Saturday, March 27, 2010

Mimpi: Utopia atau Energi yang Bergerak?




Menimbang Kekuatan Mimpi dalam Film Sang Pemimpi






Film Sang Pemimpi diputar di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia pada Kamis, 17 Desember 2009. Film garapan sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana merupakan visualisasi dari novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Film ini merupakan sequel dari Film Laskar Pelangi. Dengan slogan ”film yang paling ditunggu tahun ini (2009)” Film Sang Pemimpi diharapkan mendapat apresiasi luas dari publik seperti Film Laskar Pelangi.



Film Sang Pemimpi menceritakan dan memvisualkan perjuangan tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron mewujudkan mimpinya mencari ilmu mulai dari Belitong sampai ke Perancis. Tetapi mereka harus bergulat dengan kenyataan kemiskinan yang mendera mereka dan terpisah dari orang tua.



Memiliki cita-cita besar untuk sekolah setinggi-tingginya seolah-olah hanya menjadi mimpi, jika kenyataan yang dihadapi adalah hidup terpisah dari orang tua dan keadaan ekonomi yang serba terbatas. Itulah pergulatan Ikal, Arai, dan Jimbron dalam film tersebut.


Ide film tersebut sudah klasik. Kisah-kisah perjuangan orang miskin sampai menjadi berhasil meraih ilmu dan ekonomi sudah jamak di negeri ini. Tetapi Film Sang Pemimpi secara elegan menyodorkan sebuah realitas dalam diri manusia yakni mimpi. Mimpi merupakan sebuah entitas yang inheren diri manusia. Sebagai entitas inheran dalam diri manusia, apakah mimpi semata-mata merupakan utopia? Atau mimpi merupakan energi dalam diri manusia yang terus bergerak ke arah perwujudan konkrit?


Filosof sekaligus sufi Ibnu Arabi mendefinisihkan mimpi sebagai bagian dari imajinasi. Imajinasi merupakan arena perjumpaan pengetahuan apriori yang bersumber dari ide murni dan pengetahuan aposteriori yang bersumber dari pengalaman inderawi. Imajinasi selalu aktif baik saat tidak tidur maupun sedang tidur.


Berpijak pada konsep tentang imajinasi tersebut, selanjutnya Ibn Arabi membagi mimpi menjadi tiga kategori. Pertama, mimpi yang berhubungan dengan peristiwa sehari-hari. Saat seseorang sedang bermimpi, sebetulnya orang itu sedang mengirimkan peristiwa yang dialami sehari-hari ke dalam batin dan direfleksikan. Dengan demikian, mimpi merupakan deret-deret asosiasi dari berbagai pikiran dan impresi atas pengalaman inderawi.


Kedua, mimpi sebagai pancaran dari objek-objek simbolik. Yang menyuplai objek-objek simbolik adalah imajinasi. Misalnya, mimpi melihat air teh. Air teh hanyalah simbol dari ide tentang air teh. Oleh karena itu, mimpi dalam kategori kedua ini harus diinterpretasi.


Ketiga, mimpi spiritual. Dalam kategori ini imajinasi tidak berperan. Melainkan batin yang berperan dengan merefleksikannya. Di sinilah wahyu Tuhan diturunkan. Dalam kisah para nabi misalnya, sering kali Tuhan berbicara kepada para nabi melalui mimpi.
Paralel dengan kategori ketiga Ibn Arabi tersebut, Wolfgang Bock, SJ mengatakan mimpi sering disebut sebagai “bahasa sandi Tuhan” karena mimpi adalah cara Tuhan menyapa manusia dan menyampaikan pesan-Nya.


Psikolog analitik Sigmund Freud mengatakan mimpi menunjuk pada pemenuhan kebutuhan batin manusia lewat fantasi dan imaginasi. Bagi Freud mimpi dan simbolnya merupakan ‘jalan lebar dan pintu masuk’ menuju alam bawah sadar manusia saat itu.
Oleh karena itu interpretasi terhadap mimpi harus menggunakan metode ‘teknik assosiasi yang bebas’. Artinya ketika si pemimpi itu ditanya secara spontan untuk menceritakan kembali mimpinya, apa pun yang muncul dalam kesadarannya itulah yang harus diperhatikan.


Ungkapan-ungkapan verbal dengan kata-kata menimbulkan asosiasi lain, merupakan ungkapan mengenai keadaan batinnya yang sesungguhnya. Dari simbol-simbol mimpi yang diungkapkan dan assosiasi bebas yang menyertainya dapat diketahui keadaan batin orang yang bermimpi.
Gagasan Ibn Arabi dan Sigmund Freud di atas, menunjukkan bahwa mimpi bukan merupakan utopia. Sebagai entitas inheren dalam diri manusia, mimpi merupakan energi dalam diri manusia, yang terus bergerak ke arah perwujudan konkrit. Pergerakan menuju perwujudan konkrit merupakan keniscayaan karena apa yang dimimpikan terkait erat dengan realitas hidup yang dialami manusia sehari-hari.


Kata ”mimpi” dalam Film Sang Pemimpi, merupakan metafora tentang harapan dan cita-cita untuk meraih sesuatu yang lebih baik demi kehidupan yang lebih bermartabat. Metafora itu sejajar dengan uraian Ibn Arabi dan Sigmund Freud, terutama keterkaitan antara realitas konkrit yang disadari dan pergulatan batin atau alam bawah sadar.


Harapan dan cita-cita dalam batin kerap kali menginterupsi manakala kita sibuk dengan aktivitas di alam sadar kita. Aktivitas alam sadar juga kerap kali membentuk harapan dan cita-cita kita. Ini tervisualisasi dengan jelas dalam Film Sang Pemimpi.


Harapan dan cita-cita yang memukimi batin diwujudkan melalui kerja keras Ikal, Arai, dan Jimbron di dunia sadar mereka. Ketiganya berhasil. Pada titik inilah kita bisa mengarifmasi perkataan novelis Brasil Paulo Coelho melalui tokoh Alchemist dalam novelnya The Alchemist, ”Ikutilah mimpimu maka energi alam semesta akan menuntunmu untuk mewujudkannya.”

No comments: