Monday, December 17, 2007

Peluang Pastoral Menanam Sagu



DIIRINGI tabuhan tifa dan teriakan, sekelompok penari Asmat dengan pakaian adat memasuki Katedral Agats-Asmat. Menyusul di belakang para penari, barisan misdinar, pasto dan Uskup Agats-Asmat Mgr Aloysius Murwito OFM.

Pemandangan itu terlihat saat Misa pada hari Minggu, 7/10. Saat persembahan, para penari kembali mengiringi persembahan dengan tarian. Demikian pula saat para uskup, imam, dan misdinar meninggalkan altar, para penari kembali mengiringi dengan menari di depan menuju halaman gereja.

Diikutsertakannya budaya tari Asmat dalam liturgi Gereja Katolik di Agats-Asmat hanyalah salah satu model pastoral gereja yang kontekstual. Disebut hanya salah satu model karena budaya Asmat tidak semata-mata tarian atau karya seni lain. Budaya Asmat meliputi banyak hal antara lain cara berpikir, pola hidup, jenis makanan, mata pencaharian, pakaian dan sebagainya.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Gereja Katolik Agats-Asmat atau Keuskupan Agats-Asmat, sudah menggereja secara kontekstual dengan berpijak pada kenyataan aspek-aspek budaya Asmat tersebut? Uskup Agats-Asmat Mgr Aloysius Murwito OFM mengakui, pastoral Gereja Katolik di tengah orang Asmat, belum mencakup semua aspek itu.

Dalam Musyawarah Pastoral (Muspas) III Keuskupan Agats-Asmat yang berlangsung pada 25-30 September, kata Mgr Murwito, umat menyoroti reksa pastoral yang belum kontekstual dan petugas pastoral baik pastor, suster, dan tenaga pastoral awam yang berkerja sendiri. “Mungkin petugas pastoral hanya bekerja sama dengan beberapa orang saja. Pastoral yang dijalankan pun rupanya belum kontekstual. Hal itu disoroti dalam Muspas,” katanya.

Mgr Murwito sungguh menyadari, bahwa pastoral Gereja Katolik di tengah orang Asmat pada masa yang akan datang, tidak semata-mata menyertakan budaya tari dalam lituri, seni ukiran dapat menghiasai tiang-tiang penyanggah gedung dan tata ruang gereja, doa-doa dan ungkapan iman orang-orang Asmat. Tetapi lebih luas dari itu, “Raksa pastoral harus mencakup budaya, lingkungan hidup, alam pikiran orang-orang Asmat, dan kehidupan ekonomi, dan pendidikan,” tegasnya.

Hanya menonton
Pastor Hubert Thomas SVD yang hadir sebagai fasilitator dalam Muspas itu, kepada HIDUP mengatakan, orang-orang Asmat saat ini ibarat “kejantanan yang sudah disunat.” Artinya, orang-orang Asmat dulu memiliki semangat juang yang ditandai dengan suka berperang dan sanggup hidup di tengah alam yang sebagaian besar rawa-rawa.

Tetapi sekarang mereka sedang bingung dan loyo di tengah berbagai nilai yang bersumber dari budaya luar yang masuh ke Asmat. Di satu sisi mereka adalah orang-orang Asmat yang tangguh dan dengan segala kekayaan budayanya. Di sisi lain mereka adalah orang-orang yang disambangi berbagai nilai baru.

“Banyak orang Asmat berdiri di emperan kios-kios dan memandang ke dalam bukan hendak membeli sesuatu. Mereka hanya melihat. Mereka hanya penonton dari apa yang sering disebut sebagai perubahan,” doktor sosiologi ini memberi contoh sebagai gambaran keberadaan orang Asmat sekarang ini.

Budaya meramu adalah budaya khas orang Asmat. Mereka hidup dari alam, mengambil sesuatu dari alam sesuai kebutuhan. Sagu, ikan, kepiting (kraka), dan ulat sagu misalnya. Tanaman sumber karbohidrat dan hewan-hewan sumber protein itu diambil sesuai kebutuhan. Mengkonsumsi sagu dan ikan merupakan hal biasa.

Tetapi sekarang mulai ada pergeseran terutama generasi muda. Generasi muda sebagai penerus budaya Asmat di masa depan, lebih senang makan nasi dari beras, mie instant, minum ringan kaleng, sambil menyanyikan lagu-lagu pop. “Anak-anak sekarang lebih senang makan nasi dan mie instant daripada makan sagu,” kata staf Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agats-Asmat, Vallens Adji Sayekti.

Menata ekonomi
Budaya meramu pada puluhan tahun lalu merupakan hal yang biasa. Tetapi zaman sudah berubah. Budaya hidup meramu, dengan prinsip mengambil sesuai kebutuhan, kini berhadapan dengan budaya serba cepat (instan) dan mengutamakan rasa enak. Budaya instant dan rasa enak menuntut pengeluaran pendapatan ekonomi (uang).

Kalau dulu, persediaan makanan habis masih bisa diambil di hutan dan air. Kalau sekarang, persediaan makanan habis, uang tidak ada, apa yang diperbuat? Inilah tantangan dan peluang di depan mata untuk mengembangkan pastoral yang bertujuan menata kehidupan ekonomi orang-orang Asmat.

Menurut Adji – panggilan Vallens Adji Sayekti – Komisi PSE perlahan-lahan membina masyarakat Asmat untuk menabung. “Kita awali dengan beberapa ibu yang berjualan di pasar. Kita pantau, berkumpul dengan mereka dan memberi pembinaan-pembinaan. Meskipun jumlah orang yang terlibat masih sedikit tetapi mereka semangat,” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini.

Beras, mie instan, kompor minyak, speedboat, minuman kaleng, lagu pop, vcd player dan sebagainya adalah wujud nyata budaya luar yang masuk ke Asmat. Sagu, ikan, papeda, ubi, jew (rumah adat), wair (tungku api), sampan kayu, rakit, dan sebagainya adalah wujud nyata budaya Asmat.

Kalau budaya luar – khususnya beras, mie instan, minuman kaleng – saja bisa masuk ke Asmat, apakah budaya Asmat – khususnya sagu bola dan sagu lempeng, ubi – tidak bisa keluar dan merambah ke berbagai wilayah lain di luar Asmat? Atau untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Asmat. Ini ibarat mengembangkan pastoral menanam dan membudidayakan sagu dan potensi-potensi lokal yang lain. Tantangan dan peluang pastoral kontekstual ada di depan mata.

Untuk mewujudkan pastoral seperti itu, maka perlu memperhatikan kata-kata Mgr Aloysius Murwito OFM, “Pastoral yang kontekstual menuntut kerja sama semua pihak.”

No comments: