Friday, February 1, 2008

Tindakan Kenabian Intelektual Religius di Era Otda





KEBERADAAN intelektual ditantang dalam era otonomi daerah. Kapasitas keilmuan dan kredibilitas personal para intelektual dipertanyakan berhadapan dengan fakta-fakta ini: demokratisasi masyarakat sipil yang mulai menggeliat, perilaku koruptif aparat pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi) semakin menjadi-jadi, perselingkuhan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) dengan aparat pemerintah dalam pemburuan rente negara, dan birokrat (aparat pemerintah) bermental malas. Di mana posisi para intelektual?

Orang yang disebut intelektual adalah sosok yang mempunyai kemampuan dan profesional dalam bidang tertentu. Pada umumnya kaum intelektual memiliki latar belakang pendidikan formal yang sangat memadai. Mereka ahli dalam bidang yang ditekuni selama menjalani pendidikan formal. Keahlian itu dilanjutkan selama bekerja. Kaum intelektual – meminjam kategori Karl Marx – termasuk suprastruktur. Artinya, ia termasuk kelas atas karena kapasitas keilmuannya.

Dari perspektif tersebut, para intelektual terbagi dalam empat golongan. Pertama, intelektual akademis. Tugas pokok mereka adalah mengajar dan melakukan penelitian berkaitan dengan bidang keilmuannya. Tempat mereka adalah di lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti universitas, institute, sekolah tinggi, akademi. Para guru dapat dikategorikan juga sebagia intelektual akademis. Tempat mereka adalah sekolah baik dari taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).

Kedua intelektual birokrat. Mereka adalah para birokrat (aparat pemerintah) yang dipercayakan sebagai pelaksana semua kebijakan pemerintah. Mereka menduduki jabatan-jabatan dan staf dalam bidang tertentu di berbagai kantor dinas pemerintah.

Ketiga intelektual lintas batas. Mereka aktif dalam berbagai organisasi non profit atau lembaga kajian independent. Sebagian dari intelektual golongan ini bekerja seperti intelektual akademis. Sebagian lagi berkerja untuk masyarakat melalui non government organization (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Keempat intelektual religius. Mereka adalah para klerus, pendeta, dan para pemuka agama-agama lain. Mereka bekerja berdasarkan kapasitasnya dalam bidang keagamaan. Cara berpikir dan bertindak mereka selalu berpijak pada konsep teologi yang dipahami dan dihayati.

Tulisan singkat ini hendak menyoroti peran kenabian intelektual religius di era otonomi daerah. Secara khusus, peran klerus (uskup, pastor, dan diakon) dalam realitas masyarakat di era otonomi daerah. Sorotan ini akan dimulai dengan ulasan singkat tiga aspek penting dalam diri klerus yang sekaligus intelektual religius. Aspek-aspek yang dimaksud adalah imam, nabi, dan raja. Sebagai imam, tugas klerus adalah menguduskan dunia (manusia dan alam) lewat ritual-ritual dan peristiwa sakramental yang dirayakan bersama umat. Mereka memiliki otoritas spiritual dan teologis (imamat khusus yang diterima karena rahmat tahbisan) untuk merayakan dan menerimakan sakramen-sakramen. Karenanya mereka bertugas menguduskan dunia ini. Sebagai raja, para klerus karena tahbisannya menerima tugas untuk membimbing dan memimpin umat. Gaya kepemimpinan yang dikedepankan adalah melayani secara bijaksana. Dua aspek ini sudah sering dilakukan bahkan menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah.

Aspek ketiga adalah nabi. Sebagai nabi, para klerus hadir di tengah-tengah dunia untuk memperjuangkan kondisi hidup yang lebih baik dalam segala bidang kehidupan baik yang berkenaan dengan manusia maupun alam (linkungan hidup). Mereka dipanggil untuk mewujudkan kenabiannya dalam bentuk suara dan tindakan.

Wajah otda dan tindakan kenabian
Otonomi daerah yang digulirkan pasca kekuasaan Soeharto, menghadirkan wajah baru peta politik dan kekuasaan di Indonesia. Tentunya banyak hal positif yang bisa dipetik setelah otonomi daerah diberlakukan. Warga negara (rakyat) lebih leluasa berpartisipasi di ruang-ruang publik dalam berbagai bidang, pemerintah daerah lebih leluasa mengelola keuangan daerah, lebih leluasa membangun daerah sesuai konteks sosio kultural dan agama daerahnya.

Tetapi bersamaan dengan itu, otonomi daerah juga menhadirkan wajah bopeng daerah. Praktik-praktik korupsi justru lebih marak terjadi di berbagai daerah. Praktik korupsi ini seiring dengan kewenangan daerah dalam mengelola keuangan negara sebagaimana di atur dalam Undang-undang Otonomi Daerah. Selain itu, gubernur dan bupati berperilaku seperti raja-raja feodal ketika menerapkan kebijakan-kebijakan public, DPRD hanyalah macan ompong dan pikun yang tidak lagi memperjuangkan kepentingan konstituen yang memilihnya. Masih terlalu banyak wajah bopeng daerah di era otonomi daerah.

Berhadapan dengan kondisi bopeng wajah daerah yang menampilkan masyarakat sebagai korban, peran intelektual religius (para klerus) ditantang. Selama ini suara kenabian atau seruan moral para klerus laksana kentut. Bunyinya terdengar dan baunya tercium. Tetapi dalam sekejab hilang ditelan udara. Suara kenabian para intelektual religius (klerus) membuat telinga para pelaku ketidakadilan merah dan panas, tetapi dalam sekejab kembali normal.

Dalam kondisi suara kenabian bak kentut inilah, diperlukan tindakan kenabian para intelektual religius (klerus). Prinsip dasar yang dijadikan pijakan intelektual religius dalam tindakan kenabian adalah mewujudkan Kerajaan Allah di dunia, yang ditandai dengan hak-hak, kebebasan, partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan terlaksana secara luas.

Tindakan kenabian terjadi dalam ruang publik. Hannah Arendt dalam buku Human Conditions (1959) mengatakan sebuah tindakan yang dilakukan di ruang publik merupakan tindakan politis, yang melibatkan kebebasan dan pluralitas. Pemikiran Arendt itu menjadi inspirasi untuk mengatakan bahwa tindakan kenabian merupakan tindakan tindakan politis. Tindakan kenabian yang dilakukan intelektual religius, mewujud dalam upaya pemenuhan hak-hak dan kepentingan-kepentingan publik (masyarakat umum). Melalui tindakan kenabian intelektual religius mengartikulasikan aspek-aspek privat dari masyarakat umum (seperti hak untuk makan berarti hak atas ketersediaan pangan, hak untuk sehat berarti hak atas jaminan kesehatan, hak untuk tidur dengan nyaman berarti hak atas pemukiman sehat, dsb.). Berbagai aspek itu diperjuangkan oleh para intelektual religius melalui tindakan kenabian yang dilakukannya secara bebas bukan untuk pretensi politik privat (pribadi) melainkan demi kepentingan umum.


Kebijakan publik
Para intelektual religius, khususnya di NTT secara umum dan di Flores-Lembata secara khusus, bisa belajar dari kasus Lembata. DPRD Lembata menyetujui Rekomendasi Bupati Lembata tentang Pertambangan di Lembata. Persetujuan DPRD memang sudah jelas sejak awal. Argumentasi penolakan oleh para wakil rakyat itu sebelum rekomendasi dikeluarkan hanyalah wujud dari sikap setali tiga uang antara Pemkab Lembata dan DPRD.

Persetujuan atas rekomendasi Pemkab Lembata, menunjukkan bahwa proses pembuatan kebijakan-kebijakan publik di era otonomi daerah (khususnya di Lembata), masih belum melibatkan masyarakat secara langsung dan sekaligus mencederai kepercayaan masyarakat yang sudah didapukkan kepada para wakilnya. Kondisi inilah celah lebar sekaligus lokus yang luas bagi para intelektual religius untuk melakukan tindakan kenabian.

Wujud konkrit tindakan kenabian intelektual religius adalah terlibat secara serius dalam pembuatan kebijakan-kebijakan publik, mulai dari perencanaan, pengujian materi, perbaikan materi, pengesahan kebijakan, pelaksanaan, pengawasan pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan publik. Keterlibatan ini niscaya karena para intelektual religius mempunyai kapasitas keilmuan yang sangat memadai. Dengan kapasitas keilmuannya, intelektual religius menyusun draf kebijakan publik, melakukan analisis rasional, logis, dan bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan publik (bdk. Julian Benda, Pengkhianatan Kaum Intelektual, 1927).

Tindakan kenabian para intelektual religius (klerus) dalam ruang publik bersama dan untuk kepentingan masyarakat, terutama yang menjadi korban, merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari proses dan tujuan demokrasi. Hal ini tidak bisa diabaikan karena para intelektual religius dan masyarakat merupakan warga sekaligus subjek komunitas politik (negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, dusun, RT/RW) itu sendiri.

Tentang komunitas politik ini, David Held dalam Models of Democracy (1987), sebagaimana dikutip Asep Fajar Kurniawan dalam “Partisipasi Publik dan Kebijakan Daerah” (JICA & CSIS 2007) mengatakan, “Dasar pembenaran bagi adanya demokrasi yang berarti pemerintahan oleh warga adalah penentuan-penentuan keputusan publik oleh anggota-anggota komunitas politik yang bebas dan sama kedudukannya.” (hal. 82). Mewujudkan tindakan kenabian berarti bertindak politis melalui penentuan-penentuan keputusan publik. Dalam keputusan-keputusan publik, semua warga komunitas politik adalah subjek mempunyai kedudukan dan kebebasan yang sama. Karenanya subjek tidak bisa diabaikan.

Sudah saatnya, intelektual religius (klerus) bertindak secara politis karena hidup ini sesungguhnya politis. Hidup ini politis karena bertautan erat dengan ruang publik, pluralitas (orang lain) dan kebebasan.

Pernah dimuat di Tabloid FLORES POS Jakarta, 23-30 Januari 2008