Film 2012 garapan sutradara Roland Emmerich laris manis di beberapa belahan dunia. Sejak dirilis 13 November 2009, film tersebut langsung merebut 65 juta dolar AS dalam waktu hanya dua hari.
Meski laris manis di negara-negara lain, film itu “bernasib buruk” di mata MUI. MUI Palembang dan MUI Malang mengeluarkan fatwa bahwa film itu menyesatkan karena mendahului Tuhan Yang Mahakuasa dalam menentukan saat kiamat yang akan terjadi tahun 2012. Untuk itu, film tersebut tidak layak ditonton dan tidak boleh diputar di bioskop-bioskop di Indonesia.
MUI boleh memfatwa film tersebut sebagai film sesat. Tetapi masyarakat, terutama di Jakarta tetap dapat memperoleh film tersebut meskipun bajakan seharga Rp. 5000 – Rp. 10.000, yang dijual di angkutan-angkutan umum.
Film 2012 adalah fiksi sains. Meski demikian, jika ditonton secara tenang dan memotret persoalan bencana alam yang digambarkan oleh sutradara sebagai kiamat dalam film tersebut secara jernih, sesungguhnya muncul sebuah problem ketuhanan yang besar di sana. Meskipun fiksi, film tersebut sanggup memprovokasi iman manusia.
Dalam sebuah kesempatan kuliah Religiositas di Universitas Multimedia Nusantara, beberapa mahasiswa-mahasiswi yang sudah menonton film tersebut mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini, “Jika Tuhan mahabaik dan mahakuasa, mengapa Tuhan membiarkan bencana alam yang mengakibatkan manusia menderita dan meninggal dunia?” Seorang mahasiswi juga bertanya, “Mengapa Tuhan tidak mengintervensi mekanisme alam – seperti gampa bumi – yang diciptakanNya supaya tidak menimbulkan penderitaan bagi manusia?”
Mempersoalkan iman
Pertanyaan dua mahasiswa tersebut mencerminkan problem ketuhanan yang mendalam. Peristiwa bencana alam yang sering terjadi di negeri ini atau seperti yang diimajinasikan dalam film tersebut, kerap kali menjadi kesempatan bagi manusia untuk mempersoalkan kembali iman pada Tuhan sekaligus mempersoalkan Tuhan yang diimani. Hal ini merupakan cermin dari upaya manusia untuk mempertanggungjawabkan imannya secara rasional.
Mempersoalkan kembali iman dan Tuhan saat berhadapan dengan bencana alam yang menimbulkan penderitaan bagi manusia, merupakan sebuah teodicea. Teodicea adalah penghadapan Tuhan pada pengalaman atau fakta keburukan (malum). Keburukan (malum) adalah sesuatu yang menyebabkan manusia menderita.
G.W Leibniz dan Immanuel Kant (Paul Budi Kleden, Membongkar Derita, 2006, 18) membedakan malum menjadi tiga ketegori. Pertama, malum physicum yakni keburukan alamiah yang terletak pada kenyataan negatif yang ditimpakan alam kepada manusia, seperti bencana alam. Kedua, malum morale atau keburukan moral yang dibuat manusia terhadap manusia lain, seperti perang, korupsi, dan kekerasan. Ketiga, malum metaphysicum (keburukan metafisik) yakni keburukan yang terletak pada struktur dasar keterbatasan manusia, seperti kematian.
Malum physicum yang diimajinasikan Film 2012 dan yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia, merupakan keburukan yang paling telak menggugat gambaran manusia tentang Tuhan sebagai subjek yang mahakuasa dan mahabaik. Pertanyaan provokatif dua mahasiswa yang tertulis di atas bisa diradikalkan begini, ”Apakah Tuhan sungguh-sungguh mahakuasa? Jika Tuhan mahakuasa, mengapa Tuhan tidak bisa mengintervensi malum physicum supaya manusia tidak menderita? Bukankah dengan mengintervensi kemahabaikan Tuhan dipertegas sendiri oleh Tuhan?”
Tuhan adalah Tukang Jam Dinding
Berhadapan dengan malum physicum yang menimbulkan penderitaan bagi manusia, manusia dapat berkata bahwa Tuhan tidak lebih seperti Tukang Jam Dinding sebagaimana terungkap dalam pemikiran deisme. Dalam deisme, diasumsikan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dengan seluruh mekanismenya dan setelah itu Tuhan tidak mengintervensi lagi alam semesta yang bekerja sesuai mekanismenya. Tuhan seperti itu tidak lebih dari seorang Tukang Jam Dinding, yang setelah membuat jam dinding, ia membiarkan jam dinding itu bekerja sesuai dengan mekanisme dalam jam dinding yang sudah dibuatnya.
Asumsi Deisme ini merupakan sebuah gugatan terhadap iman manusia yang meyakini Tuhan sebagai subjek yang mahabaik. Jika Tuhan mahabaik, berarti Tuhan dapat dan mau mengintervensi atau menghentikan malum physicum seperti gempa bumi supaya manusia tidak menderita. Intervensi Tuhan itu sekaligus membuktikan bahwa Tuhan memang mahabaik sebagaimana yang diyakini manusia. Dengan demikian, iman akan Tuhan yang mahabaik bukan merupakan tindakan yang sia-sia.
Tetapi jika Tuhan tidak dapat mengintervensi malum physicum dan manusia tetap menderita karenanya, maka Tuhan bukan subjek yang mahabaik dan mahakuasa. Hal ini berarti kebaikan dan kekuasaan Tuhan terbatas. Tuhan bukan mahabaik dan mahakuasa.
Atau Tuhan tetap mahabaik dan mahakuasa, tetapi Ia tidak mau mengintervensi malum physicum dan membiarkannya terjadi karena merupakan mekanisme alam. Ini paralel dengan asumsi yang dibangun dalam deisme tersebut. Setelah Tuhan menciptakan alam semesta dengan seluruh mekanismenya, Ia membiarkan ciptaanNya berjalan sendiri sesuai mekanisme seperti jam dinding.
Rasionalitas iman
Provokasi terhadap iman manusia kepada Tuhan dari Film 2012 yang kemudian dikerucutkan dengan menengok kembali deisme, memang rasional. Menghadapi provokasi yang rasional itu, manusia beriman harus mempertanggungjawabkan imannya secara rasional pula. Iman harus memiliki rasionalitas karena dengannya memungkinkan manusia menghayati religiositas secara jujur dan jernih.
Mempertanggungjawabkan iman secara rasional, bisa dengan mempertimbangkan kembali providentia Dei atau penyelenggaraan Tuhan saat menciptakan universum, khususnya terhadap manusia. Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahinya kondisi dasar daya-daya spiritual yakni hasrat pada yang ilahi, rasionalitas, kebebasan, hati nurani, dan perasaan. Daya-daya spiritual itu bermukim dalam kebertubuhannya. Manusia mewujudkan daya-daya spiritual itu melalui tindakan-tindakan konkrit ragawi. Providentia Dei dalam kondisi dasar manusia tersebut mengandung arti determinen. Tuhanlah yang menentukan secara mutlak manusia dengan kondisi dasar seperti itu.
Providentia Dei tetap berlangsung setelah menciptakan universum yang di dalamnya termasuk manusia. Tetapi providentia Dei postpenciptaan, tidak lagi berarti determinen Tuhan. Melainkan providentia Dei itu sebagai tawaran kepada manusia. Providentia Dei sebagai tawaran mengandung dua aspek penting. Pertama, Tuhan menghargai manusia yang memiliki daya-daya spiritual dan kebertubuhannya. Kedua, dengan daya-daya spiritual dan kebertubuhan itu, manusia dapat merespon malum physicum yang terjadi dalam universum (alam semesta).
Ketika berhadapan dengan malum physicum seperti yang diimajinasikan dalam Film 2012 atau yang nyata terjadi dalam kehidupan manusia dewasa ini, manusia dapat menggunakan daya-daya spiritual dan kebertubuhannya untuk menyelesaikan persoalan penderitaan manusia. Selain itu, manusia juga dapat menyiasati malum physicum yang bisa saja tetap terjadi pada masa yang akan datang. Siasat itu sebagai antisipasi terhadap penderitaan yang bisa saja akan terjadi dan menimpa manusia. Antisipasi itu melibatkan kondisi dasar manusia. Dengan demikian, menolak Tuhan karena seolah-olah membiarkan malum phisicum terjadi yang mengakibatkan penderitaan bagi manusia, merupakan sebuah sikap gegabah yang irasional. Selain itu juga mematikan kondisi dasar manusia tersebut.
No comments:
Post a Comment