Monday, December 17, 2007
Asmat; Bagai Cermin di Simpang Jalan
DONATUS Geriap, Simon Pari, Titus Job, dan Herman Bapan tampak semangat memahat kayu glondongan berukuran sekitar 45 cm dan berdiameter 20 cm. Dengan alat ukir sederhana mereka membentuk glondongan kayu itu menjadi ukiran-ukiran indah.
Donatus, Simon, Titus dan Herman adalah empat orang wai ipits (pengukir) yang meraih Juara I lomba ukir yang diselenggarakan dalam Pesta Budaya Asmat Ke-24 2007. Mereka menang untuk kategori ukiran patung besar, patung cerita, panel, dan tradisional. Mereka mendapat hadiah masing-masing Rp. 5 juta.
Puncak pesta budaya bertema Menjadikan Asmat Semakin Mantap Sebagai Situs Warisan Dunia ini digelar di Lapangan Yos Sudarso, Agats, Papua, Kamis-Rabu, 4-10/10. Sebanyak 177 pengukir dan 120 penari yang ikut ambil bagian dalam pacara puncak sebanyak tersebut.
Pesta budaya dimulai dengan seleksi ukiran di setiap distrik (kecamatan). Unsur-unsur yang dipertimbangkan dalam proses seleksi adalah daya kreatif yang tinggi dan perubahan atau kreasi baru. Panitia juga menetapkan distrik yang lolos seleksi wajib menyertakan kelompok penari yang akan dipentaskan pada perayaan puncak.
Distrik-distrik yang lolos seleksi adalah Distrik Sawa-Erma diwakili Kampung Komor, Distrik Agats diwakili Kampung Uwus, Distrik Pantai Kasuari diwakili Kampung Simsagar, Distrik Fayit diwakili Kampung Biopis, Distrik Atsj diwakili Kampung Yaosakor, Distrik Akat diwakili Kampung Warse. Distrik Suator yang diwakili Kampung Binam berhalangan hadir dalam acara puncak.
Tahun-tahun sebelumnya, penyelenggara pesta budaya Asmat adalah Keuskupan Agats-Asmat. Mulai tahun ini atau pesta budaya ke-24, penyelenggaranya adalah Pemerintah Kabupaten Agats. Dinas Pariwisata sebagai pelaksana. Meskipun demikian, susunan kepanitiaan tetap melibatkan beberapa orang staf keuskupan.
Menurut Ketua Panitia, Erick Sarkol tujuan pesta budaya kali ini adalah untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya Asmat, menjalin persaudaraan antarrumpun Asmat dan antar semuasuku di Kabupaten Asmat, Membangkitkan kepercayaan diri seniman Asmat, mempertahankan Asmat sebagai salah satu situs warisan budaya dunia, dan menjadikan Asma sebagai daerah wisata popular di Papua.
Ada sesuatu yang baru, lanjut Erick, dalam pesta budaya kali ini. Selain lomba ukir dan pagelaran tari, juga ada pameran busana khas papua. Pameran busana ini dibawakan oleh gadis-gadis dan pemuda-pemuda Asmat. Perancang busana adalah Ursula Konrad dan Anemeri Katukdoan.
Bagi kelompok-kelompok tari yang belum pernah tampil pada pesta budaya tahun-tahun sebelumnya, pesta budaya kali ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk unjuk kebolehan. Misalnya kelompok penari dari Kampung Biopis Distrik Fayit. “Baru sekarang kami tampil. Kami senang,” kata Kristianus Abayua dari Kampung Biopis yang bersama teman-temannya mementaskan tari Moyang Biantur.
Pesta budaya Asmat merupakan kegiatan rutin setiap tahun. Meskipun beberapa kali sempat terhenti, tetapi pada umumnya orang-orang Asmat berharap untuk terus diselenggarakan dan bersemangat ikut serta dalam pesta ini.
Keikutsertaan mereka diwujudkan dalam berbagai bentuk; hadir sebagai penonton dan memberi semangat kepada para pengukir dan penari, menjual hasil ukiran dan anyaman, atau sekedar hanya sebagai penonton murni alias tidak punya apa-apa untuk disuguhkan kepada khalayak yang hadir pada saat itu.
Jual karya
Para pengukir yang lukisannya lolos seleksi diikutsertakan dalam lelang ukiran selama pesta budaya. Berbagai ukiran seperti ukiran patung besar (patung orang), patung cerita (cerita-cerita rakyak yang diukir), panel (binatang atau tumbuh-tumbuhan yang diukir), dan tradisional (tifa, dayung, busur-panah, sampan) dilelang dalam kesempatan itu.
Harga dasar lelang ditentukan oleh panitia. Kisaran harga dasar adalah Rp. 500 ribu – Rp. 4 juta. Dari harga itu bergerak naik mencapai puluhan juta. Sebuah patung besar memperoleh harga lelang tertinggi lelang dalam festival kali ini, yakni sebesar Rp. 20.400.000.
Para pembeli ukiran adalah wisatawan luar negeri yang datang dengan dua kapal pesiar, para ekspatriat yang bekerja di PT Freeport Indonesia Mimika, wisatawan dalam negeri, dan para pejabat pemerintah daerah setempat.
Dari harga lelang itu dipotong 10 persen dan diserahkan kepada panitia. Potongan dikenakan pada ukiran yang dilelang dengan harga Rp. 1 juta ke atas. “Potongan itu untuk dana persiapan pesta budaya tahun depan. Juga untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dari peserta,” jelas Erick Sarkol.
Sedangkan bagi mereka yang ukirannya tidak lolos, dapat menjual ukirannya selama pesta budaya. Selain itu, mereka juga bisa menjual kerajinan-kerajinan tangan lain seperti, tikar dari kulit kayu, pisau dari tulang kuskus, topi dari kulit kuskus dan bulu burung kasuari, tas dari kulit kayu, dsb..
Buta nilai uang
Pesta budaya juga menjadi kesempatan bagi orang-orang Asmat untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar. Meskipun demikian, banyak orang Asmat terutama pengukir-pengukir yang mendapat uang berjumlah besar tidak tahu nilai uang yang mereka terima.
Kenyataan ini menjadi kesempatan bagi para pendatang dari luar Papua – yang berdagang di sana – untuk mengeruk keuntungan besar. Orang-orang Asmat sering ditipu saat belanja di warung atau kios. Misalnya, saat belanja uang kembalian ditukar dengan barang yang harganya lebih rendah dari nilai uang kembalian.
Kenyataan ini mendorong Bupati Agats Yuvensius A. Biakai pada penutupan pesta budaya menghimbau para pedagang agar tidak menipu orang-orang Asmat. Yuven juga menghimbau orang-orang Asmat mencari pendamping yang tahu nilai uang saat belanja. “Para pedagang supaya jangan tipu orang-orang Asmat. Bagi yang akan belanja kalau bisa pakai pendamping supaya jangan ditipu,” himbau Yuven melalui pengeras suara.
Selain tidak tahu nilai mata uang, uang yang diperoleh pun cepat habis. Uang yang diperoleh untuk membeli barang-barang seperti, genset, televisi, vcd player, kopi, gula, beras, mie instant, dan pakaian. “Mereka kalau punya uang, apa saja dibeli. Meskipun bahan bakar di sini mahal mereka beli genset dan barang elektronik lain. Minyak habis ya genset mati, barang elektronik lain dibiarkan begitu saja,” tambah Erick.
Ada juga orang Asmat yang menggunakan uang untuk membeli minum-minuman keras. Menurut keterangan beberapa guru di salah satu sekolah Katolik di Agats, minuman keras dipasok dari luar Papua. Setiap kali kapal penumpang milik PELNI mendarat, ada minuman keras berkrat-krat diturunkan dan dijual bebas. Mereka mabuk dan tidur diemperan kios atau pinggir jalan.
Pemerintah kabupaten juga berkesempatan mencari uang. Pesta budaya menjadi kesempatan investasi jangka pendek. Dana yang dihabiskan untuk pesta budaya tahun ini mencapai Rp. 1 miliar. Menurut Erick Sarkol, meskipun dana yang dikeluarkan besar, keuntungan yang diperoleh pun besar. “Keuntungan tahun lalu sekitar Rp. 300 juta. Tahun ini mencapai Rp. 500 juta,” kata kurator Museum Kemajuan Asmat ini.
Ada suara miring dari peserta terkait pesta budaya. Pesta budaya menjadi ajang menjual budaya Asmat. Sementara orang-orang Asmat tidak mendapat sesuatu yang berarti. “Mereka jual barang kita dengan harga murah. Kita tidak dapat apa-apa,” protes Paulus Fatok dari Kampung Simsagar Distrik Pantai Kasuari.
Ada juga orang Asmat menilai Gereja Katolik menjual budaya Asmat. Menanggapi hal ini, Erick Sarkol berujar tegas, “Kami tidak menjual budaya Asmat. Kami justru menjaga dan memelihara. Masyarakatlah yang menjual budaya mereka sendiri. Misalnya kalau ada turis asing yang datang mereka jual ukiran patung yang sudah diupacarakan. Padahal patung yang sudah diupacarakan tidak boleh dijual karena patung itu sudah digunakan untuk menghadirkan roh-roh leluhur. Selesai upacara, patung itu seharusnya dikuburkan,” tegasnya.
Pesta budaya seperti cermin di persimpangan jalan. Pada cermin itu orang-orang Asmat berusaha memelihara tradisi dan kearifannya. Pada cermin itu pula menatap kesempatan menjual budaya (ukiran, tarian, dan kerajinan tangan) untuk menghasilkan uang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment