Monday, December 17, 2007

Asmat; Bagai Cermin di Simpang Jalan



DONATUS Geriap, Simon Pari, Titus Job, dan Herman Bapan tampak semangat memahat kayu glondongan berukuran sekitar 45 cm dan berdiameter 20 cm. Dengan alat ukir sederhana mereka membentuk glondongan kayu itu menjadi ukiran-ukiran indah.

Donatus, Simon, Titus dan Herman adalah empat orang wai ipits (pengukir) yang meraih Juara I lomba ukir yang diselenggarakan dalam Pesta Budaya Asmat Ke-24 2007. Mereka menang untuk kategori ukiran patung besar, patung cerita, panel, dan tradisional. Mereka mendapat hadiah masing-masing Rp. 5 juta.

Puncak pesta budaya bertema Menjadikan Asmat Semakin Mantap Sebagai Situs Warisan Dunia ini digelar di Lapangan Yos Sudarso, Agats, Papua, Kamis-Rabu, 4-10/10. Sebanyak 177 pengukir dan 120 penari yang ikut ambil bagian dalam pacara puncak sebanyak tersebut.

Pesta budaya dimulai dengan seleksi ukiran di setiap distrik (kecamatan). Unsur-unsur yang dipertimbangkan dalam proses seleksi adalah daya kreatif yang tinggi dan perubahan atau kreasi baru. Panitia juga menetapkan distrik yang lolos seleksi wajib menyertakan kelompok penari yang akan dipentaskan pada perayaan puncak.

Distrik-distrik yang lolos seleksi adalah Distrik Sawa-Erma diwakili Kampung Komor, Distrik Agats diwakili Kampung Uwus, Distrik Pantai Kasuari diwakili Kampung Simsagar, Distrik Fayit diwakili Kampung Biopis, Distrik Atsj diwakili Kampung Yaosakor, Distrik Akat diwakili Kampung Warse. Distrik Suator yang diwakili Kampung Binam berhalangan hadir dalam acara puncak.

Tahun-tahun sebelumnya, penyelenggara pesta budaya Asmat adalah Keuskupan Agats-Asmat. Mulai tahun ini atau pesta budaya ke-24, penyelenggaranya adalah Pemerintah Kabupaten Agats. Dinas Pariwisata sebagai pelaksana. Meskipun demikian, susunan kepanitiaan tetap melibatkan beberapa orang staf keuskupan.

Menurut Ketua Panitia, Erick Sarkol tujuan pesta budaya kali ini adalah untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya Asmat, menjalin persaudaraan antarrumpun Asmat dan antar semuasuku di Kabupaten Asmat, Membangkitkan kepercayaan diri seniman Asmat, mempertahankan Asmat sebagai salah satu situs warisan budaya dunia, dan menjadikan Asma sebagai daerah wisata popular di Papua.

Ada sesuatu yang baru, lanjut Erick, dalam pesta budaya kali ini. Selain lomba ukir dan pagelaran tari, juga ada pameran busana khas papua. Pameran busana ini dibawakan oleh gadis-gadis dan pemuda-pemuda Asmat. Perancang busana adalah Ursula Konrad dan Anemeri Katukdoan.

Bagi kelompok-kelompok tari yang belum pernah tampil pada pesta budaya tahun-tahun sebelumnya, pesta budaya kali ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk unjuk kebolehan. Misalnya kelompok penari dari Kampung Biopis Distrik Fayit. “Baru sekarang kami tampil. Kami senang,” kata Kristianus Abayua dari Kampung Biopis yang bersama teman-temannya mementaskan tari Moyang Biantur.

Pesta budaya Asmat merupakan kegiatan rutin setiap tahun. Meskipun beberapa kali sempat terhenti, tetapi pada umumnya orang-orang Asmat berharap untuk terus diselenggarakan dan bersemangat ikut serta dalam pesta ini.

Keikutsertaan mereka diwujudkan dalam berbagai bentuk; hadir sebagai penonton dan memberi semangat kepada para pengukir dan penari, menjual hasil ukiran dan anyaman, atau sekedar hanya sebagai penonton murni alias tidak punya apa-apa untuk disuguhkan kepada khalayak yang hadir pada saat itu.

Jual karya
Para pengukir yang lukisannya lolos seleksi diikutsertakan dalam lelang ukiran selama pesta budaya. Berbagai ukiran seperti ukiran patung besar (patung orang), patung cerita (cerita-cerita rakyak yang diukir), panel (binatang atau tumbuh-tumbuhan yang diukir), dan tradisional (tifa, dayung, busur-panah, sampan) dilelang dalam kesempatan itu.

Harga dasar lelang ditentukan oleh panitia. Kisaran harga dasar adalah Rp. 500 ribu – Rp. 4 juta. Dari harga itu bergerak naik mencapai puluhan juta. Sebuah patung besar memperoleh harga lelang tertinggi lelang dalam festival kali ini, yakni sebesar Rp. 20.400.000.

Para pembeli ukiran adalah wisatawan luar negeri yang datang dengan dua kapal pesiar, para ekspatriat yang bekerja di PT Freeport Indonesia Mimika, wisatawan dalam negeri, dan para pejabat pemerintah daerah setempat.

Dari harga lelang itu dipotong 10 persen dan diserahkan kepada panitia. Potongan dikenakan pada ukiran yang dilelang dengan harga Rp. 1 juta ke atas. “Potongan itu untuk dana persiapan pesta budaya tahun depan. Juga untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dari peserta,” jelas Erick Sarkol.

Sedangkan bagi mereka yang ukirannya tidak lolos, dapat menjual ukirannya selama pesta budaya. Selain itu, mereka juga bisa menjual kerajinan-kerajinan tangan lain seperti, tikar dari kulit kayu, pisau dari tulang kuskus, topi dari kulit kuskus dan bulu burung kasuari, tas dari kulit kayu, dsb..

Buta nilai uang
Pesta budaya juga menjadi kesempatan bagi orang-orang Asmat untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar. Meskipun demikian, banyak orang Asmat terutama pengukir-pengukir yang mendapat uang berjumlah besar tidak tahu nilai uang yang mereka terima.

Kenyataan ini menjadi kesempatan bagi para pendatang dari luar Papua – yang berdagang di sana – untuk mengeruk keuntungan besar. Orang-orang Asmat sering ditipu saat belanja di warung atau kios. Misalnya, saat belanja uang kembalian ditukar dengan barang yang harganya lebih rendah dari nilai uang kembalian.

Kenyataan ini mendorong Bupati Agats Yuvensius A. Biakai pada penutupan pesta budaya menghimbau para pedagang agar tidak menipu orang-orang Asmat. Yuven juga menghimbau orang-orang Asmat mencari pendamping yang tahu nilai uang saat belanja. “Para pedagang supaya jangan tipu orang-orang Asmat. Bagi yang akan belanja kalau bisa pakai pendamping supaya jangan ditipu,” himbau Yuven melalui pengeras suara.

Selain tidak tahu nilai mata uang, uang yang diperoleh pun cepat habis. Uang yang diperoleh untuk membeli barang-barang seperti, genset, televisi, vcd player, kopi, gula, beras, mie instant, dan pakaian. “Mereka kalau punya uang, apa saja dibeli. Meskipun bahan bakar di sini mahal mereka beli genset dan barang elektronik lain. Minyak habis ya genset mati, barang elektronik lain dibiarkan begitu saja,” tambah Erick.

Ada juga orang Asmat yang menggunakan uang untuk membeli minum-minuman keras. Menurut keterangan beberapa guru di salah satu sekolah Katolik di Agats, minuman keras dipasok dari luar Papua. Setiap kali kapal penumpang milik PELNI mendarat, ada minuman keras berkrat-krat diturunkan dan dijual bebas. Mereka mabuk dan tidur diemperan kios atau pinggir jalan.

Pemerintah kabupaten juga berkesempatan mencari uang. Pesta budaya menjadi kesempatan investasi jangka pendek. Dana yang dihabiskan untuk pesta budaya tahun ini mencapai Rp. 1 miliar. Menurut Erick Sarkol, meskipun dana yang dikeluarkan besar, keuntungan yang diperoleh pun besar. “Keuntungan tahun lalu sekitar Rp. 300 juta. Tahun ini mencapai Rp. 500 juta,” kata kurator Museum Kemajuan Asmat ini.

Ada suara miring dari peserta terkait pesta budaya. Pesta budaya menjadi ajang menjual budaya Asmat. Sementara orang-orang Asmat tidak mendapat sesuatu yang berarti. “Mereka jual barang kita dengan harga murah. Kita tidak dapat apa-apa,” protes Paulus Fatok dari Kampung Simsagar Distrik Pantai Kasuari.

Ada juga orang Asmat menilai Gereja Katolik menjual budaya Asmat. Menanggapi hal ini, Erick Sarkol berujar tegas, “Kami tidak menjual budaya Asmat. Kami justru menjaga dan memelihara. Masyarakatlah yang menjual budaya mereka sendiri. Misalnya kalau ada turis asing yang datang mereka jual ukiran patung yang sudah diupacarakan. Padahal patung yang sudah diupacarakan tidak boleh dijual karena patung itu sudah digunakan untuk menghadirkan roh-roh leluhur. Selesai upacara, patung itu seharusnya dikuburkan,” tegasnya.

Pesta budaya seperti cermin di persimpangan jalan. Pada cermin itu orang-orang Asmat berusaha memelihara tradisi dan kearifannya. Pada cermin itu pula menatap kesempatan menjual budaya (ukiran, tarian, dan kerajinan tangan) untuk menghasilkan uang.

Peluang Pastoral Menanam Sagu



DIIRINGI tabuhan tifa dan teriakan, sekelompok penari Asmat dengan pakaian adat memasuki Katedral Agats-Asmat. Menyusul di belakang para penari, barisan misdinar, pasto dan Uskup Agats-Asmat Mgr Aloysius Murwito OFM.

Pemandangan itu terlihat saat Misa pada hari Minggu, 7/10. Saat persembahan, para penari kembali mengiringi persembahan dengan tarian. Demikian pula saat para uskup, imam, dan misdinar meninggalkan altar, para penari kembali mengiringi dengan menari di depan menuju halaman gereja.

Diikutsertakannya budaya tari Asmat dalam liturgi Gereja Katolik di Agats-Asmat hanyalah salah satu model pastoral gereja yang kontekstual. Disebut hanya salah satu model karena budaya Asmat tidak semata-mata tarian atau karya seni lain. Budaya Asmat meliputi banyak hal antara lain cara berpikir, pola hidup, jenis makanan, mata pencaharian, pakaian dan sebagainya.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Gereja Katolik Agats-Asmat atau Keuskupan Agats-Asmat, sudah menggereja secara kontekstual dengan berpijak pada kenyataan aspek-aspek budaya Asmat tersebut? Uskup Agats-Asmat Mgr Aloysius Murwito OFM mengakui, pastoral Gereja Katolik di tengah orang Asmat, belum mencakup semua aspek itu.

Dalam Musyawarah Pastoral (Muspas) III Keuskupan Agats-Asmat yang berlangsung pada 25-30 September, kata Mgr Murwito, umat menyoroti reksa pastoral yang belum kontekstual dan petugas pastoral baik pastor, suster, dan tenaga pastoral awam yang berkerja sendiri. “Mungkin petugas pastoral hanya bekerja sama dengan beberapa orang saja. Pastoral yang dijalankan pun rupanya belum kontekstual. Hal itu disoroti dalam Muspas,” katanya.

Mgr Murwito sungguh menyadari, bahwa pastoral Gereja Katolik di tengah orang Asmat pada masa yang akan datang, tidak semata-mata menyertakan budaya tari dalam lituri, seni ukiran dapat menghiasai tiang-tiang penyanggah gedung dan tata ruang gereja, doa-doa dan ungkapan iman orang-orang Asmat. Tetapi lebih luas dari itu, “Raksa pastoral harus mencakup budaya, lingkungan hidup, alam pikiran orang-orang Asmat, dan kehidupan ekonomi, dan pendidikan,” tegasnya.

Hanya menonton
Pastor Hubert Thomas SVD yang hadir sebagai fasilitator dalam Muspas itu, kepada HIDUP mengatakan, orang-orang Asmat saat ini ibarat “kejantanan yang sudah disunat.” Artinya, orang-orang Asmat dulu memiliki semangat juang yang ditandai dengan suka berperang dan sanggup hidup di tengah alam yang sebagaian besar rawa-rawa.

Tetapi sekarang mereka sedang bingung dan loyo di tengah berbagai nilai yang bersumber dari budaya luar yang masuh ke Asmat. Di satu sisi mereka adalah orang-orang Asmat yang tangguh dan dengan segala kekayaan budayanya. Di sisi lain mereka adalah orang-orang yang disambangi berbagai nilai baru.

“Banyak orang Asmat berdiri di emperan kios-kios dan memandang ke dalam bukan hendak membeli sesuatu. Mereka hanya melihat. Mereka hanya penonton dari apa yang sering disebut sebagai perubahan,” doktor sosiologi ini memberi contoh sebagai gambaran keberadaan orang Asmat sekarang ini.

Budaya meramu adalah budaya khas orang Asmat. Mereka hidup dari alam, mengambil sesuatu dari alam sesuai kebutuhan. Sagu, ikan, kepiting (kraka), dan ulat sagu misalnya. Tanaman sumber karbohidrat dan hewan-hewan sumber protein itu diambil sesuai kebutuhan. Mengkonsumsi sagu dan ikan merupakan hal biasa.

Tetapi sekarang mulai ada pergeseran terutama generasi muda. Generasi muda sebagai penerus budaya Asmat di masa depan, lebih senang makan nasi dari beras, mie instant, minum ringan kaleng, sambil menyanyikan lagu-lagu pop. “Anak-anak sekarang lebih senang makan nasi dan mie instant daripada makan sagu,” kata staf Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agats-Asmat, Vallens Adji Sayekti.

Menata ekonomi
Budaya meramu pada puluhan tahun lalu merupakan hal yang biasa. Tetapi zaman sudah berubah. Budaya hidup meramu, dengan prinsip mengambil sesuai kebutuhan, kini berhadapan dengan budaya serba cepat (instan) dan mengutamakan rasa enak. Budaya instant dan rasa enak menuntut pengeluaran pendapatan ekonomi (uang).

Kalau dulu, persediaan makanan habis masih bisa diambil di hutan dan air. Kalau sekarang, persediaan makanan habis, uang tidak ada, apa yang diperbuat? Inilah tantangan dan peluang di depan mata untuk mengembangkan pastoral yang bertujuan menata kehidupan ekonomi orang-orang Asmat.

Menurut Adji – panggilan Vallens Adji Sayekti – Komisi PSE perlahan-lahan membina masyarakat Asmat untuk menabung. “Kita awali dengan beberapa ibu yang berjualan di pasar. Kita pantau, berkumpul dengan mereka dan memberi pembinaan-pembinaan. Meskipun jumlah orang yang terlibat masih sedikit tetapi mereka semangat,” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini.

Beras, mie instan, kompor minyak, speedboat, minuman kaleng, lagu pop, vcd player dan sebagainya adalah wujud nyata budaya luar yang masuk ke Asmat. Sagu, ikan, papeda, ubi, jew (rumah adat), wair (tungku api), sampan kayu, rakit, dan sebagainya adalah wujud nyata budaya Asmat.

Kalau budaya luar – khususnya beras, mie instan, minuman kaleng – saja bisa masuk ke Asmat, apakah budaya Asmat – khususnya sagu bola dan sagu lempeng, ubi – tidak bisa keluar dan merambah ke berbagai wilayah lain di luar Asmat? Atau untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Asmat. Ini ibarat mengembangkan pastoral menanam dan membudidayakan sagu dan potensi-potensi lokal yang lain. Tantangan dan peluang pastoral kontekstual ada di depan mata.

Untuk mewujudkan pastoral seperti itu, maka perlu memperhatikan kata-kata Mgr Aloysius Murwito OFM, “Pastoral yang kontekstual menuntut kerja sama semua pihak.”

Pendidikan di Asmat Tersendat-sendat



SEORANG siswa SMP YPPK St Yohanes Pemandi Agats-Asmat ditugaskan oleh guru bahasa Indonesia untuk melengkapi pribahasa “Tak ada rotan, …” Dengan sigap, anak itu mengatakan, “Tak ada rotan, cari di hutan!”

Jawaban yang betul adalah, “Tak ada rotan akar pun jadi.” Mendengar jawaban itu, sang guru hanya merekam dalam hati. Hari lain, masih dalam pelajaran yang sama, sang guru memberi tugas lagi untuk melengkapi pribahasa, “Ada gula ….” Siswa yang lain menjawab, “Ada gula, ada kopi, ada teh di rumah pak guru!” Jawaban yang benar adalah “Ada gula ada semut.” Sang guru pun tidak memarahi siswa. Belakangan, jawaban siswa itu menjadi cerita lucu di kalangan guru-guru muda di sekolah itu.
Itu merupakan salah satu cerita kecil untuk memotret lebih jauh kondisi pendidikan di Agats-Asmat. Kepala Sekolah SMP YPPK St Yohanes Pemandi, Sr Fransiska Pandong OSU mengatakan, pendidikan di Agats-Asmat tersendat-sendat.

Proses belajar-mengajar, lanjutnya sangat tidak efektif. Hal itu ditandai dengan guru-guru yang sering tidak hadir di kelas saat proses pembelajaran. “Kalau guru tidak hadir selama proses belajar-mengajar di kelas, untuk apa pendidikan. Sekolah apa itu? Guru-guru sering tidak disiplin,” ungkapnya.

Persoalan lain yang muncul adalah komunikasi yang kurang baik antara sekolah, para orang tua dan masyarkat. Komunikasi yang kurang baik ini, mempersulit proses pendampingan terhadap peserta didik. “Orang tua datang menyerahkan anaknya di sekolah dan dilepas begitu saja. Anak-anak pun tinggal berkelompok di bivak-bivak (pondok) tanpa pendampingan. Setelah mengantar mereka ke sini, orang tua kembali ke kampung. Sering kali anak-anak tidak masuk sekolah karena tidak punya makanan. Daripada mereka ke sekolah dalam keadaan lapar, lebih baik mereka tidur di bivak. Itu alasan mereka,” kisahnya.

Sering kali, lanjut Sr Siska, orang tua siswa datang mengamuk di sekolah kalau anaknya tidak naik kelas. Padahal memang tidak memenuhi syarat untuk naik kelas. “Orang tua sering tidak peduli dengan anak-anak mereka,” tegasnya.

Menurutnya, kerja sama semua pihak harus dibangun. Karena dengan demikian dapat memajukan pendidikan di Asmat. Bila kerja sama sudah terbangun dan berlangsung dengan baik, maka pendidikan nilai-nilai – kekatolikan, persaudaraan, kritis terhadap lingkungan, kepekaan lingkungan hidup – dapat berlangsung dengan baik. Pendidikan yang baik bagi orang-orang Asmat, memungkinkan mereka hidup lebih baik di masa depan.

Kabupaten Asmat; Bagai Bayi Belajar Bediri



KABUPATEN Asmat baru seumur jagung. Kabupaten ini baru berdiri tahun 2002. Luas wilayah kabupaten kurang lebih 29.658 km2. Per tahun 2000, jumlah penduduk penduduk sekitar 59.307 jiwa.

Sebagai sebuah daerah pemerintahan yang baru, Kabupaten Asmat ibarat anak yang baru belajar berdiri. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten (pemkab) agar bisa berjalan tegak, kuat, dan mandiri.

Pekerjaan berat yang harus dilakukan adalah meningkatkan mutu pendidikan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, menurut Bupati Asmat Yuvensius A. Biakai, selain membenahi sekolah-sekolah dasar dan menengah yang sudah ada, Pemkab akan mendirikan sekolah menengah atas unggulan di Distrik Sawa-Erma.

Pendidikan kewirausahaan
Anak-anak yang akan sekolah di sana, kata Yuvensius, adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan intelektual lebih. Anak-anak akan tinggal di asrama. Selain kurikulum nasional yang dipakai, akan dikembangkan pula kurikulum lokal. “Anak-anak akan dididik dalam hal seni ukir Asmat, tari, dan nilai-nilai budaya lokal,” kata Ketua Lembaga Masyarakat Adat Asmat ini.

Yuvensius juga mengatakan, akan dididik mengenai cara memasarkan ukiran atau karya-karya seni Asmal yang lain. “Kita mau menumbuhkan semangat kewirausahaan (entrepreneurship) agar kelak mereka bisa wiraswasta di bidang budaya. Kita ingin mengembangkan budaya sebagai sumber ekonomi seperti Bali,” jelasnya.

Peningkatan mutu pendidikan, diakui Yuvensius, sebagai salah satu strategi membentuk orang-orang Asmat agar mampu bersikap kritis dan selektif terhadap segala arus budaya lain yang masuk ke Asmat. “Kita tidak mau Asmat ini punah. Kita mau di tanah lumpur ini ada kemajuan tetapi tetap menjadi orang Asmat dengan jati dirinya yang asli.”

Untuk meningkatkan mutu sekolah dan mewujudkan sekolah unggulan ini, Pemkab akan bekerja sama dengan Keuskupan Agats-Asmat. Bentuk kerja samanya melalui subsidi biaya dan menyiapkan tenaga pengajar berstatus penagawai negeri sipil.

Kebiasaan menabung
Orang-orang Asmat boleh dikatakan mudah mendapat uang. Mereka menjual hasil alam, seperti ikan, kepiting, pohon gaharu, dan sebagainya. Sayang, pohon gaharu yang harganya sangat mahal nyaris punah.

Pemkab juga membantu masyarakat dengan membagi jaring (jala) dan speedboat untuk menangkap ikan. Subsidi pemerintah ini dimiliki secara kelompok.

Yuvensius mengatakan, masyarakat terus-menerus di dorong untuk menabung. Saat pesta budaya berlangsung misalnya. Yuvensius berulang-ulang menghimbau masyarakat untuk menabung.

Penyakit yang sering menyerang masyarakat adalah gangguan pernapasan, malaria, dan kaskadu (koreng). Di beberapa distrik (kecamatan) ada puskesmas. Tetapi pelayanan kesehatan belum maksimal karena kekurangan tenaga medis, sarana medis, dan transportasi yang sulit.

Kesulitan mendapat tenaga medis yang mau tinggal di pedalaman untuk melayani masyarakat, merupakan satu persoalan tersendiri. Untuk itu Pemkab harus bekerja keras dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.

Persoalan lain yang dihadapi Pemkab adalah arus pendatang dari luar Asmat yang terus meningkat. Alasan para pendatang ke Asmat adalah berdagang. Ada kecenderungan mereka ke Asmat hanya untuk mencari uang. Kurang ada niat untuk membangun Asmat. “Kami berharap para pendatang membangun Asmat bukan merusak orang-orang Asmat dengan minuman keras,” harap Kepala Seksi Bina TK/SD Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat Paulus Warbopan.

Friday, December 14, 2007

Jeda Dulang Tambang

Salah satu penyebab peningkatan pemanasan global, yang berakibat secara langsung pada perubahan iklim yang semakin tidak menentu, adalah industri pertambangan di berbagai belahan dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Industri pertambangan mengontribusi pemanasan global sangat signifikan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang gemar dan mengandalkan energi dari industri pertambangan. Tidak heran kalau kawasan-kawasan hutan lindung di berbagai belahan Indonesia yang sebetulnya merupakan jantung dan paru-paru kehidupan, dieksploitasi secara vulgar. Gelombang pasang dan banjir yang kerap melanda wilayah-wilayah di Indonesia merupakan contoh paling nyata akibat dari kegemaran memberlakukan industri pertambangan.

Boleh saja, para pejabat berwenang berargumen bahwa industri pertambangan merupakan investasi dalam kerangka meningkatkan kemampuan ekonomi. Tetapi harus diingat pula bahwa kegemaran berinvestasi bidang pertambangan di Indonesia sama saja dengan menjerumuskan Indonesia dalam kubangan persoalan lingkungan hidup. Akibatnya, rakyat Indonesia pula yang sengsara.

Indonesia harus menunjukkan komitmennya dalam hal pengurangan emisi untuk mereduksi pemanasan global. Salah satu caranya adalah melakukan jeda pertambangan. Pulau-pulau besar di dalamnya mengandung kekayaan mineral yang belum ditambang untuk sementara tidak ditambang. Penambangan akan dilakukan bila area-area penambangan sebelumnya sudah dipulihkan kembali ekosistemnya.

Jeda pertambangan bisa dilakukan selama 30 tahun. Bersamaan dengan pemberlakuan jeda pertambangan, pemerintah harus mengembangkan sumber energi alternatif dan tidak melakukan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil.

Umumkan dan kampanyekan jeda pertambangan ini ke dunia internasional. Alasannya adalah untuk mengurangi pemanasan global. Keseriusan pemerintah menerapkan jeda pertambangan, menunjukkan kepada dunia luar bahwa Indonesia bermartabat.

Pernah dimuat di Koran Tempo, 6 Desember 2007

Kebingungan Klerus di Era Otonomi Daerah

Ada dua kejadian menarik akhir-akhir ini di daratan Flores-Lembata. Pertama, sikap diam Uskup Larantuka terkait rencana tambang di Lembata. Dalam sebuah kesempatan acara di Lembata beberapa waktu lalu, masyarakat bertanya tentang pendapat Uskup terkait rencana pertambangan. Uskup hanya mengatakan, tidak punya kompetensi tentang pertambangan. Perkataan Uskup ini sama artinya dengan sikap diam. Kedua, penolakan masyarakat di area bakal tambang terhadap Tim Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka yang menawarkan diri sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat.

Dua kejadian tersebut menjadi pintu masuk bagi penulis untuk masuk dalam sebuah persoalan yang muncul di berbagai Keuskupan di Indonesia, yakni kebingungan klerus (uskup, imam, dan diakon) di era otonomi daerah. Terkait hal ini, tulisan ini mencoba menyoroti dua hal penting. Pertama, peran penting klerus berdasarkan prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG). Kedua, kebingungan klerus di era otonomi daerah.

Prinsip dasar
Prinsip universal yang dirumuskan dalam hampir semua dokumen Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah keberpihakkan pada masyarakat kecil dan tertindas. Keberpihakkan itu dalam bahasa ASG disebut “Pilihan Mengutamakan Orang Miskin” (Preferensial Option for the Poor). Kalimat pendek itu mengandaikan bahwa yang membuat dan memutuskan pilihan adalah komunitas atau orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal pendidikan, hati nurani yang tulus, semangat berbela rasa, memadai secara ekonomi, punya akses kepada pengambil kebijakan, dan sanggup mempengaruhi para pengambil kebijakan publik.

Prinsip keberpihakkan di atas mencakup semua aspek kehidupan di dunia ini karena manusia adalah makhluk konkrit dengan locus hidup di dunia. Maka keberpihakkan pada orang miskin sebagai supaya perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Kerajaan Allah tidak semata-mata suatu peristiwa dan situasi eskatologis (hidup sesudah mati) tetapi juga merupakan peristiwa sosiologis, ekologis, antropologis, dan ekonomis. Dengan demikian, Kerajaan Allah adalah hic et nunc, kini dan di sini (dimulai dari sekarang dan di dunia ini).

Pertanyaannya adalah apa itu Kerajaan Allah? Atau lebih tepat, apa ciri-ciri dari orang yang berada dalam situasi Kerajaan Allah di dunia ini? Ciri-cirinya adalah hak-hak dasar (asasi) manusia (masyarakat) dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ekologis terpenuhi penuhi. Bila yang terjadi adalah hak-hak dasar tersebut tidak terpenuhi, yang ditandai dengan sistem pemerintahan yang tidak adil, hak-hak masyarakat adat yang diabaikan, perilaku koruptif para pengambil dan pelaksana kebijakan, maka kondisi seperti itu bukan tanda Kerajaan Allah. Bahasa teologis yang tepat untuk kondisi seperti itu adalah dosa.

Bila dosa itu dilakukan oleh sistem pemerintahan negara dengan segala unsur turunannya (provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan/desa, dusun, RT/RW) maka Gereja Katolik terutama klerus, harus berpihak pada para korban. Keberpihakkan klerus itu berpijak pada prinsip dasar ASG yakni preferensial option for the poor. Terhadap segala bentuk dan situasi nir (ketiadaan) Kerajaan Allah, tidak ada tawar menawar dengan penjahat yang adalah pelakunya.

Dari beberapa pokok pemikiran di atas, kita tarik ke konteks hidup masyarakat konkrit. Kita ambil contoh di Keuskupan Larantuka yang meliputi Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Yang terjadi di Keuskupan Larantuka adalah fakta-fakta ini: sampai saat ini masyarakat masih tetap hidup dalam taraf kemiskinan yang parah. Rawan pangan masih menjadi peristiwa berulang setiap tahun, TKI ilegal masih banyak berasal dari daerah ini, pemerintah daerah korup (contoh kasus: indikasi korupsi Pemkab Lembata sampai sekarang masih diproses di Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK dan dugaan korupsi mantan Bupati Flotim yang sekarang sedang diproses di KPK), serta masih banyak lagi fakta pilu lain. Fakta-fakta itu merupakan bentuk nyata kondisi dosa dan ketiadaan Kerajaan Allah.

Pertanyaan sekarang adalah apa yang dilakukan para klerus (uskup dan para imam) berhadapan dengan kondisi dosa seperti itu? Pertanyaan itu dikerucutkan lagi, apa yang harus dilakukan para klerus ketika berhadapan dengan para pelaku pemerintah daerah yang korup?

Kebingungan klerus
Pertanyaan-pertanyaan itu mari kita tempatkan dalam era otonomi daerah. Pada era otonomi daerah, pemerintah Kabupaten mempunyai wewenang yang diatur dalam UU Otonomi Daerah untuk mengatur keuangan daerah atau Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keuangan daerah di peroleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari pajak, retribusi, sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan DAK bersumber dari negara melalui Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Wewenang mengelola keuangan daerah ini menempatkan kabupaten menjadi lumbung uang. Wewenang itu merupakan salah satu keberuntungan dari otonomi daerah yang dinikmati Pemkab.

Di sisi lain, Gereja Lokal (Keuskupan) harus berusaha mandiri baik dalam reksa pastoral maupun dana. Dana merupakan hal krusial (penting). Dana dipakai untuk biaya operasional reksa pastoral dan biaya-biaya rutin lain. Dari mana dana Gereja Lokal (Keuskupan)? Dana diperoleh dari bantuan Kepausan dan donatur-donatur dari luar keuskupan. Keuskupan juga harus mencari dana lokal melalui iuran wajib umat. Tetapi dana dari sumber-sumber itu belum tentu bisa menutup seluruh kebutuhan dan keperluan Keuskupan, terutama Keuskupan yang sumber dana lokal sangat terbatas.

Dalam kondisi Keuskupan seperti itu, sering kali Pemerintah Kabupaten masuk dan memberi bantuan (subsidi) kepada Keuskupan. Bisa berupa uang atau barang. Karena dengan motivasi mendukung reksa pastoral Keuskupan, maka para klerus tentu tidak menampik bantuan itu. Pada titik inilah pemimpin Gereja Lokal berada pada posisi dilematis. Para klerus sering kali bingung. Apakah bersikap kritis terhadap pemerintah kabupaten yang korup atau berselingkuh dengan pemerintah supaya subsidi bisa lancar. Hal yang kedua inilah yang mempunyai peluang paling besar. Ada kecenderungan yang sangat kuat dan kasat mata bahwa di era otonomi daerah, para pemimpin (klerus) Gereja Lokal bukan lagi sebagai pemimpin yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umat (masyarakat) melainkan sebagai klerus pemburu rente (uang).

Otonomi daerah yang menciptakan kesempatan bagi Pemkab untuk menjadi lumbung uang, di satu sisi. Gereja lokal (Keuskupan) harus mandiri dalam hal dana, di sisi lain. Memang dua sisi yang jauh berbeda. Tetapi dua sisi itu sering kali bertemu dan memungkinkan aparat Pemkab dan klerus berselingkuh. Kalaupun klerus bersikap kritis, paling-paling hanya menjadi mediator sepihak. Maka benarlah pepatah kuno, “Kerbau berkelahi atau bercumbu, rumput tetap terinjak-injak.” Aparat Pemkab dan klerus berkelahi atau bercinta, umat (masyarakat) tetap saja menderita.

Pernah dimuat di Harian FLORES POS Ende, 6 Desember 2007

Tuesday, October 2, 2007

Jebakan Maut Corporate Social Responsibility

Dalam Kertas Kerja Sosialisasi Industri Pertambangan Terpadu Lembata yang ditujukan kepada masyarakat Lembata, PT Merukh Lembata Copper mengungkapkan bahwa akan melakukan pengembangan masyarakat (community development). Wujud konkrit pengembangan masyarakat yang akan dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat lokal, penyerapan tenaga lokal, pengembangan mutu pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, dan mengutamakan kesempatan usaha dan bekerja bagi penduduk lokal Lembata.
Dalam dunia korporasi atau perusahaan (khususnya korporasi pertambangan), pengembangan masyarakat (community development) merupakan perwujudan dari konsep tanggung jawab sosial perusahaan/korporasi (corporate social responsibility/csr). Di banyak tempat, corporate social responsibility – selanjutnya disebut CSR – merupakan langkah jitu dari perusahaan untuk menarik simpati dan kepercayaan negara dan masyarakat terhadap aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut di satu tempat. Sebagai contoh, PT Inco – sebuah perusahaan pertambangan nikel dari Canada – yang melakukan aktivitas pertambangan di Sorowako Sulawesi Selatan. Perusahaan ini mewujudkan CSR dalam beberapa aspek seperti sarana kesehatan, sarana pendidikan, pengembangan ekonomi (pertanian dan peternakan).
Bila dilihat secara sekilas, perwujudan CSR merupakan suatu langkah yang mulia. Hasilnya bisa langsung mengena (dirasakan/dinikmati) masyarakat setempat. Tetapi, sesuatu yang dilihat secara sepintas baik, ternyata mengandung jebakan-jebakan mematikan.
Tulisan ini akan menyoroti dua jebakan mematikan dari CSR. Pertama, secara konseptual (pada tataran ide) CSR mengandung dilema, yakni pertarungan antara ide tentang politik balas budi dan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan tambang. Korporasi atau perusahaan sering kali memahami CSR dan perwujudannya sebagai tuntutan etis dan moral. Para aras ini, perwujudan CSR merupakan karya karitatif dari perusahaan. Gagasan yang melatarinya adalah politik balas budi (politik etis).
Menurut perusahaan, politik balas budi harus dilakukan karena masyarakat sudah menyerahkan hak miliknya berupa tanah, air, udara, dan bahkan budaya kepada korporasi tambang. Politik balas budi ini pernah dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia, seperti pembuatan irigasi, pendirian bank-kredit untuk rakyat, subsidi untuk industri pribumi, dan kerajinan tangan. Pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) pada Indonesia sebagai salah satu negara jajahannya.
Ide politik balas budi tersebut bertentangan dengan ideologi ekonomi yang dianut perusahaan – terutama perusahaan tambang. Ideologi ekonomi perusahaan tambang adalah mencari dengan berbagai cara sumber-sumber ekonomi dan mengelolanya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Orientasi keuntungan (profit oriented) menjadi matra utama dan pertama dari perusahaan. Jelas sekali, bahwa tidak ada titik sambung yang menghubungkan ide tentang politik etis dan ideologi ekonomi, yang kedua-duanya dijalankan oleh satu subjek, yakni perusahaan tambang. Sedang berkembang cara berpikir dan praktik oleh perusahaan tambang yang tidak logis. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah masuk akal, bila sebuah perusahaan yang berorientasi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di satu sisi, dan di sisi lain melakukan politik etis bagi masyarakat setempat? Bukankah ini sebuah dilema moral yang mendasar? Bukankah CSR merupakan bentuk penaklukan secara halus terhadap masyarakat setempat agar tidak memprotes aktivitas pertambangan?
Jika demikian, maka, “CSR merupakan strategi pendekatan kaum neoliberal agar tetap bisa melanggengkan hegemoni kapitalisme. Dengan kata lain CSR adalah alat penaklukan dalam kemasan berwajah sosial dan lingkungan dengan motif dasar yang tidak berubah, yakni akumulasi kapital dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya,” (Sonny Sukada, 2007, hal. 19).
Kedua, Beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT), yang didalamnya mengatur juga CSR. Salah satu ketentuan dalam UU tersebut adalah kewajiban bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR. Pengesahan UU tersebut dilakukan setelah sering terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan, seperti di Buyat Sulawesi Utara (pertambangan emas oleh PT Newmont Minahasa), Abepura Papua (pertambangan emas oleh PT Freeport Indonesia), dan Porong Sidoarjo Jawa Timur (pertambangan gas oleh PT Lapindo Brantas Inc).
Langkah pemerintah tersebut ditolak oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan beberapa asosiasi pengusaha. Alasannya, UU tersebut bisa menjadi dasar praktik-praktik pemungutan liar. Banyak perusahaan beranggapan bahwa CSR merupakan bentuk kepedulian mereka sebagai makhluk sosial (corporate citizenship). Karena itu CSR tidak bisa dilegalkan dalam UU. Kepedulian sosial sebagai tindakan sukarela tidak bisa dibakukan dalam UU sehingga menjadi kewajiban.
Jika perusahaan memahami CSR sebagai tindakan sukarela, maka dengan mudah perusahaan melepaskan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Mungkin juga akan mewujudkan CSR tetapi dalam batas waktu tertentu saja.
Jelas, bahwa tidak ada kesamaan konsep tentang CSR antara pemerintah dan perusahaan/korporasi. Ketidaksamaan konsep tersebut akan berujung pada praktik di lapangan. Perusahaan kapan saja bisa enggan melakukan CSR atau masa perwujudan CSR yang terlalu pendek yang tidak sebanding dengan dampak lingkungan yang diderita masyarakat. Akibatnya konflik berkepanjangan bisa terjadi antara perusahaan dengan masyarakat, dan masyarakat dengan pemerintah. Siapa pun yang terlibat dalam konflik, yang sering menjadi korban adalah masyarakat setempat.
Jebakan-jebakan maut tersebut perlu diperhatikan secara serius dan mendalam oleh masyarakat setempat, yakni di lokasi pertambangan secara khusus, dan kabupaten secara umum. Itu agar masyarakat tidak mudah jatuh dalam jebakan yang mematikan diri sendiri. Pemerintah daerah juga harus kritis dengan tawaran berupa CSR dari perusahaan-perusahaan yang akan melakukan investasi.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian POS KUPANG Edisi Jumat 29 September 2007

Wednesday, September 5, 2007

Bermesraan dengan Allah dalam Keheningan



KOMPLEKS Pertapaan Shanti Buana di Sindanglaya, Cipanas, Cianjur tampak agak ramai pada Rabu 18/7. Sekitar puluhan orang muda berusia 20-an tahun sedang asyik bermain volley dan sepak bola.
Sejenak suasana hening dan sunyi khas sebuah biara pertapaan tak terasa pada sore itu. Senda-gurau manusia dan suara gedebag-gedebug bola seolah memecah kesunyian di senja itu. Orang-orang muda tersebut adalah para frater CSE (Carmelitae Sancti Eliae). Beberapa dari mereka baru datang dari Malang untuk mengisi liburan setelah menempuh kuliah selama satu semester di STFT Widya Sasana Malang, Jawa Timur. “Olah tubuh adalah bagian dari hidup sebagai pertapa juga,” ujar salah satu frater.

Tidak direncanakanKeberadaan CSE bertautan erat dengan keputusan Pastor Yohanes Indrakusuma O.Carm untuk memulai sebuah cara hidup tertentu, yakni hidup doa dan kontemplasi dalam kesunyian dan keheningan. “Waktu saya memulai suatu cara hidup tertentu, tidak terpikirkan untuk mendirikan suatu serikat. Saya merasa terpanggil untuk suatu bentuk hidup yang khusus secara secara pribadi saja dan berusaha menjawab panggilan itu,” kisah Pastor Yohanes.
Baru kemudian, lanjut Pastor Yohanes, ada orang-orang yang merasa tertarik juga dengan cara hidup itu. Lalu mula-mula datang para Suster Putri Karmel. Lalu beberapa pemuda yang kemudian menjadi CSE. Secara pribadi, saya tidak berpikir untuk mendirikan serikat dan tidak direncanakan sebelumnya.
Saat memulai cara hidup tertentu, orang-orang datang untuk mengikuti cara hidup yang dilakukan Pastor Yohanes. Sebagai manusia, ia merasa “terganggu”. “Mau hidup sunyi kok malah banyak orang datang dan “mengganggu” kesunyian saya,” tuturnya.
Menghadapi situasi seperti itu, Pastor Yohanes mengeluh pada Tuhan dalam doa dan kontemplasinya. “Tuhan menjawab dengan sebuah pertanyaan. Mana yang lebih penting, cita-citamu atau kehendakKu? Saya terkejut dengan jawaban itu,” katanya.
Sejak saat itu, tidak ada lagi keluhan dalam dirinya. Ia menyadari Tuhan memanggilnya untuk membimbing orang-orang muda yang datang mengikuti cara hidup tertentu yang sedang dijalaninya.

Terpisah dari Carmel
CSE didirikan tanggal 20 Juli 1986, tepat pada hari Raya Nabi Elia. Dalam perkembangannya, pada tahun 1990 CSE diresmikan sebagai sebuah serikat gerejani dengan sebutan assosiasio public. Pastor Yohanes mengakui, semua berlangsung dalam proses yang panjang.
Salah satu proses yang harus dilewati adalah menentukan, apakah CSE bergabung dengan Ordo Carmel atau berdiri sendiri sebagai sebuat serikat baru. “Karena saya sebagai seorang Carmelit, maka apakah harus bergabung dengan Karmel atau berdiri sendiri. Setelah melalui proses yang cukup panjangm, kami melihat bahwa CSE harus berdiri sendiri,” tutur Pastor Yohanes.
Menurut Pastor Yohanes, menetapkan CSE tidak bergabung dengan Ordo Carmel didasarkan pada refleksi mendalam Sabda Yesus bahwa ‘Anggur baru harus ditempatkan dalam wadah yang baru pula’. “Kalau digabung tidak mungkin dan akan hilang lenyap karena merupakan sesuatu yang baru. Karena ini anggur yang baru, tidak bisa disimpan dalam kantong lama. Semua itu prosesnya perlahan-lahan. Menjadi jelas bahwa pelan-pelan suatu bentuk hidup baru terbentuk dalam gereja,” jelasnya.
Saat sekarang sedang diproses untuk menjadi kongregasi religius diosesan. “Dulunya eksperimen, lalu menjadi assosiasio public, lalu menjadi serikat keuskupan. Kemudian hari kalau perkembanganya meningkat dan berada di berbagai negara, CSE bisa menjadi serikat kepausan,” imbuhnya.
Sebagai sebuah serikat religius baru, CSE pun pernah dipertanyakan keberadaannya dicurigai. “Mula-mula dicurigai dan dianggap aneh karena menggabungkan spiritualitas Karmel dan Pembaharuan Hidup dalam Roh. Tantangan itu biasa. Justru dengan macam-macam tantangan, CSE juga berkembang menjadi lebih baik,” kata Pastor Yohanes lagi.
CSE memiliki spiritualitas yang menjadi kekhasannya sebagaimana sebuah serikat religus. Spirituaitasnya merupakan penggabungan dari spiritualitas Ordo Carmel dan Pembaharuan Hidup dalam Roh Kudus.
Pijakan pada spiritualiatas Ordo Carmel bukan semata-mata karena Pastor Yohanes adalah seorang Carmelit. Melainkan lebih dari itu adalah para anggota CSE mau meneladani cara hidup Nabi Elia yang akrab dengan Tuhan dalam keheningan di tempat sunyi dan siap melayani Tuhan dalam dunia ramai.
Sedangkan spiritualitas Pembaharuan Hidup dalam Roh Kudus merupakan sikap terbuka terhadap karunia-karunia ROh Kudus untuk melayani Tuhan dan sesama. “Maka kalau direfleksikan kembali, kami mendapat rahmat besar mengenal kekayaan spiritualitas Ordo Carmel dan kemudian pembaharuan hidup baru dalam Roh Kudus,” ujarnya.
Kesunyian merupakan matra utama CSE. Karena hanya dalam kesunyianlah seorang CSE dapat bertemu dan bermesraan dengan Allah. “Yang menjadi tokoh panutan CSE adalah Nabi Elia. Ia akrab dengan Tuhan dalam kesunyian dan siap turun gunung untuk mewartakan Tuhan. Karena dalam kesunyian orang mengalami kemesraan dengan Tuhan,” tutur Pastor Yohanes.
Maka itu salah satu ciri CSE adalah sifat keheningan. Untuk menjaga keheningan, biara-biara CSE didirikan di tempat-tempat sunyi. Dalam keheningan anggota CSE mengenal dan mengalami Allah. Dari pengenalan dan pengalaman memuncak pada persatuan dengan Allah. Bila sudah bersatu, maka anggota CSE mengemban tugas lain yakni mewartakan Allah kepada orang lain. Membawa orang lain kepada pengalaman yang sama.

Pengalaman pahitCSE menerima orang-orang muda dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka adalah orang Batak, Manado, Jawa, Flores, Tionghoa, dan sebagainya. Mereka yang diterima disitu harus minimal berpendidikan SMA. Syarat yang paling mendasar adalah calon harus sungguh-sungguh mempunyai panggilan. “Motivasi seseorang yang mau masuk CSE adalah betul-betul mencari Tuhan,” jelas Pastor Yohanes.
Sebelum memulai tahap-tahap pendidikan, para calon harus mengikuti tes, yakni akademik, kesehatan, psikologi, dan wawancara. Tes kepribadian sangat penting. Melalui tes tersebut bisa diketahui seseorang bisa menjadi anggota CSE atau tidak. “Misalnya orang yang tidak bisa diam, tidak bisa jadi CSE. Karena orang harus tahan dalam hidup dalam kesunyian,” imbuh Pastor Yohanes.
Setelah melewati berbagai tes tersebut, para calon mulai menjalani masa pendidikan. Tahap pertama adalah postulat selama setahun. Pada masa ini, calon CSE dibina dalam hal hidup doa dan dasar-dasar iman Katolik. Setelah itu, tahun novisiat selama dua tahun. “Selama novisiat, mereka sungguh-sungguh dibina dalam kehidupan rohani secara intensif baik teori dan praktek. Selama tahun pertama novisiat, mereka tidak diijinkan untuk pelayanan. Baru pada tahun kedua novisiat mereka boleh memberikan pelayanan. Sebelumnya memang sudah dipersiapkan dari segi cara dan semangat. Persiapan merupakan hal yang penting agar tidak ngawur saat melayani orang,” jelas Pastor Yohanes.
Usai novisiat, para frater CSE mengikrarkan kaul-kaul sementara untuk jangka waktu empat tahun. Kaul-kaul yang diikrarkan adalah kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Setelah mengikrarkan kaul-kaul, berdasarkan pendapat dari pimpinan dan formator, frater bebas memilih menjadi rahib atau pertapa atau menjadi imam. Bagi mereka yang mau menjadi pertapa, akan menjalani pertapaan di Pertapaan Shanti Buana Sindanglaya. Selama menjadi pertapa, para rahib tetap menjalani pembinaan dan memperdalam hidup doa.
Sedangkan bagi anggota yang mau menjadi imam, harus menjalani pendidikan filsafat dan teologi. Pastor Yohanes pernah mengutus anggota CSE menempuh studi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Para frater CSE yang belajar filsafat di STF Driyarkara pada akhirnya mengundurkan diri satu persatu. “Itu merupakan pengalaman pahit bagi saya,” ungkap Pastor Yohanes sambil tersenyum.
Belajar dari pengalaman tersebut, Pastor Yohanes mengutus para frater CSE untuk menempuh pendidikan filsafat dan teologi di STFT Widya Sasana Malang. Menjalani tahun orientasi pastoral (TOP) dilakukan setelah sarjana (S 1).
Kaul kekal diikrarkan setelah empat tahun kaul sementara. Tetapi ada juga yang ditunda setelah dipertimbangkan oleh pimpinan dan formator CSE. Bagi calon imam, setelah kaul kekal dilajutkan dengan formasi lanjutan sampai ditahbiskan menjadi diakon dan tahbisan imam.
Sejak berdiri, sudah tiga orang yang ditahbiskan menjadi imam. Tahbisan yang paling baru dilakukan dilaksanakan di Paroki St Matias Cinere. Untuk saat ini imam-imam CSE melayani kebutuhan dan karya pelayanan CSE.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah HIDUP

Friday, August 24, 2007

Tragedi Kemanusiaan dan Historisitas Indonesia

Keberadaan Indonesia sebagai bangsa dan negara berdiri di atas pengalaman penderitaan yang panjang. Penjajahan Belanda dan Jepang pra-kemerdekaan membawa banyak kerugian material. Kekayaan alam dikeruk dan dibawa ke negeri penjajah. Selain itu, penjajahan juga mengakibatkan kebangkrutan martabat kemanusiaan orang-orang Indonesia. Penjajahan itu merupakan tragedi kemanusiaan yang terbesar dan terlama yang dialami bangsa dan negara ini.
Penjajahan tersebut ternyata menumbuhkan kesadaran. Sadar akan pengalaman dijajah dan ditindas. Juga sadar akan pembebasan diri dan penegasan eksistensi manusia sebagai makhluk hidup yang bermartabat. Kesadaran ini tumbuh dalam diri generasi 1928 yang kemudian mengerucut pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Peristiwa ini merupakan titik awal relativisasi etnis. Artinya, pengalaman digerus rasa kemanusiaan dan pengalaman ketidakadilan yang dilakukan penjajah, mendorong orang-orang muda pada waktu itu untuk tidak berpijak secara kaku dan rigid pada etnisitasnya. Etnisitasnya direlativisasi dan bergandengan tangan bersama, bekerja dengan nurani bening untuk membebas diri dari penjajah dan segala bentuk penjajahan serta penegasan eksistensi dirinya sebagai manusia.
Peristiwa 28 Oktober 1928 mendorong orang-orang muda untuk terus melanjutkan perjuangan membebaskan diri dari segala bentuk manipulasi manusia. Perjuangan pembebasan menjadi suatu keniscayaan. Ekplisitasi puncaknya terjadi pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan dinyatakan secara terbuka kepada ruang publik baik nasional maupun internasional. Disusul lagi pemberlakuan hukum positif UUD 1945 pada 18 Agustus tahun yang sama. Indonesia sebagai negara dan bangsa resmi berdiri yang kemudian dilengkapi dengan struktur pemerintahan.
Generasi 1928 dan 1945 adalah generasi yang mengalami pencerahan budi dan nurani membuat mereka sadar untuk membentuk negara dan bangsa ini, sadar untuk merelativisasi etnisitasnya, sadar untuk menegaskan harkat dan martabat manusia-manusia Indonesia. Mereka adalah generasi yang berani melampaui tragedi kemanusiaan panjang dan melelahkan yakni penjajahan serta berusaha melampaui sentimen-sentimen etnis yang kaku dan rigid.
Mereka telah menuliskan dan menetapkan sebuah sejarah kemanusiaan yang tumbuh dari tragedi kemanusiaan. Mereka memiliki kesadaran historis yang terkandung dalam pengalaman hidup yang riil. Pengalaman tragedi kema-nusiaan dalam bentuk penjajahan yang mereka alami, merupakan pengalaman akan historisitas manusia. Generasi itu juga tahu bahwa pemahaman akan kesadaran historis penting karena ketika ada revolusi kesadaran historis maka manusia berubah dan berkembang. Oleh sebab itu bagi mereka penjajahan bagi mereka harus ditolak dan dihapuskan. Dengan demikian manusia Indonesia akan berubah dan berkembang.
Kesadaran historis berevolusi terus dan sampai pada historisitas manusia. Historisitas merupakan struktur dalam diri manusia yang menjadi bagian dari esensinya. Atau dengan bahasa lain, historisitas adalah struktur manusia yang membuat manusia manusia sungguh-sungguh menjadi manusia. Eksplisitasinya terwujud dalam komponen-komponen historisitas manusia. Albert Dondeyne (1986) menyebut tiga komponen historisitas manusia. Pertama, manusia sebagai roh yang membadan (Man as Embodied Spirit atau a Besouled Bodily Being). Artinya, manusia dapat mengeksteriorisasikan dirinya atau keluar dari dirinya. Manusia mampu menunjukkan dirinya kepada orang lain atau membuka dirinya terhadap hal-hal yang datang dari luar dirinya. Juga mampu mengaktuskan segala potensi dalam dirinya. Semua itu diwujudkan melalui tindakan-tindakan badaniah. Menjadi manusia berarti menghayati keberadaan dirinya dalam bentuk kebebasan dan tanggungjawab. Kedua, manusia tidak pernah hidup sendiri dalam dunia ini (Man’s Being is a Being-Together). Kehidupan manusia diwarnai oleh tindakan kesalingan yang menguntungkan. Saling menerima, memberi, dan mendengarkan. Kesadaran akan ketidaksendirian dalam dunia mendorongnya untuk melampau batas-batas primordialnya. Ketiga, manusia hidup dalam waktu. Artinya, manusia tidak terikat dalam waktu melainkan melampaui waktu. Pelampauan ini nyata dalam bentuk penghayatan akan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Masa lalu dan masa yang akan datang dihayati dalam masa sekarang. Masa sekarang menjadi anamnesis (pengenangan dan penghadiran kembali) masa lalu sekaligus antisipasi masa yang akan datang.
Melalui tatapan historisitas Dondeyne ini kita bisa melihat historisitas Indonesia yang telah ditetapkan oleh Generasi 1928 dan Genarasi 1945. Mereka sungguh sadar bahwa setiap orang Indonesia harus bebas dari segala bentuk penindasan dan mengembangkan dirinya sehingga menjadi manusia yang utuh.
Mereka juga sadar bahwa merelativisasi etnisitas, kebenaran-kebenaran partikular dan terbuka terhadap orang lain (etnis yang lain), terbuka terhadap kebenaran-kebenaran lain yang lebih universal, merupakan keniscayaan. Dengan kaca mata Dondeyne kita juga bisa melihat bahwa Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan adalah peristiwa historis yang merupakan pantulan hidup orang-orang Indonesia yang menyadari bahwa tragedi kemanusiaan penjajahan merupakan momentum tepat untuk menetapkan optimisme hidup dalam kesamaan (equality), kebersamaan (togetherness), dan tanggungjawab (responsibility) pada masa sekarang dan yang akan datang.
Meskipun Generasi 1928 dan 1945 telah menetapkan dan meletakkan dasar historisitas Indonesia, kita masih tetap mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Mengapa sampai saat ini berbagai tragedi kemanusiaan masih terjadi di Indonesia? Bagaimanakan status ontologis historisitas kita sebagai orang-orang Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dijawab dari berbagai titik pandang. Saya akan menelaahnya dari titik pandang historisitas dan telaahan ini saya tempatkan sebagai jawaban.
Titik pandang historositas yang saya maksud adalah proses mengindonesia kita setelah Generasi 1945 tidak mempunyai gigi lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ada faktor yang amat signifikan dalam menentukan historisitas Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan, yakni TNI, Orde Baru, dan penulisan sejarah Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ada kekeliruan besar dalam menatap dan mengerti Indonesia. TNI menerima Indonesia sebagai sebuah paket yang sudah jadi. Akibatnya institusi ini tidak melihat dan memahami lebih dalam lagi yakni isi paket. Isi paket yang dimaksud adalah bagaimana orang-orang Indonesia menghidupi keindonesiaannya. Dengan bahasa lain, semangat keindonesiaan kita sungguh-sungguh mendalam dan menjadi semangat hidup atau tidak sama sekali. Bagi TNI paket Indonesia secara yuridis formal sudah sah dan tak terbantahkan, harus diterima sebagai finalitas mutlak dan setiap orang Indonesia harus patuh pada Indonesia sebagai paket. Representasi kepatuhan itu terwujud dalam menjalankan secara rigid hukum-hukum positif negara.
Orde Baru di bawah kendali Soeharto, memahami proses mengindonesia atau menghayati semangat keindonesiaan, terwujud dalam sentralisme pemerintahan dan kehidupan berbangsa-bernegara. Pola Soeharto ini sangat dipengaruhi oleh mentalitas militeristik dalam dirinya. Sentralisme nyata dalam bentuk dinafikannya kearifan-kearifan lokal (etnis). Peradaban-peradaban (bisa dibaca: kebudayaan-kebudayaan) lokal tidak lebih daripada entitas kecil yang harus mendukung atau menentukan kebudayaan nasional. Kita bisa melihat hal ini dalam fenomena peradaban lokal yang diekspos ke luar negeri dan diberi tajuk sebagai kebudayaan Indonesia oleh kedutaan besar dan konsulat Indonesia di negara-negara lain. Padahal tidak ada kebudayaan Indonesia, yang ada adalah peradaban-peradaban lokal.
Kegagalan proses mengindonesia juga disebabkan oleh faktor penulisan sejarah dan bangsa ini. Faktor ini merupakan derivat dari pemerintahan Orde Baru. Selama Soeharto berkuasa sejarah ditulis dan ditafsirkan untuk melegitimasi kekuasaannya. Sejarah juga direduksi dalam bentuk hafalan-hafalan atas peristiwa-peristiwa masa lalu dan artefak-artefak yang ditinggalkan oleh generasi-generasi terdahulu.
Sejarah tidak bisa dipahami sebatas itu. Esensi sejarah sebenarnya melampaui aneka peristiwa dan artefak masa lalu. Sejarah adalah ziarah kemanusiaan. Dalam ziarah itu setiap orang secara personal dan komuniter menyadari keberadaannya sebagai manusia. Atau seperti yang dikatakan oleh A. Heller (1982) sejarah adalah kesadaran tentang ada kita (Conciousness of our Being is our Being). Dalam kesadaran yang demikian, person-person melihat eksistensinya dalam kebersamaan (I am if we are, and I am not if we are not). Dalam kebersamaan tersebut personalitasnya tetap diakui.
Tiga faktor (TNI, Orde Baru, Sejarah Bangsa dan Negara) dengan segala karateristiknya ini menyebabkan proses mengindonesia warga negara-bangsa lebih merupakan ketakutan dan kepatuhan naif. Warga negara-bangsa dibuat tidak bebas untuk menghayati keindonesiaannya dalam bingkai kearifan-kearifan lokal. Oleh sebab itu, geliat identitas kolektif pasca-Orde Baru yang sering tampak vulgar seperti mau merdeka (membentuk negara sendiri), membentuk provinsi, dan kabupaten sendiri sebetulnya wajar-wajar saja. Geliat itu merupakan penegasan eksistensi diri lokal yang selama ini digerus habis-habisan. Itu adalah bentuk aktualisasi historisitas manusia dalam pigura kearifan lokal. Etnis-etnis mau menulis sejarahnya sendiri, yang bukan sebagai legitimasi kekuasaan. Melainkan sejarah sebagai penegasan kesadaran mereka akan manusia bermartabat yang memiliki hak-hak dasar yang tidak bisa direduksi oleh siapa pun. Maka negara patut menanggapi hal itu dengan arif bukan dengan pola militerisitik dan kekerasan senjata.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Sinar Harapan 05 Juli 2003

Politik Bantuan di NTT

Secara umum kondisi alam Nusa Tenggara Timur (NTT) kering dan tandus. Itu kenyataan yang tak bisa disangkal. Kondisi ini membuat pendapatan ekonomi dari sektor pertanian sulit diandalkan. Sedangkan potensi kelautan dan pariwisata belum digarap secara maksimal. Oleh sebab itu pertumbuhan ekonomi NTT sangat lambat bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional menunjukkan pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2004 mencapai 4,77 % dan tahun 2005 mencapai 3,10 persen. Pendapatan perkapita tahun 2004 mencapai Rp 2.923.409 dan tahun 2005 mencapai Rp 3.235.699. Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun 2004 mencapai Rp 12.887.107 dan tahun 2005 mencapai Rp 14.601.790.
Kondisi alam dan ekonomi seperti itu menimbulkan bencana sosial ekonomi seperti rawan pangan, gagal panen, gizi buruk, busung lapar dan kelaparan. Belum lagi bencana lingkungan hidup seperti longsor dan organisme pengganggu tanaman (OPT). bencana sosial, ekonomi dan lingkungan hidup sudah menjadi semacam ritual rutin tahunan.
Kondisi seperti itu, lalu menempatkan NTT sebagai provinsi dengan dua atribut: “pencari bantuan” dan “ladang penerima bantuan”. Sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi lambat dan pendapatan ekonomi rendah, NTT menjadi peluang bagi siapa saja khsusnya orang-orang NTT untuk “menjual” kemiskinan NTT. Bagi lembaga-lembaga bantuan baik nasional maupun asing, kemiskinan NTT layak ditanggapi. Maka, tidak kurang dan tidak jarang lembaga-lembaga sosial beramai-ramai memberi bantuan.
Tahun 2004 jumlah dana (uang) yang mengalir ke NTT sangat besar. Hasil penelitian The Institute for Ecosoc Rights 2006 menunjukkan bahwa berbagai NGO internasional baik yang berada dalam PBB maupun di luar PBB serta lembaga pemerintahan asing mengalokasi dana bantuan untuk NTT mencapai lebih dari Rp 119 miliar. Kompas 20/12/2005 menulis APBN untuk NTT sekitar 1,5 triliun. APBD NTT menyumbang Rp 442,8 miliar.
Tahun 2005 APBD NTT sekitar Rp 474,9 miliar. Dana APBN yang dialokasikan ke NTT Rp 1,77 triliun. Bantuan dari 5 lembaga PBB, 10 lembaga pemerintah asing, dan 10 NGO internasional sepanjang Januari-Juli 2005 mencapai Rp 124 miliar.
Bahkan berdasarkan data Bappeda Provinsi NTT, sejak tahun 1983 NTT sudah mendapat bantuan dari luar negeri. Tercatat lebih dari 20 lembaga internasional menyalurkan dana ke NTT dengan prioritas berbeda-beda. Sedangkan tahun 1994-2000 bantuan diprioritaskan untuk penanganan masalah air bersih dan sanitasi. Tahun 2001-2004 bantuan dikonsentrasikan untuk kegiatan pengembangan ekonomi. Tahun 2005-2006 bantuan difokuskan untuk pemberian makanan tambahan, penanganan penyakit dan kesehatan reproduksi.

Politik bantuan
Dengan alokasi dana yang begitu besar dan begitu banyaknya lembaga-lembaga donor yang membantu NTT, bisa diasumsikan bahwa seharusnya tingkat kesejahteraan hidup masyarakat NTT lebih baik. Tetapi ternyata setiap tahun masih saja terjadi berbagai bencana sosial. busung lapar, angka kematian ibu melahirkan mencapai 330/100.000 kelahiran (Kompas, 20/11 2006). TKI ilegal yang bekerja di Singapura dan Malaysia mencapai 6000 jiwa (Suara Pembaruan, 29/5/2006). Itu belum termasuk TKI legal. Menjadi TKI adalah bentuk konkrit dari usaha orang NTT agar bisa hidup.
Data Badan Pusat Statistik Provinsi NTT menunjukkan tahun 2005 rumah tangga miskin mencapai 555.045 keluarga. Tahun 2006 bertambah menjadi 718.640 atau meningkat 75,45 % dari tahun sebelumnya. Berdasarkan fakta itu maka tahun 1996 NTT menempati urutan keempat dan tahun 1997 menempati urutan keenam provinsi termiskin di Indonesia. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan banyaknya bantuan ke NTT.
Kenyataan yang terpapar di atas memunculkan pertanyaan lanjutan: Ada apa dibalik mengalirnya miliaran dana bantuan ke NTT? Inilah pertanyaan yang menggelitik kita. Pertanyaan ini juga menohok nurani kita untuk bertindak jujur terkait pengelolaan dana bantuan. Pertanyaan itu juga menggugat kesadaran kita untuk melihat lebih jelas dan terang mekanisme politik bantuan yang sedang berlangsung di NTT.
The Institute for Ecosoc Rights mencatat beberapa hal penting disoroti berbagai pihak di NTT. Pertama, kinerja NGO/lembaga/badan internasional. Selama ini belum ada mekanisme evaluasi dan monitoring tehadap kinerja, pola pendekatan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Peran ini merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Kedua, tumpang tindih program dan tidak meratanya wilayah kerja mengakibatkan koordinasi dan komunikasi antara lembaga donor dengan pemerintah dan lembaga lokal tidak terbangun dengan baik. Ketiga, pendekatan bantuan pun bersifat darurat (emergensi) jangka pendek, 1-2 tahun. Membantu NTT tidak bisa dalam jangka waktu itu saja. Persoalan budaya, mentalitas dan tingkat pendidikan masyarakat harus sungguh-sungguh dipertimbangkan. Masalah kurang gizi, misalnya. Masalah itu tidak saja terkait kekurangan bahan makanan bergizi tetapi terkait pemahaman dan pola hidup sehat. Itu artinya, masalah pendidikan dan budaya tidak bisa diabaikan.
Tiga catatan penting di atas memuncak pada masalah politik bantuan. Bantuan seringkali disemangati oleh semangat “proyekisme”. Bantuan berpola proyek berkaitan erat dengan jangka waktu anggaran belanja. Pola seperti itu sangat rentan terhadap korupsi. Bisa jadi atau memang, NTT adalah ladang emas bagi para koruptor dari berbagai kalangan.

Wednesday, May 2, 2007

“Trafficking in Women” dan Diskursus Bisnis Hasrat

Kali ini, diturunkan edisi Feminisme. Prostitusi dan seksualitas manusia tidak pernah lekang oleh waktu. Ia hadir seiring hadirnya manusia di bumi. Sepanjang sejarah tema ini selalu dibicarakan dan didiskusikan. Naskah ini merupakan salah satu bentuk dari aktivitas diskusi tersebut. Untuk itu, silakan membaca dan memforward naskah ini ke rekan-rekan Anda.

“Trafficking in Women” dan Diskursus Bisnis Hasrat
• Atau tentang Reduksi Hakikat Manusia?

Alangkah baiknya bila kita mengingat kembali pengalaman duka yang dialami oleh Ni, perempuan berusia 23 tahun, warga kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Ni hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 2 SMP. Ia lalu direkrut oleh Hari Ray dan Dewi Mayangsari untuk dipekerjakan sebagai waitress di Rumah Makan Sangrilla , Malaysia . Selain Ni, An juga direkrut untuk bekerja pada bidang yang sama. Tak disangka, dua perempuan ini malah dijebloskan ke rumah bordil dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di rumah-rumah bordil di Malaysia (Kompas, 26/6/2004).
Duka yang dialami oleh Ni dan An adalah salah satu narasi dari sekian banyak narasi tentang pengalaman pahit yang dialami oleh perempuan yang diperdagangkan untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja seks komersial. Menurut Pusat Informasi dan Dokumentasi Sekretaris Nasional Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (SEKNAS KOPBUMI) pada tahun 2002-2003 terjadi 2568 kasus trafficking in women (pedagangan perempuan).

***

Salah satu aspek dalam diri manusia adalah hasrat. Hasrat adalah desakan, dorongan terhadap sesuatu dalam diri manusia yang disebabkan oleh gerakan metabol-metabol tubuh dan otak manusia. Trafficking in women adalah praktik perdagangan perempuan yang dilakukan orang-orang tertentu yang salah satu tujuannya untuk dipekerjakan secara paksa di rumah-rumah bordil. Praktik perdagangan itu menunjukkan secara jelas kepada kita tentang dua hasrat dalam diri manusia yakni hasrat seks dan hasrat ekonomi.
Duka yang dialami oleh Ni dan An merupakan fakta tentang trafficking in women sekaligus menunjukkan bahwa hasrat seks dan hasrat ekonomi dapat “dikawinkan”. “Perkawinan” kedua hasrat tersebut sering disebut sebagai “bisnis seks”. Dalam bisnis ini ada dua hal yang menonjol: pertama, hasrat ekonomidalam diri manusia selalu mendesak untuk dipenuhi. Salah satu cara memenuhinya adalah dengan memperjualbelikan hasrat seks. Dalam praktiknya, modus pertama yang digunakan adalah penjual melakukan pengkondisian cara berpikir konsumen tentang seks sekaligus merangsangnya. Berbagai sarana material, seperti gambar, majalah, film, website porno dsb., dipakai untuk melancarkan modus itu. Fenomena maraknya penjualan sarana material tersebut menunjukkan bahwa hasrat seks (bahkan seks) bukan hal tabu yang tidak bisa diperbincangkan secara terbuka. Seks adalah hal lumrah dan biasa.
Modus berikutnya adalah konsumen (pembeli) digiring ke realisasi cara berpikir dan pelampiasan hasrat seks yang telah dirangsang, dengan cara menyediakan perempuan-perempuan . Mereka dapat ditampung baik di tempat-tempat tertentu (rumah-rumah bordil) maupun tetap tinggal di rumahnya dan bisa dipanggil kapan saja, untuk memenuhi realisasi hasrat seks konsumen. Penjual – para agen, germo, mucikari – akan mendapat pemasukan uang dari usahanya menyediakan (menjual) para perempuan. Sedangkan para perempuan yang bertugas memenuhi realisasi hasrat seks tersebut juga mendapat uang yang akan dipakai untuk memenuhi hasrat ekonominya.
Kedua, jual-beli (bisnis) hasrat seks dapat berlangsung karena ada orang-orang yang hendak memenuhi hasrat seksnya. Dengan kata lain, ada permintaan konsumen dan kemudian ditanggapi oleh penjual atau penyedia jasa dengan cara menyediakan perempuan. Yang mempunyai motif ekonomi di sini adalah para penjual – para agen, germo, mucikari – dan para pemuas hasrat seks (perempuan). Sarana material yang telah disinggung di atas juga dapat menjadi sarana realisasi hasrat seks para konsumen dengan cara permainan imajinasi tindakan seks. Bagi para penjualnya, menjual sarana itu adalah untuk realisasi hasrat ekonomi.

***
Diskursus tentang bisnis hasrat menyinggung pula aspek lain dalam diri manusia yakni “memperoleh kepenuhan” dari tindakan pemenuhan hasrat-hasrat. Makna dalam frase “memperoleh kepenuhan” adalah bahwa setiap tindakan yang dilakukan untuk memenuhi hasrat-hasrat merupakan tindakan yang berbasis pada kehendak (will) atau pilihan yang diputuskan/diambil berdasarkan pertimbangan rasional dan hati nurani. Bila demikian, maka pertanyaannya adalah: apakah para perempuan tidak memperoleh kepenuhan dari hasrat seks dalam dirinya? Apakah semata-mata hasrat ekonomi yang dipenuhi dengan mengabaikan pemenuhan hasrat seks meskipun pada kesempatan yang sama mereka bisa memenuhi kedua hasrat itu? Pada titik inilah, problem yang muncul adalah “kehendak” (will), “desakan”, “dorongan” dan “keterpaksaan” . Bagi pembeli (pencari kepuasan hasrat seks) “kehendak” (will) tidak berlaku. Yang ada adalah mencari dan memenuhi desakan dan dorongan hasrat seksnya. Langkah yang diambil adalah melampiaskan hasrat seks dengan perempuan di rumah bordil atau perempuan yang bias dipanggil untuk itu dan membayarnya dengan uang. Sedangkan bagi perempuan karena “terdesak” oleh hasrat ekonomi yang harus dipenuhi maka “terpaksa” melakukan tindakan dengan langkah memuaskan hasrat seks para pembeli dan mendapat uang sebagai pemenuhan hasrat ekonomi.
Lalu di mana “kehendak” (will) menempati tempatnya? “Kehendak” diabaikan karena ia mengandaikan adanya rasionalitas dan hati nurani. “Kehendak” (will) merupakan problem moral yang pada praksisnya menempatkan manusia sebagai tujuan bukan sarana. Dalam bingkai trafficking in women dan bisnis hasrat di atas problem moral yang terjadi adalah manusia dijadikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yakni pemuasan hasrat ekonomi dan hasrat seks. Padahal, secara moral manusia (setiap orang) adalah tujuan, seperti yang diujarkan oleh filsuf besar dalam bidang moral Immanuel Kant (1724-1804), “Bertindaklah sedemikian sehingga engkau memperlakukan kemanusiaan entah dalam dirimu sendiri atau orang lain, selalu sebagai tujuan dan bukan hanya sebagai sarana” (Foundations of the Metaphysics of Morals, 1785, 53). Jelaslah bahwa manusia tidak pernah boleh “digunakan” sebagai sarana untuk mencapai tujuan (James Rachels, Filsafat Moral, 2004, 235).
Tindakan realisasi hasrat seks oleh pencari kepuasan seks dengan cara meniduri perempuan di rumah-rumah bordil atau yang bisa dipanggil untuk hal itu merupakan tindakan mereduksi dimensi seksual manusia menjadi semata-mata seks. Dimensi seksual (seksualitas) bertautan erat dengan keseluruhan diri manusia. Hasrat seks merupakan bagian kecil dan inheren dari seksualitas manusia. Oleh karena itu, realisasi hasrat seks menjadi lebih beradab bila bergerak pada aras motif memperdalam relasi interpersonal suami-istri, motif prokreasi dan motif memperdalam relasi intersubjek. Para aras ini “kehendak” (will) menempati peran dan tempat sentral.
Reduksi juga terjadi aras pemenuhan hasrat ekonomi. Hasrat itu menjadi banal manakala hasrat itu direalisasikan dengan tujuan pada dirinya sendiri, menumpuk kekayaan, dan mengikuti trend zaman yang menempatkan manusia berdasarkan barang material yang dimilikinya dan yang melekat pada tubuhnya. Memprostitusikan diri, memperdagangkan perempuan dengan motif realisasi hasrat ekonomi pada dirinya sendiri merupakan pengkhianatan terhadap dimensi ekonomi yang sebetulnya dalam pemenuhannya dimotifasi oleh upaya-upaya ekonomi untuk “mengevolusikan diri manusia” sebagai makhluk multidimensional (Teilhard de Chardin, Semesta Manusia, 2004).
Hasrat ekonomi merupakan bagian kecil dan inheren dari dimensi ekonomi manusia. Oleh sebab itu, realisasinya akan menjadi lebih beradab bila bergerak pada aras dimensi ekonomi manusia yang dalam pemenuhannya menempatkan martabat manusia sebagai tujuan utama. Dalam tujuan itu, manusia mengevolusikan dirinya, artinya manusia melakukan humanisasi diri manusia.

***

Pekerjaan besar bagi kita semua untuk menyelamatkan manusia dari kepungan “kultur kematian” (meminjam istilah Yohanes Paulus II) seperti trafficking in women dan bisnis hasrat. Kita juga mempunyai pekerjaan besar untuk mengembalikan manusia pada hakikat dirinya sebagai makhluk multidimensional. Langkah elegan untuk pekerjaan itu adalah pembentukan cara berpikir dan perilaku hidup sehar-hari.
Untuk mewujudkan hal itu, pendidikan humaniora menjadi penting dan mendesak yang pelaksanaannya dimulai dari diri sendiri, keluarga, pendidikan formal, pendidikan alternatif, pendidikan cultural di ruang publik (media massa, komunitas kebudayaan, komunitas musik, komunitas olah raga, dsb.). Pendidikan humaniora di berbagai lini tersebut akan membuat masyarakat menjadi educated (terdidik), civilized (beradab) dan kritis terhadap semua bentuk dehumanisasi.

Tuesday, April 10, 2007

EDISI SASTRA

Untuk Edisi Sastra kali ini, dipublikasikan sajak-sajak tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sajak-sajak ini terinspirasi dari perjalanan saya ke Lhok Nga, Peukan Bada dan Ulee Kareng pada akhir tahun 2006. Perjalanan saya ke tiga tempat itu dalam rangka kerja kemanusiaan.

Cemara Rindu di Pantai Lhok NgaSajak-sajak Harapan dan Cinta


Mata-mata Belia
- buat siswa-siswi SMA Negeri 1 Lhok Nga –

mata-mata belia:
menumbuk laut
menikam pasir
menantang angin
gemetar
mendesah berat
geram
gelegarkan dada menusuk sukma
amuk gelombang raksasa
damparkan mata-mata belia
sesaki ruang-ruang sempit pengap
peluk lelah rangkul sedih
gendong duka sayat luka

waktu telah usai
mata-mata belia:
rajut suka hapus pedih
jahit luka sembuhkan duka

waktu sudah datang

mata-mata belia:
peluk bukit gendong ngarai
rangkul lembah cium pantai

waktu telah bersama mereka

mata-mata belia:
ajak laut
pasir
angin
berdendang di rimbun cemara
menari di punggung bebukitan
mencipak air di sungai

waktu dalam mereka

mata-mata belia:
kawinkan laut dan darat
sandingkan lembah dan palung
rekatkan pasir dan lumpur sawah

mereka adalah waktu

mata-mata belia:
rangkai bunga-bunga liar
sematkan pada rambut
berdendang riang
menari riang di pematang pantai
bermusik suara kaki sapi beradu jalan berbatu kerikil

waktu adalah mereka

mata-mata belia:
ulas senyum di pelataran laut
ukir mimpi di kaki langit
pahat gembir di punggung bebukitan
kirim harapan lewat angin
kepada tebing
ngarai
pantai

mata-mata belia:
pemilik waktu
pemilik hidup
penantang cemas
penakluk maut
obor malam kelam

mata-mata belia:
mata-mata kehidupan

Lhok Nga – Peukan Bada, 7 September 2006


Puspa Pantai Lhok Nga
- buat seorang siswi SMAN 1 Lhok Nga Kelas 2 IPS 1 -

pada pelataran bumi bekas petaka
engkau tumbuh
aromamu aroma angin bebukitan
kelopakmu kelopak mata bayi
mekarmu mekar gadis belia

kupetik dikau
engkau hanya memadang teduh
kudendangkan syair ini untukmu
engkau hanya persembahkan senyum

kutulis puisi rindu untukmu
engkau hanya hadir dalam aroma perkawinan angin bebukitan dengan angin pantai
hadirmu hadirkan harapan

kutanam dirimu pada tanah palung hatiku
engkau semakin jauh
jauhmu jauhkan resah

pengecutkah aku?
penakutkah aku?
pecundangkah aku?

biarlah kita kuburkan semua ini
bersama petaka yang telah usai

biarlah semuanya menjadi hidup
dalam hidupmu
dalam hidupku

Lhok Nga – Peukan Bada, 8 September 2006

Pelabuhan Hati
- untuk para guru di SMAN 1 Lhok Nga dan SMAN 1 Peukan Bada -

tuturmu
sesejuk hujan musim kemarau
relamu
setajam jarum-jarum air
abdimu
selaksa butir-butir hujan
sapamu
selembut lumpur debu tanah
semangatmu
seindah teratai di air pekat

berkawan resah karena dompetmu menipis
engkau tegak ceritakan cerita cerah
untuk anak-anak korban petaka
berteman risau karena usiamu beranjak senja
engkau tuturkan kata bijaksana
untuk anak-anak korban kekerasan
berteman lelah karena pengorbananmu yang tak padam
engkau lambungkan bahasa damai untuk anak-anak penghuni barak
bersetubuh desah lirih kalbu yang luka karena jasamu menguap lenyap
engkau kidungkan lagu gembira
untuk anak-anak petani miskin
berbekal doa pada ilahi
engkau lantunkan syair kudus
untuk anak-anak nelayan melarat

engkau
pintu gerbang bagi anak-anak
tuk kayuh sampan ke tengah samudra harapan hidup
tuk kayuh biduk ke tengah lautan cita-cita


engkau
pelabuhan hati bagi anak-anak
tambatkan tali sampan kelelahan
tempat sauh biduk kerinduan dibuang

dari otakmu
terpancar puisi-puisi pencerahan
dari mulutmu
mengalir air petuah dan nasihat
dengan tanganmu
engkau mengurai kata-kata sejuk
engkau merangkai bahasa bening
dari suaramu
mengalun nyanyian laut biru
kidung pelangi rindu
mazmur embun bening
dari matamu
cahaya emas memendar
cahaya biru meleleh
cahaya jingga meretas

engkau bongkar kebekuan dengan cinta
kekakuan dengan kasih
kekerasan dengan kelembutan
kebodohan dengan ketulusan

engkau adalah engkau
engkau pelabuhan hati anak-anak


Ulee Kareng, 11 September 2006


Cemara Rindu di Pantai Lhok Nga

- sua puteri belia berjilbab putih -

kemarin sore engkau datang
membawa segenggam pasir putih
engkau tebarkan pada tapak-tapak kaki
di atas pasir itu
engkau menari
engkau menyanyi
engkau nyanyikan lagu cinta tanpa CINTA

sore ini engkau datang
membawa setangkai cemara
engkau sematkan pada celah jilbabmu nan putih
di atas pasir itu
engkau menari lagi
engkau menyanyi lagi
engkau nyanyikan lagu cinta dengan penuh RINDU

besok sore
saat matahari setubuhi kaki langit Lhok Nga
aku menunggumu di atas tapak-tapak pasir ini
engkau datang
menjumpaiku
kita menari bersama
kita menyanyi berdua
nyanyi merdu butir-butir pasir
tari gemulai daun-daun cemara

dan pada celah jilbapmu nan putih
aku sematkan CEMARA RINDU penuh CINTA
kita terbang lenyap bersayap CEMARA RINDU penuh CINTA
ke kaki langit Lhok Nga
kita kepakkan sayap-sayap

Lhok Nga-Peukan Bada-Ulee Kareng 11 September 2006

EDISI SASTRA

Untuk Edisi Sastra kali ini, dipublikasikan sajak-sajak tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sajak-sajak ini terinspirasi dari perjalanan saya ke Lhok Nga, Peukan Bada dan Ulee Kareng pada akhir tahun 2006. Perjalanan saya ke tiga tempat itu dalam rangka kerja kemanusiaan.






Cemara Rindu di Pantai Lhok Nga
Sajak-sajak Harapan dan Cinta


Mata-mata Belia

- buat siswa-siswi SMA Negeri 1 Lhok Nga –

mata-mata belia:
menumbuk laut
menikam pasir
menantang angin
gemetar
mendesah berat
geram
gelegarkan dada menusuk sukma
amuk gelombang raksasa
damparkan mata-mata belia
sesaki ruang-ruang sempit pengap
peluk lelah rangkul sedih
gendong duka sayat luka

waktu telah usai
mata-mata belia:
rajut suka hapus pedih
jahit luka sembuhkan duka

waktu sudah datang

mata-mata belia:
peluk bukit gendong ngarai
rangkul lembah cium pantai

waktu telah bersama mereka

mata-mata belia:
ajak laut
pasir
angin
berdendang di rimbun cemara
menari di punggung bebukitan
mencipak air di sungai

waktu dalam mereka

mata-mata belia:
kawinkan laut dan darat
sandingkan lembah dan palung
rekatkan pasir dan lumpur sawah

mereka adalah waktu

mata-mata belia:
rangkai bunga-bunga liar
sematkan pada rambut
berdendang riang
menari riang di pematang pantai
bermusik suara kaki sapi beradu jalan berbatu kerikil

waktu adalah mereka

mata-mata belia:
ulas senyum di pelataran laut
ukir mimpi di kaki langit
pahat gembir di punggung bebukitan
kirim harapan lewat angin
kepada tebing
ngarai
pantai

mata-mata belia:
pemilik waktu
pemilik hidup
penantang cemas
penakluk maut
obor malam kelam

mata-mata belia:
mata-mata kehidupan

Lhok Nga – Peukan Bada, 7 September 2006


Puspa Pantai Lhok Nga

- buat seorang siswi SMAN 1 Lhok Nga Kelas 2 IPS 1 -

pada pelataran bumi bekas petaka
engkau tumbuh
aromamu aroma angin bebukitan
kelopakmu kelopak mata bayi
mekarmu mekar gadis belia

kupetik dikau
engkau hanya memadang teduh
kudendangkan syair ini untukmu
engkau hanya persembahkan senyum

kutulis puisi rindu untukmu
engkau hanya hadir dalam aroma perkawinan angin bebukitan dengan angin pantai
hadirmu hadirkan harapan

kutanam dirimu pada tanah palung hatiku
engkau semakin jauh
jauhmu jauhkan resah

pengecutkah aku?
penakutkah aku?
pecundangkah aku?

biarlah kita kuburkan semua ini
bersama petaka yang telah usai

biarlah semuanya menjadi hidup
dalam hidupmu
dalam hidupku

Lhok Nga – Peukan Bada, 8 September 2006


Pelabuhan Hati

- untuk para guru di SMAN 1 Lhok Nga dan SMAN 1 Peukan Bada -

tuturmu
sesejuk hujan musim kemarau
relamu
setajam jarum-jarum air
abdimu
selaksa butir-butir hujan
sapamu
selembut lumpur debu tanah
semangatmu
seindah teratai di air pekat

berkawan resah karena dompetmu menipis
engkau tegak ceritakan cerita cerah
untuk anak-anak korban petaka
berteman risau karena usiamu beranjak senja
engkau tuturkan kata bijaksana
untuk anak-anak korban kekerasan
berteman lelah karena pengorbananmu yang tak padam
engkau lambungkan bahasa damai untuk anak-anak penghuni barak
bersetubuh desah lirih kalbu yang luka karena jasamu menguap lenyap
engkau kidungkan lagu gembira
untuk anak-anak petani miskin
berbekal doa pada ilahi
engkau lantunkan syair kudus
untuk anak-anak nelayan melarat

engkau
pintu gerbang bagi anak-anak
tuk kayuh sampan ke tengah samudra harapan hidup
tuk kayuh biduk ke tengah lautan cita-cita


engkau
pelabuhan hati bagi anak-anak
tambatkan tali sampan kelelahan
tempat sauh biduk kerinduan dibuang

dari otakmu
terpancar puisi-puisi pencerahan
dari mulutmu
mengalir air petuah dan nasihat
dengan tanganmu
engkau mengurai kata-kata sejuk
engkau merangkai bahasa bening
dari suaramu
mengalun nyanyian laut biru
kidung pelangi rindu
mazmur embun bening
dari matamu
cahaya emas memendar
cahaya biru meleleh
cahaya jingga meretas

engkau bongkar kebekuan dengan cinta
kekakuan dengan kasih
kekerasan dengan kelembutan
kebodohan dengan ketulusan

engkau adalah engkau
engkau pelabuhan hati anak-anak


Ulee Kareng, 11 September 2006

Cemara Rindu di Pantai Lhok Nga

- sua puteri belia berjilbab putih -

kemarin sore engkau datang
membawa segenggam pasir putih
engkau tebarkan pada tapak-tapak kaki
di atas pasir itu
engkau menari
engkau menyanyi
engkau nyanyikan lagu cinta tanpa CINTA

sore ini engkau datang
membawa setangkai cemara
engkau sematkan pada celah jilbabmu nan putih
di atas pasir itu
engkau menari lagi
engkau menyanyi lagi
engkau nyanyikan lagu cinta dengan penuh RINDU

besok sore
saat matahari setubuhi kaki langit Lhok Nga
aku menunggumu di atas tapak-tapak pasir ini
engkau datang
menjumpaiku
kita menari bersama
kita menyanyi berdua
nyanyi merdu butir-butir pasir
tari gemulai daun-daun cemara

dan pada celah jilbapmu nan putih
aku sematkan CEMARA RINDU penuh CINTA
kita terbang lenyap bersayap CEMARA RINDU penuh CINTA
ke kaki langit Lhok Nga
kita kepakkan sayap-sayap

Lhok Nga-Peukan Bada-Ulee Kareng 11 September 2006

Saturday, March 31, 2007

Celah Langit 2


Judul Foto: Celah Langit 2
Fotografer: Alexander Aur Apelaby
Bandung 2006

Celah Langit



Judul Foto: Celah Langit
Bandung 2006

Langkah Waktu

ribuan waktu
sekeping cinta
pada pendakian waktu ini
kita pernah menari bersama
di tengah pendar-pendar cahaya

lupakan sakit di tikungan waktu
balutlah rindu di sudut hati
biarkan burung camar mengais suara
dalam senyap jiwa
kita langkah dalam waktu

pondok labu, maret 2007

Blog Kehidupan

"Batas Pinggir" bukanlah sebuah batas dalam arti sesungguhnya. "Batas Pinggir" hanyalah sebuah bentuk penegasan bahwa dalam hidup ini kita perlu batas-batas. Itu bukan bermaksud membatasi melainkan menegaskan bahwa pada batas itu kita dapat memaknai hari kemarin, melihat hari ini dan merancang hari esoh. Dengan kata lain, kemarin adalah sejarah, hari ini adalah kenyataan dan esok adalah misteri. Dengan menghayati ini, kiranya kita dapat lebih bijaksana dalam hidup ini.

Semoga berbagai tulisan, gambar dan foto dalam blog "Batas Pinggir" menjadi sumber inspirasi bagi para pembaca semuanya.