Ada dua kejadian menarik akhir-akhir ini di daratan Flores-Lembata. Pertama, sikap diam Uskup Larantuka terkait rencana tambang di Lembata. Dalam sebuah kesempatan acara di Lembata beberapa waktu lalu, masyarakat bertanya tentang pendapat Uskup terkait rencana pertambangan. Uskup hanya mengatakan, tidak punya kompetensi tentang pertambangan. Perkataan Uskup ini sama artinya dengan sikap diam. Kedua, penolakan masyarakat di area bakal tambang terhadap Tim Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka yang menawarkan diri sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat.
Dua kejadian tersebut menjadi pintu masuk bagi penulis untuk masuk dalam sebuah persoalan yang muncul di berbagai Keuskupan di Indonesia, yakni kebingungan klerus (uskup, imam, dan diakon) di era otonomi daerah. Terkait hal ini, tulisan ini mencoba menyoroti dua hal penting. Pertama, peran penting klerus berdasarkan prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG). Kedua, kebingungan klerus di era otonomi daerah.
Prinsip dasar
Prinsip universal yang dirumuskan dalam hampir semua dokumen Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah keberpihakkan pada masyarakat kecil dan tertindas. Keberpihakkan itu dalam bahasa ASG disebut “Pilihan Mengutamakan Orang Miskin” (Preferensial Option for the Poor). Kalimat pendek itu mengandaikan bahwa yang membuat dan memutuskan pilihan adalah komunitas atau orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal pendidikan, hati nurani yang tulus, semangat berbela rasa, memadai secara ekonomi, punya akses kepada pengambil kebijakan, dan sanggup mempengaruhi para pengambil kebijakan publik.
Prinsip keberpihakkan di atas mencakup semua aspek kehidupan di dunia ini karena manusia adalah makhluk konkrit dengan locus hidup di dunia. Maka keberpihakkan pada orang miskin sebagai supaya perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Kerajaan Allah tidak semata-mata suatu peristiwa dan situasi eskatologis (hidup sesudah mati) tetapi juga merupakan peristiwa sosiologis, ekologis, antropologis, dan ekonomis. Dengan demikian, Kerajaan Allah adalah hic et nunc, kini dan di sini (dimulai dari sekarang dan di dunia ini).
Pertanyaannya adalah apa itu Kerajaan Allah? Atau lebih tepat, apa ciri-ciri dari orang yang berada dalam situasi Kerajaan Allah di dunia ini? Ciri-cirinya adalah hak-hak dasar (asasi) manusia (masyarakat) dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ekologis terpenuhi penuhi. Bila yang terjadi adalah hak-hak dasar tersebut tidak terpenuhi, yang ditandai dengan sistem pemerintahan yang tidak adil, hak-hak masyarakat adat yang diabaikan, perilaku koruptif para pengambil dan pelaksana kebijakan, maka kondisi seperti itu bukan tanda Kerajaan Allah. Bahasa teologis yang tepat untuk kondisi seperti itu adalah dosa.
Bila dosa itu dilakukan oleh sistem pemerintahan negara dengan segala unsur turunannya (provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan/desa, dusun, RT/RW) maka Gereja Katolik terutama klerus, harus berpihak pada para korban. Keberpihakkan klerus itu berpijak pada prinsip dasar ASG yakni preferensial option for the poor. Terhadap segala bentuk dan situasi nir (ketiadaan) Kerajaan Allah, tidak ada tawar menawar dengan penjahat yang adalah pelakunya.
Dari beberapa pokok pemikiran di atas, kita tarik ke konteks hidup masyarakat konkrit. Kita ambil contoh di Keuskupan Larantuka yang meliputi Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Yang terjadi di Keuskupan Larantuka adalah fakta-fakta ini: sampai saat ini masyarakat masih tetap hidup dalam taraf kemiskinan yang parah. Rawan pangan masih menjadi peristiwa berulang setiap tahun, TKI ilegal masih banyak berasal dari daerah ini, pemerintah daerah korup (contoh kasus: indikasi korupsi Pemkab Lembata sampai sekarang masih diproses di Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK dan dugaan korupsi mantan Bupati Flotim yang sekarang sedang diproses di KPK), serta masih banyak lagi fakta pilu lain. Fakta-fakta itu merupakan bentuk nyata kondisi dosa dan ketiadaan Kerajaan Allah.
Pertanyaan sekarang adalah apa yang dilakukan para klerus (uskup dan para imam) berhadapan dengan kondisi dosa seperti itu? Pertanyaan itu dikerucutkan lagi, apa yang harus dilakukan para klerus ketika berhadapan dengan para pelaku pemerintah daerah yang korup?
Kebingungan klerus
Pertanyaan-pertanyaan itu mari kita tempatkan dalam era otonomi daerah. Pada era otonomi daerah, pemerintah Kabupaten mempunyai wewenang yang diatur dalam UU Otonomi Daerah untuk mengatur keuangan daerah atau Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keuangan daerah di peroleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari pajak, retribusi, sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan DAK bersumber dari negara melalui Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Wewenang mengelola keuangan daerah ini menempatkan kabupaten menjadi lumbung uang. Wewenang itu merupakan salah satu keberuntungan dari otonomi daerah yang dinikmati Pemkab.
Di sisi lain, Gereja Lokal (Keuskupan) harus berusaha mandiri baik dalam reksa pastoral maupun dana. Dana merupakan hal krusial (penting). Dana dipakai untuk biaya operasional reksa pastoral dan biaya-biaya rutin lain. Dari mana dana Gereja Lokal (Keuskupan)? Dana diperoleh dari bantuan Kepausan dan donatur-donatur dari luar keuskupan. Keuskupan juga harus mencari dana lokal melalui iuran wajib umat. Tetapi dana dari sumber-sumber itu belum tentu bisa menutup seluruh kebutuhan dan keperluan Keuskupan, terutama Keuskupan yang sumber dana lokal sangat terbatas.
Dalam kondisi Keuskupan seperti itu, sering kali Pemerintah Kabupaten masuk dan memberi bantuan (subsidi) kepada Keuskupan. Bisa berupa uang atau barang. Karena dengan motivasi mendukung reksa pastoral Keuskupan, maka para klerus tentu tidak menampik bantuan itu. Pada titik inilah pemimpin Gereja Lokal berada pada posisi dilematis. Para klerus sering kali bingung. Apakah bersikap kritis terhadap pemerintah kabupaten yang korup atau berselingkuh dengan pemerintah supaya subsidi bisa lancar. Hal yang kedua inilah yang mempunyai peluang paling besar. Ada kecenderungan yang sangat kuat dan kasat mata bahwa di era otonomi daerah, para pemimpin (klerus) Gereja Lokal bukan lagi sebagai pemimpin yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umat (masyarakat) melainkan sebagai klerus pemburu rente (uang).
Otonomi daerah yang menciptakan kesempatan bagi Pemkab untuk menjadi lumbung uang, di satu sisi. Gereja lokal (Keuskupan) harus mandiri dalam hal dana, di sisi lain. Memang dua sisi yang jauh berbeda. Tetapi dua sisi itu sering kali bertemu dan memungkinkan aparat Pemkab dan klerus berselingkuh. Kalaupun klerus bersikap kritis, paling-paling hanya menjadi mediator sepihak. Maka benarlah pepatah kuno, “Kerbau berkelahi atau bercumbu, rumput tetap terinjak-injak.” Aparat Pemkab dan klerus berkelahi atau bercinta, umat (masyarakat) tetap saja menderita.
Pernah dimuat di Harian FLORES POS Ende, 6 Desember 2007
Friday, December 14, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment