Tuesday, October 11, 2011

Agama dalam Negara Hukum Demokratis; Dari Agama Mitis ke Agama Rasional

Pendahuluan

Meskipun mengakui dirinya sebagai orang yang tidak musikal (religiös unmusikalisch)[1] atau tidak berbakat dalam hal agama, bukan berarti Jürgen Habermas tidak berpikir tentang agama. Sebaliknya, ia secara serius memikirkan peran agama dalam negara hukum demokratis. Keseriusannya itu bukan tanpa alasan. Setelah sekian lama agama didomestifikasi menjadi urusan privat dan dilenyapkan dari ruang publik oleh Pencerahan (Aufklärung) yang mengusung rasio sekular, ternyata agama tidak hilang. Alih-alih mematikan agama dengan mendomestifikasikannya, yang terjadi malah sebaliknya: agama seolah-olah mendapat energi baru selama didomestifikasi dan sekarang merangsek ke ruang publik.

Bagaimana sesungguhnya Habermas berpikir tentang agama, terutama posisi agama di dalam negara hukum demokratis? Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan itu. Dalam pemikirannya tentang posisi agama dalam negara hukum demokratis, Habermas secara menempatkannya dalam bingkai teorinya tentang tindakan komunikatif (communicative action), etika diskursus (discourse ethics), dan demokrasi deliberatif. Oleh karena itu, dalam tulisan tentang pemikiran Habermas mengenai agama ini saya tempatkan dalam bingkai teori Habermas tentang tindakan komunikatif, etika diskursus, dan demokrasi deliberatif. Ada dua alasan perihal penempatan itu: pertama, supaya kita dapat memahami pemikiran Habermas tentang agama secara tepat, utuh, dan tidak keluar dari arena pemikirannya. Kedua, supaya kita bisa menimba inspirasi dari Habermas mengenai demokrasi dan menempatkannya dalam konteks proses demokratisasi Indonesia.

Tulisan ini saya bagi dalam beberapa bagian. Pertama akan diuraikan upaya Habermas melampaui positifikasi rasio sekular oleh Pencerahan (Aufklärung ) sehingga rasio menjadi sangat instrumental seperti yang dicemaskan oleh para eksponen Mazhab Frankfürt generasi pertama. Upaya Habermas ini juga merupakan optimismenya bahwa rasio sekular merupakan proyek modernitas yang belum tuntas. Kedua, akan diuraikan teori Habermas tentang tindakan komunikatif, etika diskursus, dan demokrasi deliberatif. Ketiga, akan disajikan pemikiran Habermas tentang agama di dalam negara hukum demokratis.

1. Rasio Komunikatif: Upaya Habermas melampaui rasio intrumenal

Sebelum memaparkan pemikiran Habermas tentang rasio komunikatif, terlebih dahulu digambarkan secara singkat kemunculan ilmu pengetahuan modern yang menekankan kesanggupan rasio manusia untuk memperoleh pengetahuan,[2] dan berlanjut ke positifikasi rasio sehingga menjadi rasio intrumental oleh positivisme logis.

Pencerahan (Aufklärung) menjadi titik awal bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Dalam ilmu pengetahuan modern rasio manusia menjadi acuan utama untuk perolehan pengetahuan. Dalam filsafat modern itu sendiri terdapat dua blok besar yakni rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme menekankan bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh melalui kemampuan rasio manusia itu sendiri. Oleh karenanya pengetahuan bersifat apriori. Sedangkan empirisisme menekankan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui pengalaman empiris. Oleh karenanya pengetahuan bersifat aposteriori.

Dalam perkembangan selanjutnya pengetahuan empiris-analitis menjadi ilmu alam yang direfleksikan secara filosfis sebagai pengetahuan yang benar mengenai realitas. Pada titik ini ilmu alam dikembangkan sebagai teori murni dengan bantuan rasionalisme dan empirisisme. Mengikuti para filsuf yang menganut ontologi (hakikat) kosmos, para ilmuwan alam pun memahami alam sebagai sebuah kosmos dengan seluruh hukumnya yang teratur, tertib, dan tetap.

Dari rahim filsafat, kemudian lahir positivisme logis yang dirintis oleh Auguste Comté. Bagi positivisme logis, fakta objektif merupakan pengetahuan yang benar. Positivisme logis tidak percaya pada ontologi atau pengetahuan yang melampaui fakta.[3] Dari positivisme logis inilah lahir sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sosial. Positivisme dalam ilmu sosial mengandung tiga pengandaian yang saling bertautan. Pertama, prosedur metodologis ilmu alam dapat diterapkan secara langsung pada ilmu sosial. Artinya, subjektivitas seperti kepentingan dan kehendak manusia sama sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku manusia yang menjadi objek yang diamati. Dengan demikian perilaku manusia sebagai objek ilmu pengetahuan setara dengan dunia alamiah. Kedua, hasil penelitian dirumuskan ke dalam ‘hukum’ sama layaknya dalam ilmu alam. Ketiga, ilmu sosial tidak bisa tidak bersifat teknis yang murni istrumental.

Positivisme logis mendapat perlawanan dari Mazhab Frankfürt yang dikenal dengan sebutan Teori Kritis. Para eksponen Teori Kritis generasi pertama antara lain T.W. Adorno dan Horkheimer. Mereka berpendapat bahwa positivisme logis merupakan saintisme.[4] Bagi Mazhab Frankfürt Pencerahan telah membuat manusia menghadapi alam dengan kalkulasi. Pencerahan melahirkan konsep rasionalitas yang positivistik. Rasionalitas pencerahan adalah rasionalitas tujuan (rasio intrumental). Pencerahan membuat rasio kehilangan tujuan pada dirinya sendiri. Di tangan positivisme logis, rasio menjadi intrumental, tukang atau alat untuk kalkulasi, verifikasi, dan pelayan klasifikasi.[5]

Bagi Mazhab Frankfürt Rasionalitas sebagaimana diperjuangkan pencerahan itu tidak memperoleh kemajuan apapun dan menampakkan kembali mitos yang sebelumnya disingkirkan. Rasio pencerahan justru menciptakan kembali mitos dengan berorientasi pada hal di luar dirinya yakni ekonomi dan politik. Rasio lalu tunduk terhadap ekonomi dan politik. Pola kerja rasio pencerahan itu sama dengan/atau merupakan peniruan (mimesis) pola masyarakat tradisional yang tunduk terhadap sesuatu yang metafisik di luar dirinya. Alih-alih netral dan tak memikirkan tujuan pada dirinya sendiri, rasio pencerahan justru merupakan pengulangan atas mitos lama.[6]

2. Tindakan Komunikatif

Habermas optimis bahwa rasionalitas merupakan proyek modernitas yang belum tuntas. Sebagai generasi baru Teori Kritis, ia bermaksud mengatasi positifikasi rasio oleh positivisme logis dengan teorinya tentang rasio komunikatif.[7] Dalam teori tindakan komunikatif, Habermas membedakan tindakan strategis dan tindakan komunikatif. Secara fundamental, teori tindakan komunikatif terletak dalam pembedaan dua konsep rasionalitas yang menuntun pengetahuan kepada tindakan, yakni rasionalitas instrumental dan rasionalitas komunikatif. Rasionalitas instrumental adalah rasionalitas yang mengarahkan tindakan untuk mencapai berbagai tujuan yang telah ditetapkan secara pribadi. Rasionalitas ini akan bersifat instrumental bila diarahkan kepada alam, misalnya dalam bentuk kerja, dan bersifat strategis apabila diarahkan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat oleh pihak lain, seperti dalam bentuk hubungan dominasi. Sedangkan rasionalitas komunikatif adalah rasionalitas yang mendasari tindakan untuk saling pengertian antara dua orang subjek atau lebih yang sedang bertukar pikiran untuk mencapai tafsir yang harmonis perihal dunia. Jika tindakan strategis adalah pemanfaatan orang lain demi kepentingan subjek tertentu, sebaliknya tindakan komunikatif didasarkan atas perbincangan argumentatif yang bebas, tanpa dominasi, yang bermuara pada kesepakatan bersama. Perbedaan mendasar keduanya adalah tindakan strategis bersifat monologis, sedangkan tindakan komunikatif bersifat dialogis.[8]

Konstruksi konseptualnya mengenai tindakan komunikatif tersebut tidak terlepas dari konseptualnya tentang rasionalisasi dalam bidang komunikasi (interaksi). Baginya, suatu tindakan komunikatif bersifat rasional apabila dalam dan melalui tindakan itu mampu mengurangi berbagai penindasan dan mengurangi kekerasan pada tingkat pribadi-pribadi yang menjadi partisipan dalam komunikasi, sehingga pribadi-pribadi bisa mengembangkan diri. Dengan kata lain, melalui tindakan komunikatif rasional, setiap pribadi terbebaskan dari berbagai penindasan dan kekerasan. Rasionalisasi yang sesungguhnya bagi Habermas adalah rasionalisasi humanis dan itu ditempuh melalui rasio komunikatif.[9] Humanisasi dicapai bukan melalui positifikasi rasio manusia seperti yang dilakukan positivisme logis melainkan melalui tindakan komunikatif.[10]

Bagi Habermas rasio modern tetap mempunyai dimensi emansipatif dan dapat dikembangkan lebih lanjut. Untuk itu ia mengedepankan konsep mengenai rasio prosedural yang tidak terpisah dari rasio komunikatif. Melalui rasio prosedural, berbagai keputusan atau kesepakatan yang merupakan buah dari proses-proses rasional mendapat kesahihannya. Dalam rasio prosedural, prosedur diakui secara bersama-sama oleh semua orang yang terlibat aktif dalam proses-proses rasional (intersubjektif).[11] Rasio prosedural inilah yang kelak menjadi “jiwa” dari demokrasi deliberatif.

Relasi antarmanusia menurut Habermas bersifat rasional karena semua orang yang terlibat dalam relasi itu bermaksud agar terjadi kesalingpahaman dan bermuara pada kesepakatan bersama. Itu artinya setiap tindakan yang bertujuan mencapai kesepakatan bersama merupakan tindakan komunikatif. Dengan demikian tindakan komunikatif mengandung rasio komunikatif. Kesalingpahaman dan kesepakatan sebagai tujuan dari tindakan komunikatif merupakan daya kerja dari rasio komunikatif. Tujuan tindakan komunikatif bisa tercapai jika rasio komunikatif bekerja dalam tindakan komunikatif.

Habermas menekankan bahwa tindakan komunikatif yang rasional harus bebas dari tekanan, paksaan, dan dominasi sehingga tujuan yang dicapai diterima oleh semua orang yang terlibat aktif di dalam komunikasi itu. Dengan demikian kesepakatan yang dicapai memiliki legitimasi kebenaran, kejujuran, dan ketepatan. Komunikasi yang demikian terjadi dalam dunia-kehidupan (Lebenswelt). Dalam dunia-kehidupan, hal-hal yang dianggap benar diterima begitu saja tanpa dipersoalkan. Bahkan dalam dunia-kehidupan, anggota-anggota masyarakat sama-sama membangun dan menghidupi solidaritas melalui tindakan komunikatif. Dalam dunia-kehidupan yang demikian, anggota masyarakat adalah pelaku dari dunia-kehidupan. Dalam perkembangan lebih lanjut, masyarakat menjadi modern dan berubah menjadi pengamat, sehingga tindakan-tindakan yang dilakukannya bersifat mekanis. Pada titik inilah masyarakat menjadi sistem. Ada dua unsur utama dalam sistem yakni pasar (uang) dan negara (kekuasaan). Habermas melihat bahwa ketika masyarakat menjadi pelaku, maka dunia kehidupan mengkolonisasi sistem. Dan ketika masyarakat modern menjadi pengamat, maka sistem mengkolonisasi dunia-kehidupan. Inilah deviasi modernitas. Yang ideal bagi Habermas adalah keseimbangan antara sistem dan dunia-kehidupan. Antara dunia kehidupan, pasar, dan negara terjadi keseimbangan.[12]

2.1. Etika diskursus

Dalam bingkai opitimismenya pada proyek modernitas yang segera dituntaskan, Habermas berusaha membangun sebuah masyarakat yang komunikatif (masyarakat kosmopolit). Masyarakat yang demikian adalah tujuan universal masyarakat. Tentunya ia tidak melepaskan diri dari fakta pluralisme dalam masyarakat modern. Untuk itu ia mengajukan sebuah proposal untuk menata kembali norma-norma hidup bersama, yakni etika diskursus.[13]

Etika diskursus[14] menuntut dua prinsip pokok yang harus diberlakukan agar norma sungguh-sungguh bersifat moral. Pertama, norma harus dapat diterima oleh semua orang atau berlaku umum. Prinsip ini disebut prinsip universalisasi (prinsip U). “Semua pihak yang (mungkin akan) terkena dampak kepatuhan hukum atas norma dapat menerima konsekuensi dan efek sampingnya, yang diharapkan dapat memenuhi kepentingan setiap orang,” demikian ketentuan prinsip U terkait kesahihan sebuah norma. Kedua, kepastian akan universalisasi norma itu ditempuh melalui diskursus (prinsip D). “Norma-norma hanya dapat diklaim sebagai sahih kalau mendapat persetujuan dari semua peserta yang kemungkinan terkena dampak dari norma itu dalam sebuah diskursus praktis,” demikian ketentuan prinsip D mengenai klaim kesahihan universalisasi norma.

2.2. Negara hukum demokratis

Habermas melihat bahwa ciri dasar kehidupan bersama manusia adalah komunikasi. Oleh karena itu demokrasi harus menjadi medium bagi perwujudan berbagai struktur komunikasi dalam negara hukum modern. Dengan demikian nagara hukum dapat mendekati asas-asas normatif dari dalam dirinya sendiri.[15] Model demokrasi yang tepat untuk itu adalah demokrasi deliberatif. Model demokrasi ini sesuai dengan prinsip rasio prosedural dan etika diskursus yang telah dikemukakan di atas.

Fokus utama demokrasi deliberatif adalah prosedur-prosedur yang ditetapkan untuk menghasilkan sebuah kesepakatan. Keputusan-keputusan politik atau kesepakatan-kesepakatan politik yang dicapai harus melalui prosedur-prosedur yang rasional. Dalam prosedur yang rasional para warganegara atau kelompok-kelompok kecil yang mempunyai kepentingan dalam negara dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Berbagai kepentingan warganegara diuji atau dideliberasi berdasarkan prosedur-prosedur rasional. Melalui proses deliberari itulah, sebagian kecil warganegara yang tidak sepakat dengan suara mayoritas, bisa menerima dan mematuhi pendapat-pendapat yang disepakati oleh sebagian besar warganegara sebagai suara mayoritas. Dalam proses deliberasi semua orang yang berdeliberasi mempunyai kesetaraan sebagai masyarakat.

3. Agama dalam negara hukum demokratis

3.1. Apakah rasio sekular mempunyai akar-akar religius?

Di atas sudah kita lihat alur berpikir Habermas dari rasio komunikatif, etika diskursus, sampai demokrasi deliberatif. Pada bagian ini dipaparkan pertanyaan Habermas mengenai apakah negara hukum demokratis memiliki akar-akar religius? Bagian ini penting untuk diperhatikan karena terkait dengan posisi agama dalam negara hukum demokratis. Habermas memang mengakui bahwa negara hukum demokratis atau rasio sekular mempunyai akar religius, tetapi bukan berarti bahwa basis negara hukum demokratis harus kembali bertumpu pada agama.

Dalam sebuah diskusi dengan Kardinal Raztinger, Habermas menggali dan menanggapi secara kritis akar-akar religius rasio sekuler.[16] Dalam bingkai teks berjudul ”Prepolitical Foundations of the Constitutional State?[17] Habermas mengemukakan beberapa pokok pemikirannya. Pertama, negara sekular tidak mendasarkan diri pada berbagai pengandaian kosmologis tertentu sebagaimana diandaikan hukum kodrat. Konsekuensinya adalah negara sekuler tidak memihak kelompok agama tertentu dengan seluruh sistem nilainya dan setiap warganegara mempunyai kesetaraan dalam memainkan perannya dalam negara hukum demokratis. Dengan mengacu pada pertanyaan kritis yang diajukan Bökenförde tentang tentang seberapa jauh warga dapat menyatukan diri dalam negara dengan jaminan kebebasan individu saja tanpa ada ikatan, Habermas mengatakan bahwa proses demokrasilah yang menjadi ikatan yang menyatukan para warganegara. Proses demokrasi menjadi syarat kemungkinan bagi para warganegara untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.

Tentunya demokrasi yang dimaksudkan Habermas pada poin pertama di atas adalah demokrasi deliberatif yang mengacu pada rasio prosedural dan digerakkan oleh rasio komunikatif. Rasio komunikatif yang ada dalam diri warganegara menggerakkan mereka untuk menyatukan diri dalam negara secara bebas dan tanpa tekanan, melalui demokrasi deliberatif.

Kedua, meskipun dari perspektif kognitif dan motivasi negara hukum demokratis bisa mencukupi dirinya secara internal tetapi ada faktor eksternal yang merusak jaringan solidaritas para warganegara dan proses demokrasi yakni pasar.[18] Rasio pasar mempunyai cara kerja yang berbeda dengan rasio negara. Pasar mempunyai metode pengelolaan yang berbeda dengan administrasi negara. Rasio pasar menggiring warga ke dalam individu-individu yang menggunakan kebebasan individualnya secara ketat. Bersamaan dengan itu, bidang-bidang yang menjadi wewenang negara hukum demokratis untuk mengaturnya semakin berkurang. Privatisme warganegara kian menguat, proses demokrasi para warganegara kian melemah. Habermas menyebut fenomena itu sebagai penyimpangan modernisasi. Dalam kondisi seperti ini, negara hukum demokratis melegitimasi dirinya dengan perangkat hukum yang dibuat oleh para warganegara.

Gagasan pokok dalam poin kedua tersebut sudah dikemukakan Habermas ketika ia mengulas masalah dunia-kehidupan (Lebenswelt) dan sistem. Jika dalam uraiannya tentang dunia-kehidupan dan sistem, Habermas mengatakan bahwa sistem yakni pasar dan negara mengkoloni dunia-kehidupan, dewasa ini rasio pasar sebagai sebuah sistem justru mengkoloni dunia-kehidupan dan negara sekaligus. Dalam situasi kolonisasi rasio pasar yang merupakan bentuk penyimpangan dari modernitas, Habermas mengatakan bahwa para warganegara harus mengatasinya dengan memaksimalkan rasio komunikatif melalui mekanisme rasio prosedural dalam demokrasi deliberatif untuk memperoleh kesepakatan bersama. Itulah yang disebut Habermas sebagai tindakan komunikatif.

Ketiga, menjawab keraguan yang diajukan oleh Bökenförde bahwa apakah negara hukum bisa mencukupi dirinya dengan asas-asas normatif dalam dirinya, Habermas mengatakan bahwa dari perspektif kognitif hukum yang telah mengalami positivasi tetap membutuhkan pandangan religius dan metafisik untuk memastikan secara kognitif prinsip-prinsip hukum dalam negara hukum demokratis.[19] Sedangkan dari perspektif motivasi, Habermas mengharapkan bahwa para warganegara menggunakan hak-haknya secara aktif dalam proses pembuatan hukum untuk kepentingan komunal sekaligus kepentingan bersama.[20]

Pada poin ini Habermas mengakui bahwa negara hukum demokratis tetap membutuhkan agama atau ”kekuatan pemandu” (sustaining power) sebagai pemasti kognitif asas-asas normatif dalam negara hukum demokratis (negara sekular). Keberadaan agama atau ”kekuatan pemandu” yang lain di sini bukan berarti negara mengganti asas-asas normatif dari dirinya dengan asas-asas normatif dari agama atau ”kekuatan pemandu” lain. Sebaliknya, Habermas hendak mengatakan bahwa agama – dengan asas-asas normatif metafisik – sebagai bagian dari dunia-kehidupan juga mempunyai kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam negara hukum demokratis. Partisipasi agama itu sendiri merupakan bentuk konkrit dari perspektif motivasi. Tentunya model partisipasi tetap dalam bingkai demokrasi deliberatif yang mengacu pada rasio prosedural. Partisipasi agama dalam bingkai rasio prosedural itulah sekaligus merupakan pemasti kognitif rasio prosedural. Dengan kata lain, jika agama tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam negara hukum demokratis, maka demokrasi deliberatif kurang (tidak) memiliki rasionalitas. Jika agama didomestifikasikan dan tidak punya kesempatan untuk berdeliberasi di ruang publik, maka rasio prosedural mengalami defisit rasionalitas. Demokrasi deliberatif memiliki kepastian rasional apabila agama dilibatkan dalam debat-debat di ruang publik politis.

Keempat, Habermas memberi catatan kritis tentang masalah hermeneutika teks-teks agama seperti tentang kesalahan dan keselamatan. Hal-hal itu ditafsirkan dan dihayati secara hermeneutik selama bertahun-tahun. Selama teks-teks agama itu tidak mengalami distorsi dalam penafsiran dan tidak jatuh dalam dogmatisme dan pemaksaan suara hati, maka rasio sekuler bisa belajar juga dari agama, masyarakat sekuler dan masyarakat religius bisa saling belajar.[21]

3.2. Dari Agama Mitis ke Agama Rasional

Habermas mengakui bahwa setiap agama pada hakikatnya adalah ”pandangan hidup” atau ”comprehensive doctrine” (doktrin yang lengkap).[22] Dengan pendasaran-pendasaran mitis dan metafisik, agama juga memberikan elat vital kepada para penganutnya (orang beriman) yang hidup di tengah-tengah masyarakat modern. Bahkan etika substansial yang dianut banyak orang pun berakar pada tradisi agama-agama. Masyarakat modern yang pluralistik itu sendiri terdiri atas orang-orang beriman dan orang-orang tidak beriman.[23] Masyarakat modern berada dalam dua area besar yakni dunia-kehidupan dan sistem yang di dalamnya ada pasar dan negara. Ada masyarakat (individu atau kelompok) sebagai menjadi bagian integral dari dunia-kehidupan, pasar, dan negara secara serentak. Ada masyarakat (individu atau kelompok) menjadi bagian dari negara dan pasar saja. Masyarakat modern hidup dalam sebuah ruang publik yang sama (public sphere) yang sama. Ruang publik itu sendiri bersifat politis karena dihuni oleh masyarakat modern yang pluralistik dengan segala kepentingannya. Dalam kondisi masyarakat modern dan ruang publik yang demikian, agama menghadapi tantangan yang serius. Habermas dengan tegas mengatakan bahwa ruang publik politis atau negara hukum demokratis tidak bisa menjadi ”religius” atau ”ditradisikan” berdasarkan doktrin lengkap agama apapun.[24] Tampak jelas pendirian Habermas bahwa agama dan negara harus dipisahkan. Agama mempunyai domain kerja yang sangat berbeda dengan negara. Meski demikian agama tidak boleh didomestifikasikan karena bertentangan dengan hakikat demokrasi.

Mengacu pada gambaran idealnya tentang keseimbangan antara dunia-kehidupan, negara, dan pasar, Habermas menantang – agama yang olehnya dikategorikan sebagai bagian dari dunia-kehidupan – untuk menunjukkan eksistensinya dalam ruang publik politis atau negara hukum demokratis. Hal itu serius bagi agama karena di satu sisi ajaran-ajaran agama bersifat mitis dan metafisik, di sisi lain ruang publik bersifat rasional dan post-metafisik. Habermas secara tegas berargumen bahwa hanya sebuah forum sekularlah yang dapat secara memadai menjadi pemandu atau penata bagi perbedaan antara ruang metafisik dan ruang post-metafisik.

Forum sekular yang dimaksud adalah negara hukum demokratis atau ruang publik politis. Negara hukum demokratislah menjadi forum yang di dalamnya semua partisipan berdeliberasi dan berargumentasi sesuai dengan rasio prosedural untuk mencapai kesepakatan bersama yang adalah tujuan tindakan komunikatif. Dalam proses deliberasi, pengandaian-pengandaian metafisik agama diuji secara rasional atau dengan cara berpikir post-metafisik. Itu artinya, agama harus mentransformasi diri dari agama mitis (religious-metaphysical) ke agama rasional (religious-post-metafisik).[25] Pengujian dalam proses deliberasi dan dalam koridor etika diskursuslah agama mitis bisa menjadi agama rasional. Jika menjadi agama rasional, maka etika substansial agama-agama bisa memberi warna dalam etika universal. Meski demikian Habermas tetap tidak mengijinkan agama campur-tangan secara langsung dalam negara. Agama bisa masuk ke dalam negara setelah melewati institusional translation proviso. Lewat itu pengandaian-pengandaian metafisik agama diuji oleh rasio post-metafisik dan bahasa agama diterjemahkan ke dalam bahasa rasio sekuler. Dalam konteks ini warganegara yang tidak beriman bisa membantu dalam proses translasi bahasa agama. Jika mekanisme itu dicapai maka agama bisa bermanfaat bagi demokrasi, bermanfaat bagi negara hukum.[26]

Dengan demikian antara warga beragama dan warga sekuler dalam masyarakat post-sekuler (post-positifikasi rasio) dapat saling belajar satu sama lain. Terlebih bagi warganegara beriman didorong untuk mengenakan cara berpikir (episteme) post-metafisik di tengah pluralitas agama. Warganegara beriman juga mesti belajar dari sains dan teknologi yang memiliki klaim-klaim kesahihan ilmu pengetahuan. Warganegara beriman juga harus tunduk dan mengakui rasio sekuler yang menjadi basis legitimasi negara hukum demokratis.[27]

Penutup

Habermas berbicara tentang agama. Bukan karena ia sangat berbakat dalam hal agama, melainkan karena agama merupakan salah satu elemen dalam negara hukum demokratis. Dalam bingkai teori tindakan komunikatif, etika diskursus, dan demokrasi deliberatif, Habermas mengingatkan agama bahwa jika agama bermanfaat bagi demokrasi, maka agama harus menterjemahkan bahasa agama ke dalam bahasa sekuler, dan pengandaian-pengandaian metafisik agama harus diuji dengan rasio sekuler.

Jelas sekali bahwa Habermas menantang sekaligus memberi ruang bagi agama untuk berperan dalam ruang publik politis pasca domestifikasi agama.


Daftar Pustaka

Primer

Habermas, Jürgen, Between Naturalism and Religion, Polity, Cambridge, 2008.

______________, ”Postscript to Between Facts and Norms” dalam Mathieu Deflem (ed), Habermas, Modernity and Law, London, SAGE Publication, 1996.

______________, The Theory of Communicative Action, vol. 1, Boston, Beacon Press, 1984

Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi-Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta, Kanisius, 1990

________________, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta, Kanisius, 1993.

________________, Demokrasi Deliberatif – Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius, 2009.

Sekunder

Adam, Nicholas, Habermas and Theology, Cambrigde, Cambridge University Press, 2006

Budi Kleden, Paul dan Adrianus Sunarko (ed), Dialektika Sekularisasi, Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan, Maumere-Yogyakarta, Penerbit Ledalero-Lamalera, 2010.

Deflem, Mathieu (ed), Habermas, Modernity and Law, London, SAGE Publication, 1996

Kieser, Bernard, “Agama Bubar jika Tidak Bercampur Nalar: Being religiosus a la Habermas” dalam Majalah BASIS, nomor 11-12 tahun ke-53, November-Desember 2004

Regh, William, Insight and Solidarity: A Study in the Discourse Ethics of Jurgen Habermas, California, University of California Press, 1994

Stephen, K. White (ed), The Cambridge Companion to Habermas, New York, Cambridge University Press, 1995




[1] Bernard Kieser, “Agama Bubar jika Tidak Bercampur Nalar: Being religiosus a la Habermas” dalam Majalah BASIS, nomor 11-12 tahun ke-53, November-Desember 2004.

[2] Uraian lengkap mengenai perkembangan ilmu pengetahuan modern bisa dibaca dalam Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi-Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hal. 22-26.

[3] Francisco Budi Hardiman mencatat bahwa meskipun positivisme logis yakin bahwa pengetahuan yang sahih adalah pengetahuan yang berdasarkan fakta dan dengan demikian positivisme logis menyingkirkan ontologi, tetapi positivisme logis tak sanggup melepaskan diri secara total dari ontologi. Hal itu tampak dalam konsep teori yang dianut yakni teori yang bebas dari kepentingan-kepentingan manusiawi. Ibid.

[4] Teori Kritis berdiri di tengah ketegangan dialektis antara ilmu pengetahuan khususnya sosiologi dan filsafat. Teori Kritis tidak berhenti pada fakta objektif yang sebagaimana yang diagung-agungkan oleh positivisme logis. Realitas sosial bagi Teori Kritis merupakan fakta sosiologis yang di dalamnya terdapat aspek-aspek transendental yang melampaui data empiris. Dengan demikian Teori Kritis dapat melakukan dua macam kritik yaitu kritik transendental dan kritik imanen. Kritik transendental berupaya menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek. Kritik imanen merupakan upaya menemukan kondisi-kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang berpengaruh terhadap pengetahuan manusia. Dalam bingkai dua kritik itu, Teori Kritis merupakan Kritik Ideologi. Ibid., hal. 30.

[5] Adorno dan Horkheimer pesimis terhadap rasio. Ibid., hal. 64.

[6] Ibid., hal. 64-65.

[7] Generasi pertama Teori Kritis memahami praksis (praxis) sebagai kerja (Arbeit). Konsep praksis itu sendiri merupakan sebuah kateogori epistemologis yang mencari keterkaitan antara teori dan praktik atas teori. Berbeda dengan generasi pertama Teori Kritis, Habermas membedakan kerja dan interaksi atau komunikasi. Kerja dan komunikasi merupakan dua dimensi dari praksis. Ibid., hal. 86.

[8] Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, Boston, Beacon Press, 1984, hal. 10. Bdk., Mathieu Deflem (ed), Habermas, Modernity and Law, London, SAGE Publication, 1996, hal. 2-3.

[9] F. Budi Hardiman., ibid., hal. 98.

[10] Habermas juga mencatat bahwa untuk menghindari salah paham (misunderstanding) dalam tindakan komunikatif dan untuk memperoleh pemahaman bersama para partisipan komunikasi tidak bisa hanya mengandalkan tindakan berbicara (speech-act) melainkan juga harus memperhatikan bentuk-bentuk tindakan lain yang tidak linguistik seperti tanda-tanda dan simbol-simbol. Mathieu Deflem, opcit., hal. 3.

[11] Penjelasan tentang pengertian rasio prosedural sangat menarik disampaikan oleh F. Budi Hardiman dengan contoh di bidang peradilan yang dipaparkan dalam F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta, Kanisius, 2009, hal. 32-33.

[12] Ibid., hal. 38-41.

[13] Etika diskursus yang diajukan Habermas juga merupakan upayanya untuk mengatasi imperatif kategoris dalam Etika Kant yang lebih menekankan prosedur individual atau etika yang dilakukan secara individual. Habermas meragukan tesis Kant bahwa sebuah norma dapat berlaku secara universal dipastikan oleh suara hati setiap pribadi. Tesis Kant ini sulit diterapkan dalam masyarakat yang pluralistik. Lihat, K. White Stephen (ed), The Cambridge Companion to Habermas, New York, Cambridge University Press, 1995, hal. 12.

[14] Lihat., William Regh, Insight and Solidarity: A Study in the Discourse Ethics of Jurgen Habermas, California, University of California Press, 1994, hal. 161-166.

[15] Tentang asas-asas normatif itu, dikemudian hari saat berdiskusi dengan Ratzinger, hal itu diungkapkan kembali ketika Habermas menggali akar-akar religius rasio sekular.

[16] Diskusi dengan Ratzinger itu berlangsung di Katholiche Akademie München, Jerman tanggal 19 Januari 2004.

[17] Jürgen Habermas, “Prepolitical Foundations of the Constitutional State?” dalam Jürgen Habermas, Between Naturalism and Religion, Polity, Cambridge, 2008, hal. 101-113. Selain membaca teks tersebut dalam bahasa Inggris, saya juga membaca atau membandingkan teks tersebut dengan teks berbahasa Indonesia dari Dr. Paul Budi Kleden dalam Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko (ed), Dialektika Sekularisasi, Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan, Maumere-Yogyakarta, Penerbit Ledalero-Lamalera, 2010, hal. 1-28.

[18] Habermas, hal. 107-108. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 13-17.

[19] Habermas, hal. 104. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 7

[20] Habermas, hal. 105. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 9

[21] Habermas, hal.108-113. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 20-28.

[22] Habermas., hal. 111. Bdk., Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko, hal. 24.

[23] Nicholas Adam, Habermas and Theology, Cambrigde, Cambridge University Press, 2006, hal. 1

[24] Ibid. hal. 2.

[25] Ibid., hal 125-126.

[26] Habermas, Between Naturalism and Religion, Polity Press, 2008, hal. 131-132.

[27] Ibid., hal. 138-139.

Saturday, March 27, 2010

EDISI FILM

Pada edisi kali ini, diturunkan dua tulisan mengenai Film 2012 dan Film Sang Pemimpi. Tulisan ini merupakan analisis tematik terhadap dua film tersebut. Selamat membaca. Semoga ada inspirasi bagi pembaca.

Mimpi: Utopia atau Energi yang Bergerak?




Menimbang Kekuatan Mimpi dalam Film Sang Pemimpi






Film Sang Pemimpi diputar di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia pada Kamis, 17 Desember 2009. Film garapan sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana merupakan visualisasi dari novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Film ini merupakan sequel dari Film Laskar Pelangi. Dengan slogan ”film yang paling ditunggu tahun ini (2009)” Film Sang Pemimpi diharapkan mendapat apresiasi luas dari publik seperti Film Laskar Pelangi.



Film Sang Pemimpi menceritakan dan memvisualkan perjuangan tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron mewujudkan mimpinya mencari ilmu mulai dari Belitong sampai ke Perancis. Tetapi mereka harus bergulat dengan kenyataan kemiskinan yang mendera mereka dan terpisah dari orang tua.



Memiliki cita-cita besar untuk sekolah setinggi-tingginya seolah-olah hanya menjadi mimpi, jika kenyataan yang dihadapi adalah hidup terpisah dari orang tua dan keadaan ekonomi yang serba terbatas. Itulah pergulatan Ikal, Arai, dan Jimbron dalam film tersebut.


Ide film tersebut sudah klasik. Kisah-kisah perjuangan orang miskin sampai menjadi berhasil meraih ilmu dan ekonomi sudah jamak di negeri ini. Tetapi Film Sang Pemimpi secara elegan menyodorkan sebuah realitas dalam diri manusia yakni mimpi. Mimpi merupakan sebuah entitas yang inheren diri manusia. Sebagai entitas inheran dalam diri manusia, apakah mimpi semata-mata merupakan utopia? Atau mimpi merupakan energi dalam diri manusia yang terus bergerak ke arah perwujudan konkrit?


Filosof sekaligus sufi Ibnu Arabi mendefinisihkan mimpi sebagai bagian dari imajinasi. Imajinasi merupakan arena perjumpaan pengetahuan apriori yang bersumber dari ide murni dan pengetahuan aposteriori yang bersumber dari pengalaman inderawi. Imajinasi selalu aktif baik saat tidak tidur maupun sedang tidur.


Berpijak pada konsep tentang imajinasi tersebut, selanjutnya Ibn Arabi membagi mimpi menjadi tiga kategori. Pertama, mimpi yang berhubungan dengan peristiwa sehari-hari. Saat seseorang sedang bermimpi, sebetulnya orang itu sedang mengirimkan peristiwa yang dialami sehari-hari ke dalam batin dan direfleksikan. Dengan demikian, mimpi merupakan deret-deret asosiasi dari berbagai pikiran dan impresi atas pengalaman inderawi.


Kedua, mimpi sebagai pancaran dari objek-objek simbolik. Yang menyuplai objek-objek simbolik adalah imajinasi. Misalnya, mimpi melihat air teh. Air teh hanyalah simbol dari ide tentang air teh. Oleh karena itu, mimpi dalam kategori kedua ini harus diinterpretasi.


Ketiga, mimpi spiritual. Dalam kategori ini imajinasi tidak berperan. Melainkan batin yang berperan dengan merefleksikannya. Di sinilah wahyu Tuhan diturunkan. Dalam kisah para nabi misalnya, sering kali Tuhan berbicara kepada para nabi melalui mimpi.
Paralel dengan kategori ketiga Ibn Arabi tersebut, Wolfgang Bock, SJ mengatakan mimpi sering disebut sebagai “bahasa sandi Tuhan” karena mimpi adalah cara Tuhan menyapa manusia dan menyampaikan pesan-Nya.


Psikolog analitik Sigmund Freud mengatakan mimpi menunjuk pada pemenuhan kebutuhan batin manusia lewat fantasi dan imaginasi. Bagi Freud mimpi dan simbolnya merupakan ‘jalan lebar dan pintu masuk’ menuju alam bawah sadar manusia saat itu.
Oleh karena itu interpretasi terhadap mimpi harus menggunakan metode ‘teknik assosiasi yang bebas’. Artinya ketika si pemimpi itu ditanya secara spontan untuk menceritakan kembali mimpinya, apa pun yang muncul dalam kesadarannya itulah yang harus diperhatikan.


Ungkapan-ungkapan verbal dengan kata-kata menimbulkan asosiasi lain, merupakan ungkapan mengenai keadaan batinnya yang sesungguhnya. Dari simbol-simbol mimpi yang diungkapkan dan assosiasi bebas yang menyertainya dapat diketahui keadaan batin orang yang bermimpi.
Gagasan Ibn Arabi dan Sigmund Freud di atas, menunjukkan bahwa mimpi bukan merupakan utopia. Sebagai entitas inheren dalam diri manusia, mimpi merupakan energi dalam diri manusia, yang terus bergerak ke arah perwujudan konkrit. Pergerakan menuju perwujudan konkrit merupakan keniscayaan karena apa yang dimimpikan terkait erat dengan realitas hidup yang dialami manusia sehari-hari.


Kata ”mimpi” dalam Film Sang Pemimpi, merupakan metafora tentang harapan dan cita-cita untuk meraih sesuatu yang lebih baik demi kehidupan yang lebih bermartabat. Metafora itu sejajar dengan uraian Ibn Arabi dan Sigmund Freud, terutama keterkaitan antara realitas konkrit yang disadari dan pergulatan batin atau alam bawah sadar.


Harapan dan cita-cita dalam batin kerap kali menginterupsi manakala kita sibuk dengan aktivitas di alam sadar kita. Aktivitas alam sadar juga kerap kali membentuk harapan dan cita-cita kita. Ini tervisualisasi dengan jelas dalam Film Sang Pemimpi.


Harapan dan cita-cita yang memukimi batin diwujudkan melalui kerja keras Ikal, Arai, dan Jimbron di dunia sadar mereka. Ketiganya berhasil. Pada titik inilah kita bisa mengarifmasi perkataan novelis Brasil Paulo Coelho melalui tokoh Alchemist dalam novelnya The Alchemist, ”Ikutilah mimpimu maka energi alam semesta akan menuntunmu untuk mewujudkannya.”

Film 2012: Provokasi Terhadap Iman Manusia?



Film 2012 garapan sutradara Roland Emmerich laris manis di beberapa belahan dunia. Sejak dirilis 13 November 2009, film tersebut langsung merebut 65 juta dolar AS dalam waktu hanya dua hari.


Meski laris manis di negara-negara lain, film itu “bernasib buruk” di mata MUI. MUI Palembang dan MUI Malang mengeluarkan fatwa bahwa film itu menyesatkan karena mendahului Tuhan Yang Mahakuasa dalam menentukan saat kiamat yang akan terjadi tahun 2012. Untuk itu, film tersebut tidak layak ditonton dan tidak boleh diputar di bioskop-bioskop di Indonesia.
MUI boleh memfatwa film tersebut sebagai film sesat. Tetapi masyarakat, terutama di Jakarta tetap dapat memperoleh film tersebut meskipun bajakan seharga Rp. 5000 – Rp. 10.000, yang dijual di angkutan-angkutan umum.


Film 2012 adalah fiksi sains. Meski demikian, jika ditonton secara tenang dan memotret persoalan bencana alam yang digambarkan oleh sutradara sebagai kiamat dalam film tersebut secara jernih, sesungguhnya muncul sebuah problem ketuhanan yang besar di sana. Meskipun fiksi, film tersebut sanggup memprovokasi iman manusia.


Dalam sebuah kesempatan kuliah Religiositas di Universitas Multimedia Nusantara, beberapa mahasiswa-mahasiswi yang sudah menonton film tersebut mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini, “Jika Tuhan mahabaik dan mahakuasa, mengapa Tuhan membiarkan bencana alam yang mengakibatkan manusia menderita dan meninggal dunia?” Seorang mahasiswi juga bertanya, “Mengapa Tuhan tidak mengintervensi mekanisme alam – seperti gampa bumi – yang diciptakanNya supaya tidak menimbulkan penderitaan bagi manusia?”

Mempersoalkan iman
Pertanyaan dua mahasiswa tersebut mencerminkan problem ketuhanan yang mendalam. Peristiwa bencana alam yang sering terjadi di negeri ini atau seperti yang diimajinasikan dalam film tersebut, kerap kali menjadi kesempatan bagi manusia untuk mempersoalkan kembali iman pada Tuhan sekaligus mempersoalkan Tuhan yang diimani. Hal ini merupakan cermin dari upaya manusia untuk mempertanggungjawabkan imannya secara rasional.


Mempersoalkan kembali iman dan Tuhan saat berhadapan dengan bencana alam yang menimbulkan penderitaan bagi manusia, merupakan sebuah teodicea. Teodicea adalah penghadapan Tuhan pada pengalaman atau fakta keburukan (malum). Keburukan (malum) adalah sesuatu yang menyebabkan manusia menderita.


G.W Leibniz dan Immanuel Kant (Paul Budi Kleden, Membongkar Derita, 2006, 18) membedakan malum menjadi tiga ketegori. Pertama, malum physicum yakni keburukan alamiah yang terletak pada kenyataan negatif yang ditimpakan alam kepada manusia, seperti bencana alam. Kedua, malum morale atau keburukan moral yang dibuat manusia terhadap manusia lain, seperti perang, korupsi, dan kekerasan. Ketiga, malum metaphysicum (keburukan metafisik) yakni keburukan yang terletak pada struktur dasar keterbatasan manusia, seperti kematian.


Malum physicum yang diimajinasikan Film 2012 dan yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia, merupakan keburukan yang paling telak menggugat gambaran manusia tentang Tuhan sebagai subjek yang mahakuasa dan mahabaik. Pertanyaan provokatif dua mahasiswa yang tertulis di atas bisa diradikalkan begini, ”Apakah Tuhan sungguh-sungguh mahakuasa? Jika Tuhan mahakuasa, mengapa Tuhan tidak bisa mengintervensi malum physicum supaya manusia tidak menderita? Bukankah dengan mengintervensi kemahabaikan Tuhan dipertegas sendiri oleh Tuhan?”

Tuhan adalah Tukang Jam Dinding
Berhadapan dengan malum physicum yang menimbulkan penderitaan bagi manusia, manusia dapat berkata bahwa Tuhan tidak lebih seperti Tukang Jam Dinding sebagaimana terungkap dalam pemikiran deisme. Dalam deisme, diasumsikan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dengan seluruh mekanismenya dan setelah itu Tuhan tidak mengintervensi lagi alam semesta yang bekerja sesuai mekanismenya. Tuhan seperti itu tidak lebih dari seorang Tukang Jam Dinding, yang setelah membuat jam dinding, ia membiarkan jam dinding itu bekerja sesuai dengan mekanisme dalam jam dinding yang sudah dibuatnya.


Asumsi Deisme ini merupakan sebuah gugatan terhadap iman manusia yang meyakini Tuhan sebagai subjek yang mahabaik. Jika Tuhan mahabaik, berarti Tuhan dapat dan mau mengintervensi atau menghentikan malum physicum seperti gempa bumi supaya manusia tidak menderita. Intervensi Tuhan itu sekaligus membuktikan bahwa Tuhan memang mahabaik sebagaimana yang diyakini manusia. Dengan demikian, iman akan Tuhan yang mahabaik bukan merupakan tindakan yang sia-sia.


Tetapi jika Tuhan tidak dapat mengintervensi malum physicum dan manusia tetap menderita karenanya, maka Tuhan bukan subjek yang mahabaik dan mahakuasa. Hal ini berarti kebaikan dan kekuasaan Tuhan terbatas. Tuhan bukan mahabaik dan mahakuasa.
Atau Tuhan tetap mahabaik dan mahakuasa, tetapi Ia tidak mau mengintervensi malum physicum dan membiarkannya terjadi karena merupakan mekanisme alam. Ini paralel dengan asumsi yang dibangun dalam deisme tersebut. Setelah Tuhan menciptakan alam semesta dengan seluruh mekanismenya, Ia membiarkan ciptaanNya berjalan sendiri sesuai mekanisme seperti jam dinding.

Rasionalitas iman
Provokasi terhadap iman manusia kepada Tuhan dari Film 2012 yang kemudian dikerucutkan dengan menengok kembali deisme, memang rasional. Menghadapi provokasi yang rasional itu, manusia beriman harus mempertanggungjawabkan imannya secara rasional pula. Iman harus memiliki rasionalitas karena dengannya memungkinkan manusia menghayati religiositas secara jujur dan jernih.


Mempertanggungjawabkan iman secara rasional, bisa dengan mempertimbangkan kembali providentia Dei atau penyelenggaraan Tuhan saat menciptakan universum, khususnya terhadap manusia. Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahinya kondisi dasar daya-daya spiritual yakni hasrat pada yang ilahi, rasionalitas, kebebasan, hati nurani, dan perasaan. Daya-daya spiritual itu bermukim dalam kebertubuhannya. Manusia mewujudkan daya-daya spiritual itu melalui tindakan-tindakan konkrit ragawi. Providentia Dei dalam kondisi dasar manusia tersebut mengandung arti determinen. Tuhanlah yang menentukan secara mutlak manusia dengan kondisi dasar seperti itu.


Providentia Dei tetap berlangsung setelah menciptakan universum yang di dalamnya termasuk manusia. Tetapi providentia Dei postpenciptaan, tidak lagi berarti determinen Tuhan. Melainkan providentia Dei itu sebagai tawaran kepada manusia. Providentia Dei sebagai tawaran mengandung dua aspek penting. Pertama, Tuhan menghargai manusia yang memiliki daya-daya spiritual dan kebertubuhannya. Kedua, dengan daya-daya spiritual dan kebertubuhan itu, manusia dapat merespon malum physicum yang terjadi dalam universum (alam semesta).


Ketika berhadapan dengan malum physicum seperti yang diimajinasikan dalam Film 2012 atau yang nyata terjadi dalam kehidupan manusia dewasa ini, manusia dapat menggunakan daya-daya spiritual dan kebertubuhannya untuk menyelesaikan persoalan penderitaan manusia. Selain itu, manusia juga dapat menyiasati malum physicum yang bisa saja tetap terjadi pada masa yang akan datang. Siasat itu sebagai antisipasi terhadap penderitaan yang bisa saja akan terjadi dan menimpa manusia. Antisipasi itu melibatkan kondisi dasar manusia. Dengan demikian, menolak Tuhan karena seolah-olah membiarkan malum phisicum terjadi yang mengakibatkan penderitaan bagi manusia, merupakan sebuah sikap gegabah yang irasional. Selain itu juga mematikan kondisi dasar manusia tersebut.

Saturday, March 13, 2010

EDISI SASTRA

Edisi ini menurunkan Sajak-sajak terbaru. Selamat membaca dan merenungi kata-kata.

Tulang Rusuk


-kepada istriku C. Dian Anggraeni

1.

saat dahaga yang kian mencekik sukmaku
dikau hadir dengan setangkup embun surgawi
pada tanah sukmaku yang kersang
percik demi percik dikau taburkan embun surgawi
sekarang aku tahu
dan selalu tahu
dikau yang sekarang hadir dengan setangkup embun surgawi
dan memerciknya pada tanah sukmaku
adalah orang yang dicuri Tuhan dari diriku
saat Tuhan meneteskan eros
pada ayah dan ibuku
atau aku
adalah orang yang dicuri Tuhan dari dirimu
saat Tuhan meneteskan eros pada ayah dan ibumu?

2.

semusim yang lalu
eros kita bertemu
ketika padang savana yang sedang menghijau
saat itu dawai-dawai angin
tengah menabuh rerumputan
dan selama semusim
angin yang menabuh rerumputan
menyejukkan rahimmu

3.

kemarin
saat siang pecah di ubun-ubun
angin dalam rahimmu
berhembus keluar
menuju dunia
sambil membawa ari-ari
dan memikul air ketuban
dia menyapa dinding-dinding bunga pemangsa serangga
yang pada musim lalu
menjadi pintu gerbang
eros kita
saat sudah melewati pintu gerbang eros
tangisnya mendawai
membubung ke langit
menggema ke setiap ceruk bumi

4.

ia mengalir ke padang savana
ia menari
bersama dayang-dayang bunga rerumputan
saat mata kita menatapnya
ia mengirim cinta untuk kita
saat kita memanggilnya pulang
ia menulis sajak untuk kita
“aku mau menebar angin hidup di semesta”

5.

Tuhan pun menuduh kita
kita telah mencuri anakNya
kitapun hanya tersenyum


Saat rindu padamu menderaku
8 Februari 2010