Secara umum kondisi alam Nusa Tenggara Timur (NTT) kering dan tandus. Itu kenyataan yang tak bisa disangkal. Kondisi ini membuat pendapatan ekonomi dari sektor pertanian sulit diandalkan. Sedangkan potensi kelautan dan pariwisata belum digarap secara maksimal. Oleh sebab itu pertumbuhan ekonomi NTT sangat lambat bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional menunjukkan pertumbuhan ekonomi NTT tahun 2004 mencapai 4,77 % dan tahun 2005 mencapai 3,10 persen. Pendapatan perkapita tahun 2004 mencapai Rp 2.923.409 dan tahun 2005 mencapai Rp 3.235.699. Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun 2004 mencapai Rp 12.887.107 dan tahun 2005 mencapai Rp 14.601.790.
Kondisi alam dan ekonomi seperti itu menimbulkan bencana sosial ekonomi seperti rawan pangan, gagal panen, gizi buruk, busung lapar dan kelaparan. Belum lagi bencana lingkungan hidup seperti longsor dan organisme pengganggu tanaman (OPT). bencana sosial, ekonomi dan lingkungan hidup sudah menjadi semacam ritual rutin tahunan.
Kondisi seperti itu, lalu menempatkan NTT sebagai provinsi dengan dua atribut: “pencari bantuan” dan “ladang penerima bantuan”. Sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi lambat dan pendapatan ekonomi rendah, NTT menjadi peluang bagi siapa saja khsusnya orang-orang NTT untuk “menjual” kemiskinan NTT. Bagi lembaga-lembaga bantuan baik nasional maupun asing, kemiskinan NTT layak ditanggapi. Maka, tidak kurang dan tidak jarang lembaga-lembaga sosial beramai-ramai memberi bantuan.
Tahun 2004 jumlah dana (uang) yang mengalir ke NTT sangat besar. Hasil penelitian The Institute for Ecosoc Rights 2006 menunjukkan bahwa berbagai NGO internasional baik yang berada dalam PBB maupun di luar PBB serta lembaga pemerintahan asing mengalokasi dana bantuan untuk NTT mencapai lebih dari Rp 119 miliar. Kompas 20/12/2005 menulis APBN untuk NTT sekitar 1,5 triliun. APBD NTT menyumbang Rp 442,8 miliar.
Tahun 2005 APBD NTT sekitar Rp 474,9 miliar. Dana APBN yang dialokasikan ke NTT Rp 1,77 triliun. Bantuan dari 5 lembaga PBB, 10 lembaga pemerintah asing, dan 10 NGO internasional sepanjang Januari-Juli 2005 mencapai Rp 124 miliar.
Bahkan berdasarkan data Bappeda Provinsi NTT, sejak tahun 1983 NTT sudah mendapat bantuan dari luar negeri. Tercatat lebih dari 20 lembaga internasional menyalurkan dana ke NTT dengan prioritas berbeda-beda. Sedangkan tahun 1994-2000 bantuan diprioritaskan untuk penanganan masalah air bersih dan sanitasi. Tahun 2001-2004 bantuan dikonsentrasikan untuk kegiatan pengembangan ekonomi. Tahun 2005-2006 bantuan difokuskan untuk pemberian makanan tambahan, penanganan penyakit dan kesehatan reproduksi.
Politik bantuan
Dengan alokasi dana yang begitu besar dan begitu banyaknya lembaga-lembaga donor yang membantu NTT, bisa diasumsikan bahwa seharusnya tingkat kesejahteraan hidup masyarakat NTT lebih baik. Tetapi ternyata setiap tahun masih saja terjadi berbagai bencana sosial. busung lapar, angka kematian ibu melahirkan mencapai 330/100.000 kelahiran (Kompas, 20/11 2006). TKI ilegal yang bekerja di Singapura dan Malaysia mencapai 6000 jiwa (Suara Pembaruan, 29/5/2006). Itu belum termasuk TKI legal. Menjadi TKI adalah bentuk konkrit dari usaha orang NTT agar bisa hidup.
Data Badan Pusat Statistik Provinsi NTT menunjukkan tahun 2005 rumah tangga miskin mencapai 555.045 keluarga. Tahun 2006 bertambah menjadi 718.640 atau meningkat 75,45 % dari tahun sebelumnya. Berdasarkan fakta itu maka tahun 1996 NTT menempati urutan keempat dan tahun 1997 menempati urutan keenam provinsi termiskin di Indonesia. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan banyaknya bantuan ke NTT.
Kenyataan yang terpapar di atas memunculkan pertanyaan lanjutan: Ada apa dibalik mengalirnya miliaran dana bantuan ke NTT? Inilah pertanyaan yang menggelitik kita. Pertanyaan ini juga menohok nurani kita untuk bertindak jujur terkait pengelolaan dana bantuan. Pertanyaan itu juga menggugat kesadaran kita untuk melihat lebih jelas dan terang mekanisme politik bantuan yang sedang berlangsung di NTT.
The Institute for Ecosoc Rights mencatat beberapa hal penting disoroti berbagai pihak di NTT. Pertama, kinerja NGO/lembaga/badan internasional. Selama ini belum ada mekanisme evaluasi dan monitoring tehadap kinerja, pola pendekatan dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Peran ini merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Kedua, tumpang tindih program dan tidak meratanya wilayah kerja mengakibatkan koordinasi dan komunikasi antara lembaga donor dengan pemerintah dan lembaga lokal tidak terbangun dengan baik. Ketiga, pendekatan bantuan pun bersifat darurat (emergensi) jangka pendek, 1-2 tahun. Membantu NTT tidak bisa dalam jangka waktu itu saja. Persoalan budaya, mentalitas dan tingkat pendidikan masyarakat harus sungguh-sungguh dipertimbangkan. Masalah kurang gizi, misalnya. Masalah itu tidak saja terkait kekurangan bahan makanan bergizi tetapi terkait pemahaman dan pola hidup sehat. Itu artinya, masalah pendidikan dan budaya tidak bisa diabaikan.
Tiga catatan penting di atas memuncak pada masalah politik bantuan. Bantuan seringkali disemangati oleh semangat “proyekisme”. Bantuan berpola proyek berkaitan erat dengan jangka waktu anggaran belanja. Pola seperti itu sangat rentan terhadap korupsi. Bisa jadi atau memang, NTT adalah ladang emas bagi para koruptor dari berbagai kalangan.
Friday, August 24, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment