melampaui positifikasi rasio sekular oleh Pencerahan (Aufklärung ) sehingga rasio menjadi sangat instrumental seperti yang dicemaskan oleh para eksponen Mazhab Frankfürt generasi pertama. Upaya Habermas ini juga merupakan optimismenya bahwa rasio sekular merupakan proyek modernitas yang belum tuntas. Kedua, akan diuraikan teori Habermas tentang tindakan komunikatif, etika diskursus, dan demokrasi deliberatif. Ketiga, akan disajikan pemikiran Habermas tentang agama di dalam negara hukum demokratis.

1. Rasio Komunikatif: Upaya Habermas melampaui rasio intrumenal

Sebelum memaparkan pemikiran Habermas tentang rasio komunikatif, terlebih dahulu digambarkan secara singkat kemunculan ilmu pengetahuan modern yang menekankan kesanggupan rasio manusia untuk memperoleh pengetahuan,[2] dan berlanjut ke positifikasi rasio sehingga menjadi rasio intrumental oleh positivisme logis.

Pencerahan (Aufklärung) menjadi titik awal bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam ilmu pengetahuan modern rasio manusia menjadi acuan utama untuk perolehan pengetahuan. Dalam filsafat modern itu sendiri terdapat dua blok besar yakni rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme menekankan bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh melalui kemampuan rasio manusia itu sendiri. Oleh karenanya pengetahuan bersifat apriori. Sedangkan empirisisme menekankan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui pengalaman empiris. Oleh karenanya pengetahuan bersifat aposteriori.

Dalam perkembangan selanjutnya pengetahuan empiris-analitis menjadi ilmu alam yang direfleksikan secara filosfis sebagai pengetahuan yang benar mengenai realitas. Pada titik ini ilmu alam dikembangkan sebagai teori murni dengan bantuan rasionalisme dan empirisisme. Mengikuti para filsuf yang menganut ontologi (hakikat) kosmos, para ilmuwan alam pun memahami alam sebagai sebuah kosmos dengan seluruh hukumnya yang teratur, tertib, dan tetap.

Dari rahim filsafat, kemudian lahir positivisme logis yang dirintis oleh Auguste Comté. Bagi positivisme logis, fakta objektif merupakan pengetahuan yang benar. Positivisme logis tidak percaya pada ontologi atau pengetahuan yang melampaui fakta.[3] Dari positivisme logis inilah lahir sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sosial. Positivisme dalam ilmu sosial mengandung tiga pengandaian yang saling bertautan. Pertama, prosedur metodologis ilmu alam dapat diterapkan secara langsung pada ilmu sosial. Artinya, subjektivitas seperti kepentingan dan kehendak manusia sama sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku manusia yang menjadi objek yang diamati. Dengan demikian perilaku manusia sebagai objek ilmu pengetahuan setara dengan dunia alamiah. Kedua, hasil penelitian dirumuskan ke dalam ‘hukum’ sama layaknya dalam ilmu alam. Ketiga, ilmu sosial tidak bisa tidak bersifat teknis yang murni istrumental.

Positivisme logis mendapat perlawanan dari Mazhab Frankfürt yang dikenal dengan sebutan Teori Kritis. Para eksponen Teori Kritis generasi pertama antara lain T.W. Adorno dan Horkheimer. Mereka berpendapat bahwa positivisme logis merupakan saintisme.[4] Bagi Mazhab Frankfürt Pencerahan telah membuat manusia menghadapi alam dengan kalkulasi. Pencerahan melahirkan konsep rasionalitas yang positivistik. Rasionalitas pencerahan adalah rasionalitas tujuan (rasio intrumental). Pencerahan membuat rasio kehilangan tujuan pada dirinya sendiri. Di tangan positivisme logis, rasio menjadi intrumental, tukang atau alat untuk kalkulasi, verifikasi, dan pelayan klasifikasi.[5]

Bagi Mazhab Frankfürt Rasionalitas sebagaimana diperjuangkan pencerahan itu tidak memperoleh kemajuan apapun dan menampakkan kembali mitos yang sebelumnya disingkirkan. Rasio pencerahan justru menciptakan kembali mitos dengan berorientasi pada hal di luar dirinya yakni ekonomi dan politik. Rasio lalu tunduk terhadap ekonomi dan politik. Pola kerja rasio pencerahan itu sama dengan/atau merupakan peniruan (mimesis) pola masyarakat tradisional yang tunduk terhadap sesuatu yang metafisik di luar dirinya. Alih-alih netral dan tak memikirkan tujuan pada dirinya sendiri, rasio pencerahan justru merupakan pengulangan atas mitos lama.[6]

2. Tindakan Komunikatif

Habermas optimis bahwa rasionalitas merupakan proyek modernitas yang belum tuntas. Sebagai generasi baru Teori Kritis, ia bermaksud mengatasi positifikasi rasio oleh positivisme logis dengan teorinya tentang rasio komunikatif.[7] Dalam teori tindakan komunikatif, Habermas membedakan tindakan strategis dan tindakan komunikatif. Secara fundamental, teori tindakan komunikatif terletak dalam pembedaan dua konsep rasionalitas yang menuntun pengetahuan kepada tindakan, yakni rasionalitas instrumental dan rasionalitas komunikatif. Rasionalitas instrumental adalah rasionalitas yang mengarahkan tindakan untuk mencapai berbagai tujuan yang telah ditetapkan secara pribadi. Rasionalitas ini akan bersifat instrumental bila diarahkan kepada alam, misalnya dalam bentuk kerja, dan bersifat strategis apabila diarahkan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat oleh pihak lain, seperti dalam bentuk hubungan dominasi. Sedangkan rasionalitas komunikatif adalah rasionalitas yang mendasari tindakan untuk saling pengertian antara dua orang subjek atau lebih yang sedang bertukar pikiran untuk mencapai tafsir yang harmonis perihal dunia. Jika tindakan strategis adalah pemanfaatan orang lain demi kepentingan subjek tertentu, sebaliknya tindakan komunikatif didasarkan atas perbincangan argumentatif yang bebas, tanpa dominasi, yang bermuara pada kesepakatan bersama. Perbedaan mendasar keduanya adalah tindakan strategis bersifat monologis, sedangkan tindakan komunikatif bersifat dialogis.[8]

Konstruksi konseptualnya mengenai tindakan komunikatif tersebut tidak terlepas dari konseptualnya tentang rasionalisasi dalam bidang komunikasi (interaksi). Baginya, suatu tindakan komunikatif bersifat rasional apabila dalam dan melalui tindakan itu mampu mengurangi berbagai penindasan dan mengurangi kekerasan pada tingkat pribadi-pribadi yang menjadi partisipan dalam komunikasi, sehingga pribadi-pribadi bisa mengembangkan diri. Dengan kata lain, melalui tindakan komunikatif rasional, setiap pribadi terbebaskan dari berbagai penindasan dan kekerasan. Rasionalisasi yang sesungguhnya bagi Habermas adalah rasionalisasi humanis dan itu ditempuh melalui rasio komunikatif.[9] Humanisasi dicapai bukan melalui positifikasi rasio manusia seperti yang dilakukan positivisme logis melainkan melalui tindakan komunikatif.[10]

Bagi Habermas rasio modern tetap mempunyai dimensi emansipatif dan dapat dikembangkan lebih lanjut. Untuk itu ia mengedepankan konsep mengenai rasio prosedural yang tidak terpisah dari rasio komunikatif. Melalui rasio prosedural, berbagai keputusan atau kesepakatan yang merupakan buah dari proses-proses rasional mendapat kesahihannya. Dalam rasio prosedural, prosedur diakui secara bersama-sama oleh semua orang yang terlibat aktif dalam proses-proses rasional (intersubjektif).[11] Rasio prosedural inilah yang kelak menjadi “jiwa” dari demokrasi deliberatif.

Relasi antarmanusia menurut Habermas bersifat rasional karena semua orang yang terlibat dalam relasi itu bermaksud agar terjadi kesalingpahaman dan bermuara pada kesepakatan bersama. Itu artinya setiap tindakan yang bertujuan mencapai kesepakatan bersama merupakan tindakan komunikatif. Dengan demikian tindakan komunikatif mengandung rasio komunikatif. Kesalingpahaman dan kesepakatan sebagai tujuan dari tindakan komunikatif merupakan daya kerja dari rasio komunikatif. Tujuan tindakan komunikatif bisa tercapai jika rasio komunikatif bekerja dalam tindakan komunikatif.

Habermas menekankan bahwa tindakan komunikatif yang rasional harus bebas dari tekanan, paksaan, dan dominasi sehingga tujuan yang dicapai diterima oleh semua orang yang terlibat aktif di dalam komunikasi itu. Dengan demikian kesepakatan yang dicapai memiliki legitimasi kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Komunikasi yang demikian terjadi dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt). Dalam dunia-kehidupan, hal-hal yang dianggap benar diterima begitu saja tanpa dipersoalkan. Bahkan dalam dunia-kehidupan, anggota-anggota masyarakat sama-sama membangun dan menghidupi solidaritas melalui tindakan komunikatif. Dalam dunia-kehidupan yang demikian, anggota masyarakat adalah pelaku dari dunia-kehidupan. Dalam perkembangan lebih lanjut, masyarakat menjadi modern dan berubah menjadi pengamat, sehingga tindakan-tindakan yang dilakukannya bersifat mekanis. Pada titik inilah masyarakat menjadi sistem. Ada dua unsur utama dalam sistem yakni pasar (uang) dan negara (kekuasaan). Habermas melihat bahwa ketika masyarakat menjadi pelaku, maka dunia kehidupan mengkolonisasi sistem. Dan ketika masyarakat modern menjadi pengamat, maka sistem mengkolonisasi dunia-kehidupan. Inilah deviasi modernitas. Yang ideal bagi Habermas adalah keseimbangan antara sistem dan dunia-kehidupan. Antara dunia kehidupan, pasar, dan negara terjadi keseimbangan.[12]

2.1. Etika diskursus

Dalam bingkai opitimismenya pada proyek modernitas yang segera dituntaskan, Habermas berusaha membangun sebuah masyarakat yang komunikatif (masyarakat kosmopolit). Masyarakat yang demikian adalah tujuan universal masyarakat. Tentunya ia tidak melepaskan diri dari fakta pluralisme dalam masyarakat modern. Untuk itu ia mengajukan sebuah proposal untuk menata kembali norma-norma hidup bersama, yakni etika diskursus.[13]

Etika diskursus[14] menuntut dua prinsip pokok yang harus diberlakukan agar norma sungguh-sungguh bersifat moral. Pertama, norma harus dapat diterima oleh semua orang atau berlaku umum. Prinsip ini disebut prinsip universalisasi (prinsip U). “Semua pihak yang (mungkin akan) terkena dampak kepatuhan hukum atas norma dapat menerima konsekuensi dan efek sampingnya, yang diharapkan dapat memenuhi kepentingan setiap orang,” demikian ketentuan prinsip U terkait kesahihan sebuah norma. Kedua, kepastian akan universalisasi norma itu ditempuh melalui diskursus (prinsip D). “Norma-norma hanya dapat diklaim sebagai sahih kalau mendapat persetujuan dari semua peserta yang kemungkinan terkena dampak dari norma itu dalam sebuah diskursus praktis,” demikian ketentuan prinsip D mengenai klaim kesahihan universalisasi norma.

2.2. Negara hukum demokratis

Habermas melihat bahwa ciri dasar kehidupan bersama manusia adalah komunikasi. Oleh karena itu demokrasi harus menjadi medium bagi perwujudan berbagai struktur komunikasi dalam negara hukum modern. Dengan demikian nagara hukum dapat mendekati asas-asas normatif dari dalam dirinya sendiri.[15] Model demokrasi yang tepat untuk itu adalah demokrasi deliberatif. Model demokrasi ini sesuai dengan prinsip rasio prosedural dan etika diskursus yang telah dikemukakan di atas.

Fokus utama demokrasi deliberatif adalah prosedur-prosedur yang ditetapkan untuk menghasilkan sebuah kesepakatan. Keputusan-keputusan politik atau kesepakatan-kesepakatan politik yang dicapai harus melalui prosedur-prosedur yang rasional. Dalam prosedur yang rasional para warganegara atau kelompok-kelompok kecil yang mempunyai kepentingan dalam negara dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Berbagai kepentingan warganegara diuji atau dideliberasi berdasarkan prosedur-prosedur rasional. Melalui proses deliberari itulah, sebagian kecil warganegara yang tidak sepakat dengan suara mayoritas, bisa menerima dan mematuhi pendapat-pendapat yang disepakati oleh sebagian besar warganegara sebagai suara mayoritas. Dalam proses deliberasi semua orang yang berdeliberasi mempunyai kesetaraan sebagai masyarakat.

3. Agama dalam negara hukum demokratis

3.1. Apakah rasio sekular mempunyai akar-akar religius?

Di atas sudah kita lihat alur berpikir Habermas dari rasio komunikatif, etika diskursus, sampai demokrasi deliberatif. Pada bagian ini dipaparkan pertanyaan Habermas mengenai apakah negara hukum demokratis memiliki akar-akar religius? Bagian ini penting untuk diperhatikan karena terkait dengan posisi agama dalam negara hukum demokratis. Habermas memang mengakui bahwa negara hukum demokratis atau rasio sekular mempunyai akar religius, tetapi bukan berarti bahwa basis negara hukum demokratis harus kembali bertumpu pada agama.

Dalam sebuah diskusi dengan Kardinal Raztinger, Habermas menggali dan menanggapi secara kritis akar-akar religius rasio sekuler.[16] Dalam bingkai teks berjudul ”Prepolitical Foundations of the Constitutional State?[17] Habermas mengemukakan beberapa pokok pemikirannya. Pertama, negara sekular tidak mendasarkan diri pada berbagai pengandaian kosmologis tertentu sebagaimana diandaikan hukum kodrat. Konsekuensinya adalah negara sekuler tidak memihak kelompok agama tertentu dengan seluruh sistem nilainya dan setiap warganegara mempunyai kesetaraan dalam memainkan perannya dalam negara hukum demokratis. Dengan mengacu pada pertanyaan kritis yang diajukan Bökenförde tentang tentang seberapa jauh warga dapat menyatukan diri dalam negara dengan jaminan kebebasan individu saja tanpa ada ikatan, Habermas mengatakan bahwa proses demokrasilah yang menjadi ikatan yang menyatukan para warganegara. Proses demokrasi menjadi syarat kemungkinan bagi para warganegara untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.

Tentunya demokrasi yang dimaksudkan Habermas pada poin pertama di atas adalah demokrasi deliberatif yang mengacu pada rasio prosedural dan digerakkan oleh rasio komunikatif. Rasio komunikatif yang ada dalam diri warganegara menggerakkan mereka untuk menyatukan diri dalam negara secara bebas dan tanpa tekanan, melalui demokrasi deliberatif.

Kedua, meskipun dari perspektif kognitif dan motivasi negara hukum demokratis bisa mencukupi dirinya secara internal tetapi ada faktor eksternal yang merusak jaringan solidaritas para warganegara dan proses demokrasi yakni pasar.[18] Rasio pasar mempunyai cara kerja yang berbeda dengan rasio negara. Pasar mempunyai metode pengelolaan yang berbeda dengan administrasi negara. Rasio pasar menggiring warga ke dalam individu-individu yang menggunakan kebebasan individualnya secara ketat. Bersamaan dengan itu, bidang-bidang yang menjadi wewenang negara hukum demokratis untuk mengaturnya semakin berkurang. Privatisme warganegara kian menguat, proses demokrasi para warganegara kian melemah. Habermas menyebut fenomena itu sebagai penyimpangan modernisasi. Dalam kondisi seperti ini, negara hukum demokratis melegitimasi dirinya dengan perangkat hukum yang dibuat oleh para warganegara.

Gagasan pokok dalam poin kedua tersebut sudah dikemukakan Habermas ketika ia mengulas masalah dunia-kehidupan (Lebenswelt) dan sistem. Jika dalam uraiannya tentang dunia-kehidupan dan sistem, Habermas mengatakan bahwa sistem yakni pasar dan negara mengkoloni dunia-kehidupan, dewasa ini rasio pasar sebagai sebuah sistem justru mengkoloni dunia-kehidupan dan negara sekaligus. Dalam situasi kolonisasi rasio pasar yang merupakan bentuk penyimpangan dari modernitas, Habermas mengatakan bahwa para warganegara harus mengatasinya dengan memaksimalkan rasio komunikatif melalui mekanisme rasio prosedural dalam demokrasi deliberatif untuk memperoleh kesepakatan bersama. Itulah yang disebut Habermas sebagai tindakan komunikatif.

Ketiga, menjawab keraguan yang diajukan oleh Bökenförde bahwa apakah negara hukum bisa mencukupi dirinya dengan asas-asas normatif dalam dirinya, Habermas mengatakan bahwa dari perspektif kognitif hukum yang telah mengalami positivasi tetap membutuhkan pandangan religius dan metafisik untuk memastikan secara kognitif prinsip-prinsip hukum dalam negara hukum demokratis.[19] Sedangkan dari perspektif motivasi, Habermas mengharapkan bahwa para warganegara menggunakan hak-haknya secara aktif dalam proses pembuatan hukum untuk kepentingan komunal sekaligus kepentingan bersama.[20]

Pada poin ini Habermas mengakui bahwa negara hukum demokratis tetap membutuhkan agama atau ”kekuatan pemandu” (sustaining power) sebagai pemasti kognitif asas-asas normatif dalam negara hukum demokratis (negara sekular). Keberadaan agama atau ”kekuatan pemandu” yang lain di sini bukan berarti negara mengganti asas-asas normatif dari dirinya dengan asas-asas normatif dari agama atau ”kekuatan pemandu” lain. Sebaliknya, Habermas hendak mengatakan bahwa agama – dengan asas-asas normatif metafisik – sebagai bagian dari dunia-kehidupan juga mempunyai kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam negara hukum demokratis. Partisipasi agama itu sendiri merupakan bentuk konkrit dari perspektif motivasi. Tentunya model partisipasi tetap dalam bingkai demokrasi deliberatif yang mengacu pada rasio prosedural. Partisipasi agama dalam bingkai rasio prosedural itulah sekaligus merupakan pemasti kognitif rasio prosedural. Dengan kata lain, jika agama tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam negara hukum demokratis, maka demokrasi deliberatif kurang (tidak) memiliki rasionalitas. Jika agama didomestifikasikan dan tidak punya kesempatan untuk berdeliberasi di ruang publik, maka rasio prosedural mengalami defisit rasionalitas. Demokrasi deliberatif memiliki kepastian rasional apabila agama dilibatkan dalam debat-debat di ruang publik politis.

Keempat, Habermas memberi catatan kritis tentang masalah hermeneutika teks-teks agama seperti tentang kesalahan dan keselamatan. Hal-hal itu ditafsirkan dan dihayati secara hermeneutik selama bertahun-tahun. Selama teks-teks agama itu tidak mengalami distorsi dalam penafsiran dan tidak jatuh dalam dogmatisme dan pemaksaan suara hati, maka rasio sekuler bisa belajar juga dari agama, masyarakat sekuler dan masyarakat religius bisa saling belajar.[21]

3.2. Dari Agama Mitis ke Agama Rasional

Habermas mengakui bahwa setiap agama pada hakikatnya adalah ”pandangan hidup” atau ”comprehensive doctrine” (doktrin yang lengkap).[22] Dengan pendasaran-pendasaran mitis dan metafisik, agama juga memberikan elat vital kepada para penganutnya (orang beriman) yang hidup di tengah-tengah masyarakat modern. Bahkan etika substansial yang dianut banyak orang pun berakar pada tradisi agama-agama. Masyarakat modern yang pluralistik itu sendiri terdiri atas orang-orang beriman dan orang-orang tidak beriman.[23] Masyarakat modern berada dalam dua area besar yakni dunia-kehidupan dan sistem yang di dalamnya ada pasar dan negara. Ada masyarakat (individu atau kelompok) sebagai menjadi bagian integral dari dunia-kehidupan, pasar, dan negara secara serentak. Ada masyarakat (individu atau kelompok) menjadi bagian dari negara dan pasar saja. Masyarakat modern hidup dalam sebuah ruang publik yang sama (public sphere) yang sama. Ruang publik itu sendiri bersifat politis karena dihuni oleh masyarakat modern yang pluralistik dengan segala kepentingannya. Dalam kondisi masyarakat modern dan ruang publik yang demikian, agama menghadapi tantangan yang serius. Habermas dengan tegas mengatakan bahwa ruang publik politis atau negara hukum demokratis tidak bisa menjadi ”religius” atau ”ditradisikan” berdasarkan doktrin lengkap agama apapun.[24] Tampak jelas pendirian Habermas bahwa agama dan negara harus dipisahkan. Agama mempunyai domain kerja yang sangat berbeda dengan negara. Meski demikian agama tidak boleh didomestifikasikan karena bertentangan dengan hakikat demokrasi.

Mengacu pada gambaran idealnya tentang keseimbangan antara dunia-kehidupan, negara, dan pasar, Habermas menantang – agama yang olehnya dikategorikan sebagai bagian dari dunia-kehidupan – untuk menunjukkan eksistensinya dalam ruang publik politis atau negara hukum demokratis. Hal itu serius bagi agama karena di satu sisi ajaran-ajaran agama bersifat mitis dan metafisik, di sisi lain ruang publik bersifat rasional dan post-metafisik. Habermas secara tegas berargumen bahwa hanya sebuah forum sekularlah yang dapat secara memadai menjadi pemandu atau penata bagi perbedaan antara ruang metafisik dan ruang post-metafisik.

Forum sekular yang dimaksud adalah negara hukum demokratis atau ruang publik politis. Negara hukum demokratislah menjadi forum yang di dalamnya semua partisipan berdeliberasi dan berargumentasi sesuai dengan rasio prosedural untuk mencapai kesepakatan bersama yang adalah tujuan tindakan komunikatif. Dalam proses deliberasi, pengandaian-pengandaian metafisik agama diuji secara rasional atau dengan cara berpikir post-metafisik. Itu artinya, agama harus mentransformasi diri dari agama mitis (religious-metaphysical) ke agama rasional (religious-post-metafisik).[25] Pengujian dalam proses deliberasi dan dalam koridor etika diskursuslah agama mitis bisa menjadi agama rasional. Jika menjadi agama rasional, maka etika substansial agama-agama bisa memberi warna dalam etika universal. Meski demikian Habermas tetap tidak mengijinkan agama campur-tangan secara langsung dalam negara. Agama bisa masuk ke dalam negara setelah melewati institusional translation proviso. Lewat itu pengandaian-pengandaian metafisik agama diuji oleh rasio post-metafisik dan bahasa agama diterjemahkan ke dalam bahasa rasio sekuler. Dalam konteks ini warganegara yang tidak beriman bisa membantu dalam proses translasi bahasa agama. Jika mekanisme itu dicapai maka agama bisa bermanfaat bagi demokrasi, bermanfaat bagi negara hukum.[26]

Dengan demikian antara warga beragama dan warga sekuler dalam masyarakat post-sekuler (post-positifikasi rasio) dapat saling belajar satu sama lain. Terlebih bagi warganegara beriman didorong untuk mengenakan cara berpikir (episteme) post-metafisik di tengah pluralitas agama. Warganegara beriman juga mesti belajar dari sains dan teknologi yang memiliki klaim-klaim kesahihan ilmu pengetahuan. Warganegara beriman juga harus tunduk dan mengakui rasio sekuler yang menjadi basis legitimasi negara hukum demokratis.[27]

Penutup

Habermas berbicara tentang agama. Bukan karena ia sangat berbakat dalam hal agama, melainkan karena agama merupakan salah satu elemen dalam negara hukum demokratis. Dalam bingkai teori tindakan komunikatif, etika diskursus, dan demokrasi deliberatif, Habermas mengingatkan agama bahwa jika agama bermanfaat bagi demokrasi, maka agama harus menterjemahkan bahasa agama ke dalam bahasa sekuler, dan pengandaian-pengandaian metafisik agama harus diuji dengan rasio sekuler.

Jelas sekali bahwa Habermas menantang sekaligus memberi ruang bagi agama untuk berperan dalam ruang publik politis pasca domestifikasi agama.


Daftar Pustaka

Primer

Habermas, Jürgen, Between Naturalism and Religion, Polity, Cambridge, 2008.

______________, ”Postscript to Between Facts and Norms” dalam Mathieu Deflem (ed), Habermas, Modernity and Law, London, SAGE Publication, 1996.

______________, The Theory of Communicative Action, vol. 1, Boston, Beacon Press, 1984

Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi-Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta, Kanisius, 1990

________________, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta, Kanisius, 1993.

________________, Demokrasi Deliberatif – Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius, 2009.

Sekunder

Adam, Nicholas, Habermas and Theology, Cambrigde, Cambridge University Press, 2006

Budi Kleden, Paul dan Adrianus Sunarko (ed), Dialektika Sekularisasi, Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan, Maumere-Yogyakarta, Penerbit Ledalero-Lamalera, 2010.

Deflem, Mathieu (ed), Habermas, Modernity and Law, London, SAGE Publication, 1996

Kieser, Bernard, “Agama Bubar jika Tidak Bercampur Nalar: Being religiosus a la Habermas” dalam Majalah BASIS, nomor 11-12 tahun ke-53, November-Desember 2004

Regh, William, Insight and Solidarity: A Study in the Discourse Ethics of Jurgen Habermas, California, University of California Press, 1994

Stephen, K. White (ed), The Cambridge Companion to Habermas, New York, Cambridge University Press, 1995




[1] Bernard Kieser, “Agama Bubar jika Tidak Bercampur Nalar: Being religiosus a la Habermas” dalam Majalah BASIS, nomor 11-12 tahun ke-53, November-Desember 2004.

[2] Uraian lengkap mengenai perkembangan ilmu pengetahuan modern bisa dibaca dalam Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi-Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hal. 22-26.

[3] Francisco Budi Hardiman mencatat bahwa meskipun positivisme logis yakin bahwa pengetahuan yang sahih adalah pengetahuan yang berdasarkan fakta dan dengan demikian positivisme logis menyingkirkan ontologi, tetapi positivisme logis tak sanggup melepaskan diri secara total dari ontologi. Hal itu tampak dalam konsep teori yang dianut yakni teori yang bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi. Ibid.

[4] Teori Kritis berdiri di tengah ketegangan dialektis antara ilmu pengetahuan khususnya sosiologi dan filsafat. Teori Kritis tidak berhenti pada fakta objektif yang sebagaimana yang diagung-agungkan oleh positivisme logis. Realitas sosial bagi Teori Kritis merupakan fakta sosiologis yang di dalamnya terdapat aspek-aspek transendental yang melampaui data empiris. Dengan demikian Teori Kritis dapat melakukan dua macam kritik yaitu kritik transendental dan kritik imanen. Kritik transendental berupaya menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek. Kritik imanen merupakan upaya menemukan kondisi-kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang berpengaruh terhadap pengetahuan manusia. Dalam bingkai dua kritik itu, Teori Kritis merupakan Kritik Ideologi. Ibid., hal. 30.

[5] Adorno dan Horkheimer pesimis terhadap rasio. Ibid., hal. 64.

[6] Ibid., hal. 64-65.

[7] Generasi pertama Teori Kritis memahami praksis (praxis) sebagai kerja (Arbeit). Konsep praksis itu sendiri merupakan sebuah kateogori epistemologis yang mencari keterkaitan antara teori dan praktik atas teori. Berbeda dengan generasi pertama Teori Kritis, Habermas membedakan kerja dan interaksi atau komunikasi. Kerja dan komunikasi merupakan dua dimensi dari praksis. Ibid., hal. 86.

[8] Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, Boston, Beacon Press, 1984, hal. 10. Bdk., Mathieu Deflem (ed), Habermas, Modernity and Law, London, SAGE Publication, 1996, hal. 2-3.

[9] F. Budi Hardiman., ibid., hal. 98.

[10] Habermas juga mencatat bahwa untuk menghindari salah paham (misunderstanding) dalam tindakan komunikatif dan untuk memperoleh pemahaman bersama para partisipan komunikasi tidak bisa hanya mengandalkan tindakan berbicara (speech-act) melainkan juga harus memperhatikan bentuk-bentuk tindakan lain yang tidak linguistik seperti tanda-tanda dan simbol-simbol. Mathieu Deflem, opcit., hal. 3.

[11] Penjelasan tentang pengertian rasio prosedural sangat menarik disampaikan oleh F. Budi Hardiman dengan contoh di bidang peradilan yang dipaparkan dalam F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta, Kanisius, 2009, hal. 32-33.

[12] Ibid., hal. 38-41.

[13] Etika diskursus yang diajukan Habermas juga merupakan upayanya untuk mengatasi imperatif kategoris dalam Etika Kant yang lebih menekankan prosedur individual atau etika yang dilakukan secara individual. Habermas meragukan tesis Kant bahwa sebuah norma dapat berlaku secara universal dipastikan oleh suara hati setiap pribadi. Tesis Kant ini sulit diterapkan dalam masyarakat yang pluralistik. Lihat, K. White Stephen (ed), The Cambridge Companion to Habermas, New York, Cambridge University Press, 1995, hal. 12.

[14] Lihat., William Regh, Insight and Solidarity: A Study in the Discourse Ethics of Jurgen Habermas, California, University of California Press, 1994, hal. 161-166.

[15] Tentang asas-asas normatif itu, dikemudian hari saat berdiskusi dengan Ratzinger, hal itu diungkapkan kembali ketika Habermas menggali akar-akar religius rasio sekular.

[16] Diskusi dengan Ratzinger itu berlangsung di Katholiche Akademie München, Jerman tanggal 19 Januari 2004.

[17] Jürgen Habermas, “Prepolitical Foundations of the Constitutional State?” dalam Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion, Polity, Cambridge, 2008, hal. 101-113. Selain membaca teks tersebut dalam bahasa Inggris, saya juga membaca atau membandingkan teks tersebut dengan teks berbahasa Indonesia dari Dr. Paul Budi Kleden dalam Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko (ed), Dialektika Sekularisasi, Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan, Maumere-Yogyakarta, Penerbit Ledalero-Lamalera, 2010, hal. 1-28.

[18] Habermas, hal. 107-108. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 13-17.

[19] Habermas, hal. 104. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 7

[20] Habermas, hal. 105. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 9

[21] Habermas, hal.108-113. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 20-28.

[22] Habermas., hal. 111. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 24.

[23] Nicholas Adam, Habermas and Theology, Cambrigde, Cambridge University Press, 2006, hal. 1

[24] Ibid. hal. 2.

[25] Ibid., hal 125-126.

[26] Habermas, Between Naturalism and Religion, Polity Press, 2008, hal. 131-132.

[27] Ibid., hal. 138-139.