Wednesday, September 5, 2007
Bermesraan dengan Allah dalam Keheningan
KOMPLEKS Pertapaan Shanti Buana di Sindanglaya, Cipanas, Cianjur tampak agak ramai pada Rabu 18/7. Sekitar puluhan orang muda berusia 20-an tahun sedang asyik bermain volley dan sepak bola.
Sejenak suasana hening dan sunyi khas sebuah biara pertapaan tak terasa pada sore itu. Senda-gurau manusia dan suara gedebag-gedebug bola seolah memecah kesunyian di senja itu. Orang-orang muda tersebut adalah para frater CSE (Carmelitae Sancti Eliae). Beberapa dari mereka baru datang dari Malang untuk mengisi liburan setelah menempuh kuliah selama satu semester di STFT Widya Sasana Malang, Jawa Timur. “Olah tubuh adalah bagian dari hidup sebagai pertapa juga,” ujar salah satu frater.
Tidak direncanakanKeberadaan CSE bertautan erat dengan keputusan Pastor Yohanes Indrakusuma O.Carm untuk memulai sebuah cara hidup tertentu, yakni hidup doa dan kontemplasi dalam kesunyian dan keheningan. “Waktu saya memulai suatu cara hidup tertentu, tidak terpikirkan untuk mendirikan suatu serikat. Saya merasa terpanggil untuk suatu bentuk hidup yang khusus secara secara pribadi saja dan berusaha menjawab panggilan itu,” kisah Pastor Yohanes.
Baru kemudian, lanjut Pastor Yohanes, ada orang-orang yang merasa tertarik juga dengan cara hidup itu. Lalu mula-mula datang para Suster Putri Karmel. Lalu beberapa pemuda yang kemudian menjadi CSE. Secara pribadi, saya tidak berpikir untuk mendirikan serikat dan tidak direncanakan sebelumnya.
Saat memulai cara hidup tertentu, orang-orang datang untuk mengikuti cara hidup yang dilakukan Pastor Yohanes. Sebagai manusia, ia merasa “terganggu”. “Mau hidup sunyi kok malah banyak orang datang dan “mengganggu” kesunyian saya,” tuturnya.
Menghadapi situasi seperti itu, Pastor Yohanes mengeluh pada Tuhan dalam doa dan kontemplasinya. “Tuhan menjawab dengan sebuah pertanyaan. Mana yang lebih penting, cita-citamu atau kehendakKu? Saya terkejut dengan jawaban itu,” katanya.
Sejak saat itu, tidak ada lagi keluhan dalam dirinya. Ia menyadari Tuhan memanggilnya untuk membimbing orang-orang muda yang datang mengikuti cara hidup tertentu yang sedang dijalaninya.
Terpisah dari Carmel
CSE didirikan tanggal 20 Juli 1986, tepat pada hari Raya Nabi Elia. Dalam perkembangannya, pada tahun 1990 CSE diresmikan sebagai sebuah serikat gerejani dengan sebutan assosiasio public. Pastor Yohanes mengakui, semua berlangsung dalam proses yang panjang.
Salah satu proses yang harus dilewati adalah menentukan, apakah CSE bergabung dengan Ordo Carmel atau berdiri sendiri sebagai sebuat serikat baru. “Karena saya sebagai seorang Carmelit, maka apakah harus bergabung dengan Karmel atau berdiri sendiri. Setelah melalui proses yang cukup panjangm, kami melihat bahwa CSE harus berdiri sendiri,” tutur Pastor Yohanes.
Menurut Pastor Yohanes, menetapkan CSE tidak bergabung dengan Ordo Carmel didasarkan pada refleksi mendalam Sabda Yesus bahwa ‘Anggur baru harus ditempatkan dalam wadah yang baru pula’. “Kalau digabung tidak mungkin dan akan hilang lenyap karena merupakan sesuatu yang baru. Karena ini anggur yang baru, tidak bisa disimpan dalam kantong lama. Semua itu prosesnya perlahan-lahan. Menjadi jelas bahwa pelan-pelan suatu bentuk hidup baru terbentuk dalam gereja,” jelasnya.
Saat sekarang sedang diproses untuk menjadi kongregasi religius diosesan. “Dulunya eksperimen, lalu menjadi assosiasio public, lalu menjadi serikat keuskupan. Kemudian hari kalau perkembanganya meningkat dan berada di berbagai negara, CSE bisa menjadi serikat kepausan,” imbuhnya.
Sebagai sebuah serikat religius baru, CSE pun pernah dipertanyakan keberadaannya dicurigai. “Mula-mula dicurigai dan dianggap aneh karena menggabungkan spiritualitas Karmel dan Pembaharuan Hidup dalam Roh. Tantangan itu biasa. Justru dengan macam-macam tantangan, CSE juga berkembang menjadi lebih baik,” kata Pastor Yohanes lagi.
CSE memiliki spiritualitas yang menjadi kekhasannya sebagaimana sebuah serikat religus. Spirituaitasnya merupakan penggabungan dari spiritualitas Ordo Carmel dan Pembaharuan Hidup dalam Roh Kudus.
Pijakan pada spiritualiatas Ordo Carmel bukan semata-mata karena Pastor Yohanes adalah seorang Carmelit. Melainkan lebih dari itu adalah para anggota CSE mau meneladani cara hidup Nabi Elia yang akrab dengan Tuhan dalam keheningan di tempat sunyi dan siap melayani Tuhan dalam dunia ramai.
Sedangkan spiritualitas Pembaharuan Hidup dalam Roh Kudus merupakan sikap terbuka terhadap karunia-karunia ROh Kudus untuk melayani Tuhan dan sesama. “Maka kalau direfleksikan kembali, kami mendapat rahmat besar mengenal kekayaan spiritualitas Ordo Carmel dan kemudian pembaharuan hidup baru dalam Roh Kudus,” ujarnya.
Kesunyian merupakan matra utama CSE. Karena hanya dalam kesunyianlah seorang CSE dapat bertemu dan bermesraan dengan Allah. “Yang menjadi tokoh panutan CSE adalah Nabi Elia. Ia akrab dengan Tuhan dalam kesunyian dan siap turun gunung untuk mewartakan Tuhan. Karena dalam kesunyian orang mengalami kemesraan dengan Tuhan,” tutur Pastor Yohanes.
Maka itu salah satu ciri CSE adalah sifat keheningan. Untuk menjaga keheningan, biara-biara CSE didirikan di tempat-tempat sunyi. Dalam keheningan anggota CSE mengenal dan mengalami Allah. Dari pengenalan dan pengalaman memuncak pada persatuan dengan Allah. Bila sudah bersatu, maka anggota CSE mengemban tugas lain yakni mewartakan Allah kepada orang lain. Membawa orang lain kepada pengalaman yang sama.
Pengalaman pahitCSE menerima orang-orang muda dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka adalah orang Batak, Manado, Jawa, Flores, Tionghoa, dan sebagainya. Mereka yang diterima disitu harus minimal berpendidikan SMA. Syarat yang paling mendasar adalah calon harus sungguh-sungguh mempunyai panggilan. “Motivasi seseorang yang mau masuk CSE adalah betul-betul mencari Tuhan,” jelas Pastor Yohanes.
Sebelum memulai tahap-tahap pendidikan, para calon harus mengikuti tes, yakni akademik, kesehatan, psikologi, dan wawancara. Tes kepribadian sangat penting. Melalui tes tersebut bisa diketahui seseorang bisa menjadi anggota CSE atau tidak. “Misalnya orang yang tidak bisa diam, tidak bisa jadi CSE. Karena orang harus tahan dalam hidup dalam kesunyian,” imbuh Pastor Yohanes.
Setelah melewati berbagai tes tersebut, para calon mulai menjalani masa pendidikan. Tahap pertama adalah postulat selama setahun. Pada masa ini, calon CSE dibina dalam hal hidup doa dan dasar-dasar iman Katolik. Setelah itu, tahun novisiat selama dua tahun. “Selama novisiat, mereka sungguh-sungguh dibina dalam kehidupan rohani secara intensif baik teori dan praktek. Selama tahun pertama novisiat, mereka tidak diijinkan untuk pelayanan. Baru pada tahun kedua novisiat mereka boleh memberikan pelayanan. Sebelumnya memang sudah dipersiapkan dari segi cara dan semangat. Persiapan merupakan hal yang penting agar tidak ngawur saat melayani orang,” jelas Pastor Yohanes.
Usai novisiat, para frater CSE mengikrarkan kaul-kaul sementara untuk jangka waktu empat tahun. Kaul-kaul yang diikrarkan adalah kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Setelah mengikrarkan kaul-kaul, berdasarkan pendapat dari pimpinan dan formator, frater bebas memilih menjadi rahib atau pertapa atau menjadi imam. Bagi mereka yang mau menjadi pertapa, akan menjalani pertapaan di Pertapaan Shanti Buana Sindanglaya. Selama menjadi pertapa, para rahib tetap menjalani pembinaan dan memperdalam hidup doa.
Sedangkan bagi anggota yang mau menjadi imam, harus menjalani pendidikan filsafat dan teologi. Pastor Yohanes pernah mengutus anggota CSE menempuh studi filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Para frater CSE yang belajar filsafat di STF Driyarkara pada akhirnya mengundurkan diri satu persatu. “Itu merupakan pengalaman pahit bagi saya,” ungkap Pastor Yohanes sambil tersenyum.
Belajar dari pengalaman tersebut, Pastor Yohanes mengutus para frater CSE untuk menempuh pendidikan filsafat dan teologi di STFT Widya Sasana Malang. Menjalani tahun orientasi pastoral (TOP) dilakukan setelah sarjana (S 1).
Kaul kekal diikrarkan setelah empat tahun kaul sementara. Tetapi ada juga yang ditunda setelah dipertimbangkan oleh pimpinan dan formator CSE. Bagi calon imam, setelah kaul kekal dilajutkan dengan formasi lanjutan sampai ditahbiskan menjadi diakon dan tahbisan imam.
Sejak berdiri, sudah tiga orang yang ditahbiskan menjadi imam. Tahbisan yang paling baru dilakukan dilaksanakan di Paroki St Matias Cinere. Untuk saat ini imam-imam CSE melayani kebutuhan dan karya pelayanan CSE.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah HIDUP
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment