Monday, December 17, 2007

Asmat; Bagai Cermin di Simpang Jalan



DONATUS Geriap, Simon Pari, Titus Job, dan Herman Bapan tampak semangat memahat kayu glondongan berukuran sekitar 45 cm dan berdiameter 20 cm. Dengan alat ukir sederhana mereka membentuk glondongan kayu itu menjadi ukiran-ukiran indah.

Donatus, Simon, Titus dan Herman adalah empat orang wai ipits (pengukir) yang meraih Juara I lomba ukir yang diselenggarakan dalam Pesta Budaya Asmat Ke-24 2007. Mereka menang untuk kategori ukiran patung besar, patung cerita, panel, dan tradisional. Mereka mendapat hadiah masing-masing Rp. 5 juta.

Puncak pesta budaya bertema Menjadikan Asmat Semakin Mantap Sebagai Situs Warisan Dunia ini digelar di Lapangan Yos Sudarso, Agats, Papua, Kamis-Rabu, 4-10/10. Sebanyak 177 pengukir dan 120 penari yang ikut ambil bagian dalam pacara puncak sebanyak tersebut.

Pesta budaya dimulai dengan seleksi ukiran di setiap distrik (kecamatan). Unsur-unsur yang dipertimbangkan dalam proses seleksi adalah daya kreatif yang tinggi dan perubahan atau kreasi baru. Panitia juga menetapkan distrik yang lolos seleksi wajib menyertakan kelompok penari yang akan dipentaskan pada perayaan puncak.

Distrik-distrik yang lolos seleksi adalah Distrik Sawa-Erma diwakili Kampung Komor, Distrik Agats diwakili Kampung Uwus, Distrik Pantai Kasuari diwakili Kampung Simsagar, Distrik Fayit diwakili Kampung Biopis, Distrik Atsj diwakili Kampung Yaosakor, Distrik Akat diwakili Kampung Warse. Distrik Suator yang diwakili Kampung Binam berhalangan hadir dalam acara puncak.

Tahun-tahun sebelumnya, penyelenggara pesta budaya Asmat adalah Keuskupan Agats-Asmat. Mulai tahun ini atau pesta budaya ke-24, penyelenggaranya adalah Pemerintah Kabupaten Agats. Dinas Pariwisata sebagai pelaksana. Meskipun demikian, susunan kepanitiaan tetap melibatkan beberapa orang staf keuskupan.

Menurut Ketua Panitia, Erick Sarkol tujuan pesta budaya kali ini adalah untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya Asmat, menjalin persaudaraan antarrumpun Asmat dan antar semuasuku di Kabupaten Asmat, Membangkitkan kepercayaan diri seniman Asmat, mempertahankan Asmat sebagai salah satu situs warisan budaya dunia, dan menjadikan Asma sebagai daerah wisata popular di Papua.

Ada sesuatu yang baru, lanjut Erick, dalam pesta budaya kali ini. Selain lomba ukir dan pagelaran tari, juga ada pameran busana khas papua. Pameran busana ini dibawakan oleh gadis-gadis dan pemuda-pemuda Asmat. Perancang busana adalah Ursula Konrad dan Anemeri Katukdoan.

Bagi kelompok-kelompok tari yang belum pernah tampil pada pesta budaya tahun-tahun sebelumnya, pesta budaya kali ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk unjuk kebolehan. Misalnya kelompok penari dari Kampung Biopis Distrik Fayit. “Baru sekarang kami tampil. Kami senang,” kata Kristianus Abayua dari Kampung Biopis yang bersama teman-temannya mementaskan tari Moyang Biantur.

Pesta budaya Asmat merupakan kegiatan rutin setiap tahun. Meskipun beberapa kali sempat terhenti, tetapi pada umumnya orang-orang Asmat berharap untuk terus diselenggarakan dan bersemangat ikut serta dalam pesta ini.

Keikutsertaan mereka diwujudkan dalam berbagai bentuk; hadir sebagai penonton dan memberi semangat kepada para pengukir dan penari, menjual hasil ukiran dan anyaman, atau sekedar hanya sebagai penonton murni alias tidak punya apa-apa untuk disuguhkan kepada khalayak yang hadir pada saat itu.

Jual karya
Para pengukir yang lukisannya lolos seleksi diikutsertakan dalam lelang ukiran selama pesta budaya. Berbagai ukiran seperti ukiran patung besar (patung orang), patung cerita (cerita-cerita rakyak yang diukir), panel (binatang atau tumbuh-tumbuhan yang diukir), dan tradisional (tifa, dayung, busur-panah, sampan) dilelang dalam kesempatan itu.

Harga dasar lelang ditentukan oleh panitia. Kisaran harga dasar adalah Rp. 500 ribu – Rp. 4 juta. Dari harga itu bergerak naik mencapai puluhan juta. Sebuah patung besar memperoleh harga lelang tertinggi lelang dalam festival kali ini, yakni sebesar Rp. 20.400.000.

Para pembeli ukiran adalah wisatawan luar negeri yang datang dengan dua kapal pesiar, para ekspatriat yang bekerja di PT Freeport Indonesia Mimika, wisatawan dalam negeri, dan para pejabat pemerintah daerah setempat.

Dari harga lelang itu dipotong 10 persen dan diserahkan kepada panitia. Potongan dikenakan pada ukiran yang dilelang dengan harga Rp. 1 juta ke atas. “Potongan itu untuk dana persiapan pesta budaya tahun depan. Juga untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dari peserta,” jelas Erick Sarkol.

Sedangkan bagi mereka yang ukirannya tidak lolos, dapat menjual ukirannya selama pesta budaya. Selain itu, mereka juga bisa menjual kerajinan-kerajinan tangan lain seperti, tikar dari kulit kayu, pisau dari tulang kuskus, topi dari kulit kuskus dan bulu burung kasuari, tas dari kulit kayu, dsb..

Buta nilai uang
Pesta budaya juga menjadi kesempatan bagi orang-orang Asmat untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar. Meskipun demikian, banyak orang Asmat terutama pengukir-pengukir yang mendapat uang berjumlah besar tidak tahu nilai uang yang mereka terima.

Kenyataan ini menjadi kesempatan bagi para pendatang dari luar Papua – yang berdagang di sana – untuk mengeruk keuntungan besar. Orang-orang Asmat sering ditipu saat belanja di warung atau kios. Misalnya, saat belanja uang kembalian ditukar dengan barang yang harganya lebih rendah dari nilai uang kembalian.

Kenyataan ini mendorong Bupati Agats Yuvensius A. Biakai pada penutupan pesta budaya menghimbau para pedagang agar tidak menipu orang-orang Asmat. Yuven juga menghimbau orang-orang Asmat mencari pendamping yang tahu nilai uang saat belanja. “Para pedagang supaya jangan tipu orang-orang Asmat. Bagi yang akan belanja kalau bisa pakai pendamping supaya jangan ditipu,” himbau Yuven melalui pengeras suara.

Selain tidak tahu nilai mata uang, uang yang diperoleh pun cepat habis. Uang yang diperoleh untuk membeli barang-barang seperti, genset, televisi, vcd player, kopi, gula, beras, mie instant, dan pakaian. “Mereka kalau punya uang, apa saja dibeli. Meskipun bahan bakar di sini mahal mereka beli genset dan barang elektronik lain. Minyak habis ya genset mati, barang elektronik lain dibiarkan begitu saja,” tambah Erick.

Ada juga orang Asmat yang menggunakan uang untuk membeli minum-minuman keras. Menurut keterangan beberapa guru di salah satu sekolah Katolik di Agats, minuman keras dipasok dari luar Papua. Setiap kali kapal penumpang milik PELNI mendarat, ada minuman keras berkrat-krat diturunkan dan dijual bebas. Mereka mabuk dan tidur diemperan kios atau pinggir jalan.

Pemerintah kabupaten juga berkesempatan mencari uang. Pesta budaya menjadi kesempatan investasi jangka pendek. Dana yang dihabiskan untuk pesta budaya tahun ini mencapai Rp. 1 miliar. Menurut Erick Sarkol, meskipun dana yang dikeluarkan besar, keuntungan yang diperoleh pun besar. “Keuntungan tahun lalu sekitar Rp. 300 juta. Tahun ini mencapai Rp. 500 juta,” kata kurator Museum Kemajuan Asmat ini.

Ada suara miring dari peserta terkait pesta budaya. Pesta budaya menjadi ajang menjual budaya Asmat. Sementara orang-orang Asmat tidak mendapat sesuatu yang berarti. “Mereka jual barang kita dengan harga murah. Kita tidak dapat apa-apa,” protes Paulus Fatok dari Kampung Simsagar Distrik Pantai Kasuari.

Ada juga orang Asmat menilai Gereja Katolik menjual budaya Asmat. Menanggapi hal ini, Erick Sarkol berujar tegas, “Kami tidak menjual budaya Asmat. Kami justru menjaga dan memelihara. Masyarakatlah yang menjual budaya mereka sendiri. Misalnya kalau ada turis asing yang datang mereka jual ukiran patung yang sudah diupacarakan. Padahal patung yang sudah diupacarakan tidak boleh dijual karena patung itu sudah digunakan untuk menghadirkan roh-roh leluhur. Selesai upacara, patung itu seharusnya dikuburkan,” tegasnya.

Pesta budaya seperti cermin di persimpangan jalan. Pada cermin itu orang-orang Asmat berusaha memelihara tradisi dan kearifannya. Pada cermin itu pula menatap kesempatan menjual budaya (ukiran, tarian, dan kerajinan tangan) untuk menghasilkan uang.

Peluang Pastoral Menanam Sagu



DIIRINGI tabuhan tifa dan teriakan, sekelompok penari Asmat dengan pakaian adat memasuki Katedral Agats-Asmat. Menyusul di belakang para penari, barisan misdinar, pasto dan Uskup Agats-Asmat Mgr Aloysius Murwito OFM.

Pemandangan itu terlihat saat Misa pada hari Minggu, 7/10. Saat persembahan, para penari kembali mengiringi persembahan dengan tarian. Demikian pula saat para uskup, imam, dan misdinar meninggalkan altar, para penari kembali mengiringi dengan menari di depan menuju halaman gereja.

Diikutsertakannya budaya tari Asmat dalam liturgi Gereja Katolik di Agats-Asmat hanyalah salah satu model pastoral gereja yang kontekstual. Disebut hanya salah satu model karena budaya Asmat tidak semata-mata tarian atau karya seni lain. Budaya Asmat meliputi banyak hal antara lain cara berpikir, pola hidup, jenis makanan, mata pencaharian, pakaian dan sebagainya.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Gereja Katolik Agats-Asmat atau Keuskupan Agats-Asmat, sudah menggereja secara kontekstual dengan berpijak pada kenyataan aspek-aspek budaya Asmat tersebut? Uskup Agats-Asmat Mgr Aloysius Murwito OFM mengakui, pastoral Gereja Katolik di tengah orang Asmat, belum mencakup semua aspek itu.

Dalam Musyawarah Pastoral (Muspas) III Keuskupan Agats-Asmat yang berlangsung pada 25-30 September, kata Mgr Murwito, umat menyoroti reksa pastoral yang belum kontekstual dan petugas pastoral baik pastor, suster, dan tenaga pastoral awam yang berkerja sendiri. “Mungkin petugas pastoral hanya bekerja sama dengan beberapa orang saja. Pastoral yang dijalankan pun rupanya belum kontekstual. Hal itu disoroti dalam Muspas,” katanya.

Mgr Murwito sungguh menyadari, bahwa pastoral Gereja Katolik di tengah orang Asmat pada masa yang akan datang, tidak semata-mata menyertakan budaya tari dalam lituri, seni ukiran dapat menghiasai tiang-tiang penyanggah gedung dan tata ruang gereja, doa-doa dan ungkapan iman orang-orang Asmat. Tetapi lebih luas dari itu, “Raksa pastoral harus mencakup budaya, lingkungan hidup, alam pikiran orang-orang Asmat, dan kehidupan ekonomi, dan pendidikan,” tegasnya.

Hanya menonton
Pastor Hubert Thomas SVD yang hadir sebagai fasilitator dalam Muspas itu, kepada HIDUP mengatakan, orang-orang Asmat saat ini ibarat “kejantanan yang sudah disunat.” Artinya, orang-orang Asmat dulu memiliki semangat juang yang ditandai dengan suka berperang dan sanggup hidup di tengah alam yang sebagaian besar rawa-rawa.

Tetapi sekarang mereka sedang bingung dan loyo di tengah berbagai nilai yang bersumber dari budaya luar yang masuh ke Asmat. Di satu sisi mereka adalah orang-orang Asmat yang tangguh dan dengan segala kekayaan budayanya. Di sisi lain mereka adalah orang-orang yang disambangi berbagai nilai baru.

“Banyak orang Asmat berdiri di emperan kios-kios dan memandang ke dalam bukan hendak membeli sesuatu. Mereka hanya melihat. Mereka hanya penonton dari apa yang sering disebut sebagai perubahan,” doktor sosiologi ini memberi contoh sebagai gambaran keberadaan orang Asmat sekarang ini.

Budaya meramu adalah budaya khas orang Asmat. Mereka hidup dari alam, mengambil sesuatu dari alam sesuai kebutuhan. Sagu, ikan, kepiting (kraka), dan ulat sagu misalnya. Tanaman sumber karbohidrat dan hewan-hewan sumber protein itu diambil sesuai kebutuhan. Mengkonsumsi sagu dan ikan merupakan hal biasa.

Tetapi sekarang mulai ada pergeseran terutama generasi muda. Generasi muda sebagai penerus budaya Asmat di masa depan, lebih senang makan nasi dari beras, mie instant, minum ringan kaleng, sambil menyanyikan lagu-lagu pop. “Anak-anak sekarang lebih senang makan nasi dan mie instant daripada makan sagu,” kata staf Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agats-Asmat, Vallens Adji Sayekti.

Menata ekonomi
Budaya meramu pada puluhan tahun lalu merupakan hal yang biasa. Tetapi zaman sudah berubah. Budaya hidup meramu, dengan prinsip mengambil sesuai kebutuhan, kini berhadapan dengan budaya serba cepat (instan) dan mengutamakan rasa enak. Budaya instant dan rasa enak menuntut pengeluaran pendapatan ekonomi (uang).

Kalau dulu, persediaan makanan habis masih bisa diambil di hutan dan air. Kalau sekarang, persediaan makanan habis, uang tidak ada, apa yang diperbuat? Inilah tantangan dan peluang di depan mata untuk mengembangkan pastoral yang bertujuan menata kehidupan ekonomi orang-orang Asmat.

Menurut Adji – panggilan Vallens Adji Sayekti – Komisi PSE perlahan-lahan membina masyarakat Asmat untuk menabung. “Kita awali dengan beberapa ibu yang berjualan di pasar. Kita pantau, berkumpul dengan mereka dan memberi pembinaan-pembinaan. Meskipun jumlah orang yang terlibat masih sedikit tetapi mereka semangat,” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini.

Beras, mie instan, kompor minyak, speedboat, minuman kaleng, lagu pop, vcd player dan sebagainya adalah wujud nyata budaya luar yang masuk ke Asmat. Sagu, ikan, papeda, ubi, jew (rumah adat), wair (tungku api), sampan kayu, rakit, dan sebagainya adalah wujud nyata budaya Asmat.

Kalau budaya luar – khususnya beras, mie instan, minuman kaleng – saja bisa masuk ke Asmat, apakah budaya Asmat – khususnya sagu bola dan sagu lempeng, ubi – tidak bisa keluar dan merambah ke berbagai wilayah lain di luar Asmat? Atau untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Asmat. Ini ibarat mengembangkan pastoral menanam dan membudidayakan sagu dan potensi-potensi lokal yang lain. Tantangan dan peluang pastoral kontekstual ada di depan mata.

Untuk mewujudkan pastoral seperti itu, maka perlu memperhatikan kata-kata Mgr Aloysius Murwito OFM, “Pastoral yang kontekstual menuntut kerja sama semua pihak.”

Pendidikan di Asmat Tersendat-sendat



SEORANG siswa SMP YPPK St Yohanes Pemandi Agats-Asmat ditugaskan oleh guru bahasa Indonesia untuk melengkapi pribahasa “Tak ada rotan, …” Dengan sigap, anak itu mengatakan, “Tak ada rotan, cari di hutan!”

Jawaban yang betul adalah, “Tak ada rotan akar pun jadi.” Mendengar jawaban itu, sang guru hanya merekam dalam hati. Hari lain, masih dalam pelajaran yang sama, sang guru memberi tugas lagi untuk melengkapi pribahasa, “Ada gula ….” Siswa yang lain menjawab, “Ada gula, ada kopi, ada teh di rumah pak guru!” Jawaban yang benar adalah “Ada gula ada semut.” Sang guru pun tidak memarahi siswa. Belakangan, jawaban siswa itu menjadi cerita lucu di kalangan guru-guru muda di sekolah itu.
Itu merupakan salah satu cerita kecil untuk memotret lebih jauh kondisi pendidikan di Agats-Asmat. Kepala Sekolah SMP YPPK St Yohanes Pemandi, Sr Fransiska Pandong OSU mengatakan, pendidikan di Agats-Asmat tersendat-sendat.

Proses belajar-mengajar, lanjutnya sangat tidak efektif. Hal itu ditandai dengan guru-guru yang sering tidak hadir di kelas saat proses pembelajaran. “Kalau guru tidak hadir selama proses belajar-mengajar di kelas, untuk apa pendidikan. Sekolah apa itu? Guru-guru sering tidak disiplin,” ungkapnya.

Persoalan lain yang muncul adalah komunikasi yang kurang baik antara sekolah, para orang tua dan masyarkat. Komunikasi yang kurang baik ini, mempersulit proses pendampingan terhadap peserta didik. “Orang tua datang menyerahkan anaknya di sekolah dan dilepas begitu saja. Anak-anak pun tinggal berkelompok di bivak-bivak (pondok) tanpa pendampingan. Setelah mengantar mereka ke sini, orang tua kembali ke kampung. Sering kali anak-anak tidak masuk sekolah karena tidak punya makanan. Daripada mereka ke sekolah dalam keadaan lapar, lebih baik mereka tidur di bivak. Itu alasan mereka,” kisahnya.

Sering kali, lanjut Sr Siska, orang tua siswa datang mengamuk di sekolah kalau anaknya tidak naik kelas. Padahal memang tidak memenuhi syarat untuk naik kelas. “Orang tua sering tidak peduli dengan anak-anak mereka,” tegasnya.

Menurutnya, kerja sama semua pihak harus dibangun. Karena dengan demikian dapat memajukan pendidikan di Asmat. Bila kerja sama sudah terbangun dan berlangsung dengan baik, maka pendidikan nilai-nilai – kekatolikan, persaudaraan, kritis terhadap lingkungan, kepekaan lingkungan hidup – dapat berlangsung dengan baik. Pendidikan yang baik bagi orang-orang Asmat, memungkinkan mereka hidup lebih baik di masa depan.

Kabupaten Asmat; Bagai Bayi Belajar Bediri



KABUPATEN Asmat baru seumur jagung. Kabupaten ini baru berdiri tahun 2002. Luas wilayah kabupaten kurang lebih 29.658 km2. Per tahun 2000, jumlah penduduk penduduk sekitar 59.307 jiwa.

Sebagai sebuah daerah pemerintahan yang baru, Kabupaten Asmat ibarat anak yang baru belajar berdiri. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten (pemkab) agar bisa berjalan tegak, kuat, dan mandiri.

Pekerjaan berat yang harus dilakukan adalah meningkatkan mutu pendidikan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, menurut Bupati Asmat Yuvensius A. Biakai, selain membenahi sekolah-sekolah dasar dan menengah yang sudah ada, Pemkab akan mendirikan sekolah menengah atas unggulan di Distrik Sawa-Erma.

Pendidikan kewirausahaan
Anak-anak yang akan sekolah di sana, kata Yuvensius, adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan intelektual lebih. Anak-anak akan tinggal di asrama. Selain kurikulum nasional yang dipakai, akan dikembangkan pula kurikulum lokal. “Anak-anak akan dididik dalam hal seni ukir Asmat, tari, dan nilai-nilai budaya lokal,” kata Ketua Lembaga Masyarakat Adat Asmat ini.

Yuvensius juga mengatakan, akan dididik mengenai cara memasarkan ukiran atau karya-karya seni Asmal yang lain. “Kita mau menumbuhkan semangat kewirausahaan (entrepreneurship) agar kelak mereka bisa wiraswasta di bidang budaya. Kita ingin mengembangkan budaya sebagai sumber ekonomi seperti Bali,” jelasnya.

Peningkatan mutu pendidikan, diakui Yuvensius, sebagai salah satu strategi membentuk orang-orang Asmat agar mampu bersikap kritis dan selektif terhadap segala arus budaya lain yang masuk ke Asmat. “Kita tidak mau Asmat ini punah. Kita mau di tanah lumpur ini ada kemajuan tetapi tetap menjadi orang Asmat dengan jati dirinya yang asli.”

Untuk meningkatkan mutu sekolah dan mewujudkan sekolah unggulan ini, Pemkab akan bekerja sama dengan Keuskupan Agats-Asmat. Bentuk kerja samanya melalui subsidi biaya dan menyiapkan tenaga pengajar berstatus penagawai negeri sipil.

Kebiasaan menabung
Orang-orang Asmat boleh dikatakan mudah mendapat uang. Mereka menjual hasil alam, seperti ikan, kepiting, pohon gaharu, dan sebagainya. Sayang, pohon gaharu yang harganya sangat mahal nyaris punah.

Pemkab juga membantu masyarakat dengan membagi jaring (jala) dan speedboat untuk menangkap ikan. Subsidi pemerintah ini dimiliki secara kelompok.

Yuvensius mengatakan, masyarakat terus-menerus di dorong untuk menabung. Saat pesta budaya berlangsung misalnya. Yuvensius berulang-ulang menghimbau masyarakat untuk menabung.

Penyakit yang sering menyerang masyarakat adalah gangguan pernapasan, malaria, dan kaskadu (koreng). Di beberapa distrik (kecamatan) ada puskesmas. Tetapi pelayanan kesehatan belum maksimal karena kekurangan tenaga medis, sarana medis, dan transportasi yang sulit.

Kesulitan mendapat tenaga medis yang mau tinggal di pedalaman untuk melayani masyarakat, merupakan satu persoalan tersendiri. Untuk itu Pemkab harus bekerja keras dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.

Persoalan lain yang dihadapi Pemkab adalah arus pendatang dari luar Asmat yang terus meningkat. Alasan para pendatang ke Asmat adalah berdagang. Ada kecenderungan mereka ke Asmat hanya untuk mencari uang. Kurang ada niat untuk membangun Asmat. “Kami berharap para pendatang membangun Asmat bukan merusak orang-orang Asmat dengan minuman keras,” harap Kepala Seksi Bina TK/SD Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat Paulus Warbopan.

Friday, December 14, 2007

Jeda Dulang Tambang

Salah satu penyebab peningkatan pemanasan global, yang berakibat secara langsung pada perubahan iklim yang semakin tidak menentu, adalah industri pertambangan di berbagai belahan dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Industri pertambangan mengontribusi pemanasan global sangat signifikan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang gemar dan mengandalkan energi dari industri pertambangan. Tidak heran kalau kawasan-kawasan hutan lindung di berbagai belahan Indonesia yang sebetulnya merupakan jantung dan paru-paru kehidupan, dieksploitasi secara vulgar. Gelombang pasang dan banjir yang kerap melanda wilayah-wilayah di Indonesia merupakan contoh paling nyata akibat dari kegemaran memberlakukan industri pertambangan.

Boleh saja, para pejabat berwenang berargumen bahwa industri pertambangan merupakan investasi dalam kerangka meningkatkan kemampuan ekonomi. Tetapi harus diingat pula bahwa kegemaran berinvestasi bidang pertambangan di Indonesia sama saja dengan menjerumuskan Indonesia dalam kubangan persoalan lingkungan hidup. Akibatnya, rakyat Indonesia pula yang sengsara.

Indonesia harus menunjukkan komitmennya dalam hal pengurangan emisi untuk mereduksi pemanasan global. Salah satu caranya adalah melakukan jeda pertambangan. Pulau-pulau besar di dalamnya mengandung kekayaan mineral yang belum ditambang untuk sementara tidak ditambang. Penambangan akan dilakukan bila area-area penambangan sebelumnya sudah dipulihkan kembali ekosistemnya.

Jeda pertambangan bisa dilakukan selama 30 tahun. Bersamaan dengan pemberlakuan jeda pertambangan, pemerintah harus mengembangkan sumber energi alternatif dan tidak melakukan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil.

Umumkan dan kampanyekan jeda pertambangan ini ke dunia internasional. Alasannya adalah untuk mengurangi pemanasan global. Keseriusan pemerintah menerapkan jeda pertambangan, menunjukkan kepada dunia luar bahwa Indonesia bermartabat.

Pernah dimuat di Koran Tempo, 6 Desember 2007

Kebingungan Klerus di Era Otonomi Daerah

Ada dua kejadian menarik akhir-akhir ini di daratan Flores-Lembata. Pertama, sikap diam Uskup Larantuka terkait rencana tambang di Lembata. Dalam sebuah kesempatan acara di Lembata beberapa waktu lalu, masyarakat bertanya tentang pendapat Uskup terkait rencana pertambangan. Uskup hanya mengatakan, tidak punya kompetensi tentang pertambangan. Perkataan Uskup ini sama artinya dengan sikap diam. Kedua, penolakan masyarakat di area bakal tambang terhadap Tim Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka yang menawarkan diri sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat.

Dua kejadian tersebut menjadi pintu masuk bagi penulis untuk masuk dalam sebuah persoalan yang muncul di berbagai Keuskupan di Indonesia, yakni kebingungan klerus (uskup, imam, dan diakon) di era otonomi daerah. Terkait hal ini, tulisan ini mencoba menyoroti dua hal penting. Pertama, peran penting klerus berdasarkan prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG). Kedua, kebingungan klerus di era otonomi daerah.

Prinsip dasar
Prinsip universal yang dirumuskan dalam hampir semua dokumen Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah keberpihakkan pada masyarakat kecil dan tertindas. Keberpihakkan itu dalam bahasa ASG disebut “Pilihan Mengutamakan Orang Miskin” (Preferensial Option for the Poor). Kalimat pendek itu mengandaikan bahwa yang membuat dan memutuskan pilihan adalah komunitas atau orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal pendidikan, hati nurani yang tulus, semangat berbela rasa, memadai secara ekonomi, punya akses kepada pengambil kebijakan, dan sanggup mempengaruhi para pengambil kebijakan publik.

Prinsip keberpihakkan di atas mencakup semua aspek kehidupan di dunia ini karena manusia adalah makhluk konkrit dengan locus hidup di dunia. Maka keberpihakkan pada orang miskin sebagai supaya perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Kerajaan Allah tidak semata-mata suatu peristiwa dan situasi eskatologis (hidup sesudah mati) tetapi juga merupakan peristiwa sosiologis, ekologis, antropologis, dan ekonomis. Dengan demikian, Kerajaan Allah adalah hic et nunc, kini dan di sini (dimulai dari sekarang dan di dunia ini).

Pertanyaannya adalah apa itu Kerajaan Allah? Atau lebih tepat, apa ciri-ciri dari orang yang berada dalam situasi Kerajaan Allah di dunia ini? Ciri-cirinya adalah hak-hak dasar (asasi) manusia (masyarakat) dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan ekologis terpenuhi penuhi. Bila yang terjadi adalah hak-hak dasar tersebut tidak terpenuhi, yang ditandai dengan sistem pemerintahan yang tidak adil, hak-hak masyarakat adat yang diabaikan, perilaku koruptif para pengambil dan pelaksana kebijakan, maka kondisi seperti itu bukan tanda Kerajaan Allah. Bahasa teologis yang tepat untuk kondisi seperti itu adalah dosa.

Bila dosa itu dilakukan oleh sistem pemerintahan negara dengan segala unsur turunannya (provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan/desa, dusun, RT/RW) maka Gereja Katolik terutama klerus, harus berpihak pada para korban. Keberpihakkan klerus itu berpijak pada prinsip dasar ASG yakni preferensial option for the poor. Terhadap segala bentuk dan situasi nir (ketiadaan) Kerajaan Allah, tidak ada tawar menawar dengan penjahat yang adalah pelakunya.

Dari beberapa pokok pemikiran di atas, kita tarik ke konteks hidup masyarakat konkrit. Kita ambil contoh di Keuskupan Larantuka yang meliputi Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata. Yang terjadi di Keuskupan Larantuka adalah fakta-fakta ini: sampai saat ini masyarakat masih tetap hidup dalam taraf kemiskinan yang parah. Rawan pangan masih menjadi peristiwa berulang setiap tahun, TKI ilegal masih banyak berasal dari daerah ini, pemerintah daerah korup (contoh kasus: indikasi korupsi Pemkab Lembata sampai sekarang masih diproses di Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK dan dugaan korupsi mantan Bupati Flotim yang sekarang sedang diproses di KPK), serta masih banyak lagi fakta pilu lain. Fakta-fakta itu merupakan bentuk nyata kondisi dosa dan ketiadaan Kerajaan Allah.

Pertanyaan sekarang adalah apa yang dilakukan para klerus (uskup dan para imam) berhadapan dengan kondisi dosa seperti itu? Pertanyaan itu dikerucutkan lagi, apa yang harus dilakukan para klerus ketika berhadapan dengan para pelaku pemerintah daerah yang korup?

Kebingungan klerus
Pertanyaan-pertanyaan itu mari kita tempatkan dalam era otonomi daerah. Pada era otonomi daerah, pemerintah Kabupaten mempunyai wewenang yang diatur dalam UU Otonomi Daerah untuk mengatur keuangan daerah atau Anggaran, Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keuangan daerah di peroleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari pajak, retribusi, sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan DAK bersumber dari negara melalui Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Wewenang mengelola keuangan daerah ini menempatkan kabupaten menjadi lumbung uang. Wewenang itu merupakan salah satu keberuntungan dari otonomi daerah yang dinikmati Pemkab.

Di sisi lain, Gereja Lokal (Keuskupan) harus berusaha mandiri baik dalam reksa pastoral maupun dana. Dana merupakan hal krusial (penting). Dana dipakai untuk biaya operasional reksa pastoral dan biaya-biaya rutin lain. Dari mana dana Gereja Lokal (Keuskupan)? Dana diperoleh dari bantuan Kepausan dan donatur-donatur dari luar keuskupan. Keuskupan juga harus mencari dana lokal melalui iuran wajib umat. Tetapi dana dari sumber-sumber itu belum tentu bisa menutup seluruh kebutuhan dan keperluan Keuskupan, terutama Keuskupan yang sumber dana lokal sangat terbatas.

Dalam kondisi Keuskupan seperti itu, sering kali Pemerintah Kabupaten masuk dan memberi bantuan (subsidi) kepada Keuskupan. Bisa berupa uang atau barang. Karena dengan motivasi mendukung reksa pastoral Keuskupan, maka para klerus tentu tidak menampik bantuan itu. Pada titik inilah pemimpin Gereja Lokal berada pada posisi dilematis. Para klerus sering kali bingung. Apakah bersikap kritis terhadap pemerintah kabupaten yang korup atau berselingkuh dengan pemerintah supaya subsidi bisa lancar. Hal yang kedua inilah yang mempunyai peluang paling besar. Ada kecenderungan yang sangat kuat dan kasat mata bahwa di era otonomi daerah, para pemimpin (klerus) Gereja Lokal bukan lagi sebagai pemimpin yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umat (masyarakat) melainkan sebagai klerus pemburu rente (uang).

Otonomi daerah yang menciptakan kesempatan bagi Pemkab untuk menjadi lumbung uang, di satu sisi. Gereja lokal (Keuskupan) harus mandiri dalam hal dana, di sisi lain. Memang dua sisi yang jauh berbeda. Tetapi dua sisi itu sering kali bertemu dan memungkinkan aparat Pemkab dan klerus berselingkuh. Kalaupun klerus bersikap kritis, paling-paling hanya menjadi mediator sepihak. Maka benarlah pepatah kuno, “Kerbau berkelahi atau bercumbu, rumput tetap terinjak-injak.” Aparat Pemkab dan klerus berkelahi atau bercinta, umat (masyarakat) tetap saja menderita.

Pernah dimuat di Harian FLORES POS Ende, 6 Desember 2007