Keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara berdiri di atas pengalaman penderitaan yang panjang. Penjajahan Belanda dan Jepang pra-kemerdekaan membawa banyak kerugian material. Kekayaan alam dikeruk dan dibawa ke negeri penjajah. Selain itu, penjajahan juga mengakibatkan kebangkrutan martabat kemanusiaan orang-orang Indonesia. Penjajahan itu merupakan tragedi kemanusiaan yang terbesar dan terlama yang dialami bangsa dan negara ini.
Penjajahan tersebut ternyata menumbuhkan kesadaran. Sadar akan pengalaman dijajah dan ditindas. Juga sadar akan pembebasan diri dan penegasan eksistensi manusia sebagai makhluk hidup yang bermartabat. Kesadaran ini tumbuh dalam diri generasi 1928 yang kemudian mengerucut pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Peristiwa ini merupakan titik awal relativisasi etnis. Artinya, pengalaman digerus rasa kemanusiaan dan pengalaman ketidakadilan yang dilakukan penjajah, mendorong orang-orang muda pada waktu itu untuk tidak berpijak secara kaku dan rigid pada etnisitasnya. Etnisitasnya direlativisasi dan bergandengan tangan bersama, bekerja dengan nurani bening untuk membebas diri dari penjajah dan segala bentuk penjajahan serta penegasan eksistensi dirinya sebagai manusia.
Peristiwa 28 Oktober 1928 mendorong orang-orang muda untuk terus melanjutkan perjuangan membebaskan diri dari segala bentuk manipulasi manusia. Perjuangan pembebasan menjadi suatu keniscayaan. Ekplisitasi puncaknya terjadi pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan dinyatakan secara terbuka kepada ruang publik baik nasional maupun internasional. Disusul lagi pemberlakuan hukum positif UUD 1945 pada 18 Agustus tahun yang sama. Indonesia sebagai negara dan bangsa resmi berdiri yang kemudian dilengkapi dengan struktur pemerintahan.
Generasi 1928 dan 1945 adalah generasi yang mengalami pencerahan budi dan nurani membuat mereka sadar untuk membentuk negara dan bangsa ini, sadar untuk merelativisasi etnisitasnya, sadar untuk menegaskan harkat dan martabat manusia-manusia Indonesia. Mereka adalah generasi yang berani melampaui tragedi kemanusiaan panjang dan melelahkan yakni penjajahan serta berusaha melampaui sentimen-sentimen etnis yang kaku dan rigid.
Mereka telah menuliskan dan menetapkan sebuah sejarah kemanusiaan yang tumbuh dari tragedi kemanusiaan. Mereka memiliki kesadaran historis yang terkandung dalam pengalaman hidup yang riil. Pengalaman tragedi kema-nusiaan dalam bentuk penjajahan yang mereka alami, merupakan pengalaman akan historisitas manusia. Generasi itu juga tahu bahwa pemahaman akan kesadaran historis penting karena ketika ada revolusi kesadaran historis maka manusia berubah dan berkembang. Oleh sebab itu bagi mereka penjajahan bagi mereka harus ditolak dan dihapuskan. Dengan demikian manusia Indonesia akan berubah dan berkembang.
Kesadaran historis berevolusi terus dan sampai pada historisitas manusia. Historisitas merupakan struktur dalam diri manusia yang menjadi bagian dari esensinya. Atau dengan bahasa lain, historisitas adalah struktur manusia yang membuat manusia manusia sungguh-sungguh menjadi manusia. Eksplisitasinya terwujud dalam komponen-komponen historisitas manusia. Albert Dondeyne (1986) menyebut tiga komponen historisitas manusia. Pertama, manusia sebagai roh yang membadan (Man as Embodied Spirit atau a Besouled Bodily Being). Artinya, manusia dapat mengeksteriorisasikan dirinya atau keluar dari dirinya. Manusia mampu menunjukkan dirinya kepada orang lain atau membuka dirinya terhadap hal-hal yang datang dari luar dirinya. Juga mampu mengaktuskan segala potensi dalam dirinya. Semua itu diwujudkan melalui tindakan-tindakan badaniah. Menjadi manusia berarti menghayati keberadaan dirinya dalam bentuk kebebasan dan tanggungjawab. Kedua, manusia tidak pernah hidup sendiri dalam dunia ini (Man’s Being is a Being-Together). Kehidupan manusia diwarnai oleh tindakan kesalingan yang menguntungkan. Saling menerima, memberi, dan mendengarkan. Kesadaran akan ketidaksendirian dalam dunia mendorongnya untuk melampau batas-batas primordialnya. Ketiga, manusia hidup dalam waktu. Artinya, manusia tidak terikat dalam waktu melainkan melampaui waktu. Pelampauan ini nyata dalam bentuk penghayatan akan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Masa lalu dan masa yang akan datang dihayati dalam masa sekarang. Masa sekarang menjadi anamnesis (pengenangan dan penghadiran kembali) masa lalu sekaligus antisipasi masa yang akan datang.
Melalui tatapan historisitas Dondeyne ini kita bisa melihat historisitas Indonesia yang telah ditetapkan oleh Generasi 1928 dan Genarasi 1945. Mereka sungguh sadar bahwa setiap orang Indonesia harus bebas dari segala bentuk penindasan dan mengembangkan dirinya sehingga menjadi manusia yang utuh.
Mereka juga sadar bahwa merelativisasi etnisitas, kebenaran-kebenaran partikular dan terbuka terhadap orang lain (etnis yang lain), terbuka terhadap kebenaran-kebenaran lain yang lebih universal, merupakan keniscayaan. Dengan kaca mata Dondeyne kita juga bisa melihat bahwa Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan adalah peristiwa historis yang merupakan pantulan hidup orang-orang Indonesia yang menyadari bahwa tragedi kemanusiaan penjajahan merupakan momentum tepat untuk menetapkan optimisme hidup dalam kesamaan (equality), kebersamaan (togetherness), dan tanggungjawab (responsibility) pada masa sekarang dan yang akan datang.
Meskipun Generasi 1928 dan 1945 telah menetapkan dan meletakkan dasar historisitas Indonesia, kita masih tetap mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Mengapa sampai saat ini berbagai tragedi kemanusiaan masih terjadi di Indonesia? Bagaimanakan status ontologis historisitas kita sebagai orang-orang Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dijawab dari berbagai titik pandang. Saya akan menelaahnya dari titik pandang historisitas dan telaahan ini saya tempatkan sebagai jawaban.
Titik pandang historositas yang saya maksud adalah proses mengindonesia kita setelah Generasi 1945 tidak mempunyai gigi lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada faktor yang amat signifikan dalam menentukan historisitas Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan, yakni TNI, Orde Baru, dan penulisan sejarah Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ada kekeliruan besar dalam menatap dan mengerti Indonesia. TNI menerima Indonesia sebagai sebuah paket yang sudah jadi. Akibatnya institusi ini tidak melihat dan memahami lebih dalam lagi yakni isi paket. Isi paket yang dimaksud adalah bagaimana orang-orang Indonesia menghidupi keindonesiaannya. Dengan bahasa lain, semangat keindonesiaan kita sungguh-sungguh mendalam dan menjadi semangat hidup atau tidak sama sekali. Bagi TNI paket Indonesia secara yuridis formal sudah sah dan tak terbantahkan, harus diterima sebagai finalitas mutlak dan setiap orang Indonesia harus patuh pada Indonesia sebagai paket. Representasi kepatuhan itu terwujud dalam menjalankan secara rigid hukum-hukum positif negara.
Orde Baru di bawah kendali Soeharto, memahami proses mengindonesia atau menghayati semangat keindonesiaan, terwujud dalam sentralisme pemerintahan dan kehidupan berbangsa-bernegara. Pola Soeharto ini sangat dipengaruhi oleh mentalitas militeristik dalam dirinya. Sentralisme nyata dalam bentuk dinafikannya kearifan-kearifan lokal (etnis). Peradaban-peradaban (bisa dibaca: kebudayaan-kebudayaan) lokal tidak lebih daripada entitas kecil yang harus mendukung atau menentukan kebudayaan nasional. Kita bisa melihat hal ini dalam fenomena peradaban lokal yang diekspos ke luar negeri dan diberi tajuk sebagai kebudayaan Indonesia oleh kedutaan besar dan konsulat Indonesia di negara-negara lain. Padahal tidak ada kebudayaan Indonesia, yang ada adalah peradaban-peradaban lokal.
Kegagalan proses mengindonesia juga disebabkan oleh faktor penulisan sejarah dan bangsa ini. Faktor ini merupakan derivat dari pemerintahan Orde Baru. Selama Soeharto berkuasa sejarah ditulis dan ditafsirkan untuk melegitimasi kekuasaannya. Sejarah juga direduksi dalam bentuk hafalan-hafalan atas peristiwa-peristiwa masa lalu dan artefak-artefak yang ditinggalkan oleh generasi-generasi terdahulu.
Sejarah tidak bisa dipahami sebatas itu. Esensi sejarah sebenarnya melampaui aneka peristiwa dan artefak masa lalu. Sejarah adalah ziarah kemanusiaan. Dalam ziarah itu setiap orang secara personal dan komuniter menyadari keberadaannya sebagai manusia. Atau seperti yang dikatakan oleh A. Heller (1982) sejarah adalah kesadaran tentang ada kita (Conciousness of our Being is our Being). Dalam kesadaran yang demikian, person-person melihat eksistensinya dalam kebersamaan (I am if we are, and I am not if we are not). Dalam kebersamaan tersebut personalitasnya tetap diakui.
Tiga faktor (TNI, Orde Baru, Sejarah Bangsa dan Negara) dengan segala karateristiknya ini menyebabkan proses mengindonesia warga negara-bangsa lebih merupakan ketakutan dan kepatuhan naif. Warga negara-bangsa dibuat tidak bebas untuk menghayati keindonesiaannya dalam bingkai kearifan-kearifan lokal. Oleh sebab itu, geliat identitas kolektif pasca-Orde Baru yang sering tampak vulgar seperti mau merdeka (membentuk negara sendiri), membentuk provinsi, dan kabupaten sendiri sebetulnya wajar-wajar saja. Geliat itu merupakan penegasan eksistensi diri lokal yang selama ini digerus habis-habisan. Itu adalah bentuk aktualisasi historisitas manusia dalam pigura kearifan lokal. Etnis-etnis mau menulis sejarahnya sendiri, yang bukan sebagai legitimasi kekuasaan. Melainkan sejarah sebagai penegasan kesadaran mereka akan manusia bermartabat yang memiliki hak-hak dasar yang tidak bisa direduksi oleh siapa pun. Maka negara patut menanggapi hal itu dengan arif bukan dengan pola militerisitik dan kekerasan senjata.
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Sinar Harapan 05 Juli 2003
Friday, August 24, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment