Friday, August 24, 2007

Tragedi Kemanusiaan dan Historisitas Indonesia

Keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara berdiri di atas pengalaman penderitaan yang panjang. Penjajahan Belanda dan Jepang pra-kemerdekaan membawa banyak kerugian material. Kekayaan alam dikeruk dan dibawa ke negeri penjajah. Selain itu, penjajahan juga mengakibatkan kebangkrutan martabat kemanusiaan orang-orang Indonesia. Penjajahan itu merupakan tragedi kemanusiaan yang terbesar dan terlama yang dialami bangsa dan negara ini.
Penjajahan tersebut ternyata menumbuhkan kesadaran. Sadar akan pengalaman dijajah dan ditindas. Juga sadar akan pembebasan diri dan penegasan eksistensi manusia sebagai makhluk hidup yang bermartabat. Kesadaran ini tumbuh dalam diri generasi 1928 yang kemudian mengerucut pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Peristiwa ini merupakan titik awal relativisasi etnis. Artinya, pengalaman digerus rasa kemanusiaan dan pengalaman ketidakadilan yang dilakukan penjajah, mendorong orang-orang muda pada waktu itu untuk tidak berpijak secara kaku dan rigid pada etnisitasnya. Etnisitasnya direlativisasi dan bergandengan tangan bersama, bekerja dengan nurani bening untuk membebas diri dari penjajah dan segala bentuk penjajahan serta penegasan eksistensi dirinya sebagai manusia.
Peristiwa 28 Oktober 1928 mendorong orang-orang muda untuk terus melanjutkan perjuangan membebaskan diri dari segala bentuk manipulasi manusia. Perjuangan pembebasan menjadi suatu keniscayaan. Ekplisitasi puncaknya terjadi pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan dinyatakan secara terbuka kepada ruang publik baik nasional maupun internasional. Disusul lagi pemberlakuan hukum positif UUD 1945 pada 18 Agustus tahun yang sama. Indonesia sebagai negara dan bangsa resmi berdiri yang kemudian dilengkapi dengan struktur pemerintahan.
Generasi 1928 dan 1945 adalah generasi yang mengalami pencerahan budi dan nurani membuat mereka sadar untuk membentuk negara dan bangsa ini, sadar untuk merelativisasi etnisitasnya, sadar untuk menegaskan harkat dan martabat manusia-manusia Indonesia. Mereka adalah generasi yang berani melampaui tragedi kemanusiaan panjang dan melelahkan yakni penjajahan serta berusaha melampaui sentimen-sentimen etnis yang kaku dan rigid.
Mereka telah menuliskan dan menetapkan sebuah sejarah kemanusiaan yang tumbuh dari tragedi kemanusiaan. Mereka memiliki kesadaran historis yang terkandung dalam pengalaman hidup yang riil. Pengalaman tragedi kema-nusiaan dalam bentuk penjajahan yang mereka alami, merupakan pengalaman akan historisitas manusia. Generasi itu juga tahu bahwa pemahaman akan kesadaran historis penting karena ketika ada revolusi kesadaran historis maka manusia berubah dan berkembang. Oleh sebab itu bagi mereka penjajahan bagi mereka harus ditolak dan dihapuskan. Dengan demikian manusia Indonesia akan berubah dan berkembang.
Kesadaran historis berevolusi terus dan sampai pada historisitas manusia. Historisitas merupakan struktur dalam diri manusia yang menjadi bagian dari esensinya. Atau dengan bahasa lain, historisitas adalah struktur manusia yang membuat manusia manusia sungguh-sungguh menjadi manusia. Eksplisitasinya terwujud dalam komponen-komponen historisitas manusia. Albert Dondeyne (1986) menyebut tiga komponen historisitas manusia. Pertama, manusia sebagai roh yang membadan (Man as Embodied Spirit atau a Besouled Bodily Being). Artinya, manusia dapat mengeksteriorisasikan dirinya atau keluar dari dirinya. Manusia mampu menunjukkan dirinya kepada orang lain atau membuka dirinya terhadap hal-hal yang datang dari luar dirinya. Juga mampu mengaktuskan segala potensi dalam dirinya. Semua itu diwujudkan melalui tindakan-tindakan badaniah. Menjadi manusia berarti menghayati keberadaan dirinya dalam bentuk kebebasan dan tanggungjawab. Kedua, manusia tidak pernah hidup sendiri dalam dunia ini (Man’s Being is a Being-Together). Kehidupan manusia diwarnai oleh tindakan kesalingan yang menguntungkan. Saling menerima, memberi, dan mendengarkan. Kesadaran akan ketidaksendirian dalam dunia mendorongnya untuk melampau batas-batas primordialnya. Ketiga, manusia hidup dalam waktu. Artinya, manusia tidak terikat dalam waktu melainkan melampaui waktu. Pelampauan ini nyata dalam bentuk penghayatan akan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Masa lalu dan masa yang akan datang dihayati dalam masa sekarang. Masa sekarang menjadi anamnesis (pengenangan dan penghadiran kembali) masa lalu sekaligus antisipasi masa yang akan datang.
Melalui tatapan historisitas Dondeyne ini kita bisa melihat historisitas Indonesia yang telah ditetapkan oleh Generasi 1928 dan Genarasi 1945. Mereka sungguh sadar bahwa setiap orang Indonesia harus bebas dari segala bentuk penindasan dan mengembangkan dirinya sehingga menjadi manusia yang utuh.
Mereka juga sadar bahwa merelativisasi etnisitas, kebenaran-kebenaran partikular dan terbuka terhadap orang lain (etnis yang lain), terbuka terhadap kebenaran-kebenaran lain yang lebih universal, merupakan keniscayaan. Dengan kaca mata Dondeyne kita juga bisa melihat bahwa Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan adalah peristiwa historis yang merupakan pantulan hidup orang-orang Indonesia yang menyadari bahwa tragedi kemanusiaan penjajahan merupakan momentum tepat untuk menetapkan optimisme hidup dalam kesamaan (equality), kebersamaan (togetherness), dan tanggungjawab (responsibility) pada masa sekarang dan yang akan datang.
Meskipun Generasi 1928 dan 1945 telah menetapkan dan meletakkan dasar historisitas Indonesia, kita masih tetap mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Mengapa sampai saat ini berbagai tragedi kemanusiaan masih terjadi di Indonesia? Bagaimanakan status ontologis historisitas kita sebagai orang-orang Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dijawab dari berbagai titik pandang. Saya akan menelaahnya dari titik pandang historisitas dan telaahan ini saya tempatkan sebagai jawaban.
Titik pandang historositas yang saya maksud adalah proses mengindonesia kita setelah Generasi 1945 tidak mempunyai gigi lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ada faktor yang amat signifikan dalam menentukan historisitas Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan, yakni TNI, Orde Baru, dan penulisan sejarah Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ada kekeliruan besar dalam menatap dan mengerti Indonesia. TNI menerima Indonesia sebagai sebuah paket yang sudah jadi. Akibatnya institusi ini tidak melihat dan memahami lebih dalam lagi yakni isi paket. Isi paket yang dimaksud adalah bagaimana orang-orang Indonesia menghidupi keindonesiaannya. Dengan bahasa lain, semangat keindonesiaan kita sungguh-sungguh mendalam dan menjadi semangat hidup atau tidak sama sekali. Bagi TNI paket Indonesia secara yuridis formal sudah sah dan tak terbantahkan, harus diterima sebagai finalitas mutlak dan setiap orang Indonesia harus patuh pada Indonesia sebagai paket. Representasi kepatuhan itu terwujud dalam menjalankan secara rigid hukum-hukum positif negara.
Orde Baru di bawah kendali Soeharto, memahami proses mengindonesia atau menghayati semangat keindonesiaan, terwujud dalam sentralisme pemerintahan dan kehidupan berbangsa-bernegara. Pola Soeharto ini sangat dipengaruhi oleh mentalitas militeristik dalam dirinya. Sentralisme nyata dalam bentuk dinafikannya kearifan-kearifan lokal (etnis). Peradaban-peradaban (bisa dibaca: kebudayaan-kebudayaan) lokal tidak lebih daripada entitas kecil yang harus mendukung atau menentukan kebudayaan nasional. Kita bisa melihat hal ini dalam fenomena peradaban lokal yang diekspos ke luar negeri dan diberi tajuk sebagai kebudayaan Indonesia oleh kedutaan besar dan konsulat Indonesia di negara-negara lain. Padahal tidak ada kebudayaan Indonesia, yang ada adalah peradaban-peradaban lokal.
Kegagalan proses mengindonesia juga disebabkan oleh faktor penulisan sejarah dan bangsa ini. Faktor ini merupakan derivat dari pemerintahan Orde Baru. Selama Soeharto berkuasa sejarah ditulis dan ditafsirkan untuk melegitimasi kekuasaannya. Sejarah juga direduksi dalam bentuk hafalan-hafalan atas peristiwa-peristiwa masa lalu dan artefak-artefak yang ditinggalkan oleh generasi-generasi terdahulu.
Sejarah tidak bisa dipahami sebatas itu. Esensi sejarah sebenarnya melampaui aneka peristiwa dan artefak masa lalu. Sejarah adalah ziarah kemanusiaan. Dalam ziarah itu setiap orang secara personal dan komuniter menyadari keberadaannya sebagai manusia. Atau seperti yang dikatakan oleh A. Heller (1982) sejarah adalah kesadaran tentang ada kita (Conciousness of our Being is our Being). Dalam kesadaran yang demikian, person-person melihat eksistensinya dalam kebersamaan (I am if we are, and I am not if we are not). Dalam kebersamaan tersebut personalitasnya tetap diakui.
Tiga faktor (TNI, Orde Baru, Sejarah Bangsa dan Negara) dengan segala karateristiknya ini menyebabkan proses mengindonesia warga negara-bangsa lebih merupakan ketakutan dan kepatuhan naif. Warga negara-bangsa dibuat tidak bebas untuk menghayati keindonesiaannya dalam bingkai kearifan-kearifan lokal. Oleh sebab itu, geliat identitas kolektif pasca-Orde Baru yang sering tampak vulgar seperti mau merdeka (membentuk negara sendiri), membentuk provinsi, dan kabupaten sendiri sebetulnya wajar-wajar saja. Geliat itu merupakan penegasan eksistensi diri lokal yang selama ini digerus habis-habisan. Itu adalah bentuk aktualisasi historisitas manusia dalam pigura kearifan lokal. Etnis-etnis mau menulis sejarahnya sendiri, yang bukan sebagai legitimasi kekuasaan. Melainkan sejarah sebagai penegasan kesadaran mereka akan manusia bermartabat yang memiliki hak-hak dasar yang tidak bisa direduksi oleh siapa pun. Maka negara patut menanggapi hal itu dengan arif bukan dengan pola militerisitik dan kekerasan senjata.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Sinar Harapan 05 Juli 2003

Politik Bantuan di NTT

Secara umum kondisi alam Nusa Tenggara Timur (NTT) kering dan tandus. Itu kenyataan yang tak bisa disangkal. Kondisi ini membuat pendapatan ekonomi dari sektor pertanian sulit diandalkan. Sedangkan potensi kelautan dan pariwisata belum digarap secara maksimal. Oleh sebab itu pertumbuhan ekonomi NTT sangat lambat bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional menunjukkan pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2004 mencapai 4,77 % dan tahun 2005 mencapai 3,10 persen. Pendapatan perkapita tahun 2004 mencapai Rp 2.923.409 dan tahun 2005 mencapai Rp 3.235.699. Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun 2004 mencapai Rp 12.887.107 dan tahun 2005 mencapai Rp 14.601.790.
Kondisi alam dan ekonomi seperti itu menimbulkan bencana sosial ekonomi seperti rawan pangan, gagal panen, gizi buruk, busung lapar dan kelaparan. Belum lagi bencana lingkungan hidup seperti longsor dan organisme pengganggu tanaman (OPT). bencana sosial, ekonomi dan lingkungan hidup sudah menjadi semacam ritual rutin tahunan.
Kondisi seperti itu, lalu menempatkan NTT sebagai provinsi dengan dua atribut: “pencari bantuan” dan “ladang penerima bantuan”. Sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi lambat dan pendapatan ekonomi rendah, NTT menjadi peluang bagi siapa saja khsusnya orang-orang NTT untuk “menjual” kemiskinan NTT. Bagi lembaga-lembaga bantuan baik nasional maupun asing, kemiskinan NTT layak ditanggapi. Maka, tidak kurang dan tidak jarang lembaga-lembaga sosial beramai-ramai memberi bantuan.
Tahun 2004 jumlah dana (uang) yang mengalir ke NTT sangat besar. Hasil penelitian The Institute for Ecosoc Rights 2006 menunjukkan bahwa berbagai NGO internasional baik yang berada dalam PBB maupun di luar PBB serta lembaga pemerintahan asing mengalokasi dana bantuan untuk NTT mencapai lebih dari Rp 119 miliar. Kompas 20/12/2005 menulis APBN untuk NTT sekitar 1,5 triliun. APBD NTT menyumbang Rp 442,8 miliar.
Tahun 2005 APBD NTT sekitar Rp 474,9 miliar. Dana APBN yang dialokasikan ke NTT Rp 1,77 triliun. Bantuan dari 5 lembaga PBB, 10 lembaga pemerintah asing, dan 10 NGO internasional sepanjang Januari-Juli 2005 mencapai Rp 124 miliar.
Bahkan berdasarkan data Bappeda Provinsi NTT, sejak tahun 1983 NTT sudah mendapat bantuan dari luar negeri. Tercatat lebih dari 20 lembaga internasional menyalurkan dana ke NTT dengan prioritas berbeda-beda. Sedangkan tahun 1994-2000 bantuan diprioritaskan untuk penanganan masalah air bersih dan sanitasi. Tahun 2001-2004 bantuan dikonsentrasikan untuk kegiatan pengembangan ekonomi. Tahun 2005-2006 bantuan difokuskan untuk pemberian makanan tambahan, penanganan penyakit dan kesehatan reproduksi.

Politik bantuan
Dengan alokasi dana yang begitu besar dan begitu banyaknya lembaga-lembaga donor yang membantu NTT, bisa diasumsikan bahwa seharusnya tingkat kesejahteraan hidup masyarakat NTT lebih baik. Tetapi ternyata setiap tahun masih saja terjadi berbagai bencana sosial. busung lapar, angka kematian ibu melahirkan mencapai 330/100.000 kelahiran (Kompas, 20/11 2006). TKI ilegal yang bekerja di Singapura dan Malaysia mencapai 6000 jiwa (Suara Pembaruan, 29/5/2006). Itu belum termasuk TKI legal. Menjadi TKI adalah bentuk konkrit dari usaha orang NTT agar bisa hidup.
Data Badan Pusat Statistik Provinsi NTT menunjukkan tahun 2005 rumah tangga miskin mencapai 555.045 keluarga. Tahun 2006 bertambah menjadi 718.640 atau meningkat 75,45 % dari tahun sebelumnya. Berdasarkan fakta itu maka tahun 1996 NTT menempati urutan keempat dan tahun 1997 menempati urutan keenam provinsi termiskin di Indonesia. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan banyaknya bantuan ke NTT.
Kenyataan yang terpapar di atas memunculkan pertanyaan lanjutan: Ada apa dibalik mengalirnya miliaran dana bantuan ke NTT? Inilah pertanyaan yang menggelitik kita. Pertanyaan ini juga menohok nurani kita untuk bertindak jujur terkait pengelolaan dana bantuan. Pertanyaan itu juga menggugat kesadaran kita untuk melihat lebih jelas dan terang mekanisme politik bantuan yang sedang berlangsung di NTT.
The Institute for Ecosoc Rights mencatat beberapa hal penting disoroti berbagai pihak di NTT. Pertama, kinerja NGO/lembaga/badan internasional. Selama ini belum ada mekanisme evaluasi dan monitoring tehadap kinerja, pola pendekatan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Peran ini merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Kedua, tumpang tindih program dan tidak meratanya wilayah kerja mengakibatkan koordinasi dan komunikasi antara lembaga donor dengan pemerintah dan lembaga lokal tidak terbangun dengan baik. Ketiga, pendekatan bantuan pun bersifat darurat (emergensi) jangka pendek, 1-2 tahun. Membantu NTT tidak bisa dalam jangka waktu itu saja. Persoalan budaya, mentalitas dan tingkat pendidikan masyarakat harus sungguh-sungguh dipertimbangkan. Masalah kurang gizi, misalnya. Masalah itu tidak saja terkait kekurangan bahan makanan bergizi tetapi terkait pemahaman dan pola hidup sehat. Itu artinya, masalah pendidikan dan budaya tidak bisa diabaikan.
Tiga catatan penting di atas memuncak pada masalah politik bantuan. Bantuan seringkali disemangati oleh semangat “proyekisme”. Bantuan berpola proyek berkaitan erat dengan jangka waktu anggaran belanja. Pola seperti itu sangat rentan terhadap korupsi. Bisa jadi atau memang, NTT adalah ladang emas bagi para koruptor dari berbagai kalangan.